Senin, 05 Agustus 2013

MIT0LOGI & HISTORI LELUHUR MINAHASA: Pendekatan Diakronik (Suatu Tinjauan Kritis)

Oleh: Albert WS Kusen
Bert Supit, penulis buku,  Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986), dalam pengantar diskusi ‘Strategi Budaya demi Pakalawiren dan Pakatuan’ (2007),  antara lain menyatakan, bahwa “kita sebagai Tou-Minahasa selain mendalami dan memahami kondisi budaya masa kini,  kita kiranya diharuskan juga membina tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan yang bermanfaat dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.  Dalam Manifesto Kawanua (MK) di Jakarta Tahun 2004 lalu, menggarisbawahi ‘manusia Kawanua menghargai dan memaksimalkan pemanfaatan semua artefak dan sistem nilai budaya peninggalan generasi pendahulu sebagai cermin pengenalan akan jati diri kita yang menjadi modal dasar kepribadian khas bagi pengembangan strategi kebudayaan menuju manusia Kawanua yang unggul dan bahagia.

MK tersebut  dipersembahkan kepada setiap Tou-Minahasa di manapun ia berada agar dapat menjadi penunjuk jalan bagi kokohnya eksistensi dan pre-eminensi kita dalam alam modernisasi masa kini di bumi nusantara maupun di dunia. Sebagai implikasinya, di bawah ini akan dikemukakan makna dimensi-dimensi histori maupun mitologi Tou-Minahasa”.

Isu Teoritis 
Pembentukan ilmu-ilmu sosial dan institusi-institusinya terjadi dan berkembang di Asia dan Afrika pada mulanya dilakukan oleh sarjana-sarjana dan pemegang kekuasaan di masa penjajahan sejak abad ke 18, dan juga oleh orang Eropa lainnya secara langsung maupun tidak. Tinjauan atas persoalan ketidaktepatan pada tataran filosofis, teoritik, empiris, dan terapan merupakan konsekuensi dari pertemuan antara teori dan cara Barat di satu pihak dengan kenyataan setempat (nasional maupun regional/lokal) di pihak lain (Alatas 2003:3).

Sebagaimana asal-usul leluhur suatu etnik, khususnya Etnik  Minahasa, deskripsi ‘etnografinya’ (mitologi-histori)  sejak abad ke 18 cenderung didominasi oleh  penulis asing (Graflaand, Schwarz, Riedel, Palm, Adam, Wilken, etc.) yang sudah sejak lama dijadikan referensi atau sumber data penulis-penulis lokal  ketika mereka mengekspresikannya  dalam wacana (tulisan-lisan) sejarah dan kebudayaan tentang Minahasa ditambah dengan pengalaman dan/atau catatan dokumen lainnya yang dapat dipercaya validilitasnya.

Untuk maksud tersebut, maka secara konseptual diperlukan kontstruksi teori dalam mengola secara kritis sumber-sember data tersebut yang dijadikan referensi oleh penulis-penulis lokal (budayawan – sejarahwan) terkesan tidak dilatarbelakangi oleh tradisi akademik, khususnya antropologi yang lazim menggunakan konstruksi teori ketika mendeskripsikan teks tulisan suatu etnografi. Karena sebagaimana dinamika  antropologi (mungkin juga arkeologi atau ilmu sejarah) sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu sosial, setelah fase ke empat (1930-an) telah mengalami perkembangan yang pesat,  yang sampai pada era sekarang ini tahun 2000-an dikembangkan lagi oleh kalangan post-modernist anthropological Philosophy, mengenai ‘refleksitas’ (Salzman 2002). Implikasi teoritisnya, bahwa dalam mengkaji (rekonstruksi) asal usul orang Minahasa ditelaah secara antropologis, di mana salah satu pendekatannya adalah ‘deskriptif integrasi’, atau secara ‘diakronik’ (lihat Koentjaraningrat 1981; Keesing 1986; Harris 1991). Jadi, pendekatan akademiknya, sama sekali berbeda dengan humaniora (ilmu-ilmu sejarah, sastra dan filsafat).

Seperti diketahui bahwa pendekatan diakronik bertujuan untuk mencari pengertian sejarah tentang asal-usul dan perkembangan dari suatu daerah atau etnik, kemudian  mengintegrasikan dalam konteks-konteks ruang dan waktu. Di sini, penulis mencoba menyajikan data yang bersumber dari teks-teks yang ada (buku, makalah, catatan, dan ungkapan-ungkapan lisan) mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Minahasa dalam konteks sejarah, gejala sosial dan kebudayaannya masa kini. Kecuali itu, dalam mengklarifikasi  ruang dan waktunya, juga memperhatikan temuan arkeologi - fosil-fosil atau artefak-artefak yang pernah terdapat di Minahasa maupun yang terdapat pada masyarakat atau etnik sekitarnya. Semua data atau informasi dikumpulkan secara integratif diolah menjadi satu.

Hasil kajian,  relatif dapat diinterpretasi makna identitas leluhur orang Minahasa yang selama ini dipandang secara beragam baik oleh kaum awam maupun oleh mereka yang dianggap sebagai penulis lokal (native), dikenal sebagai budayawan, sejarawan yang telah menulis tentang Minahasa (Watuseke, Wuntu, Supit, Sinolungan, Lapian,  Kotambunan, Sendouw, Mambu, Wenas, Umboh, Gosal).

Menelusuri Dimensi-Dimensi Mitologi dan Histori Leluhur Minahasa
Difusi. Berdasarkan telaah diakronik (perbandingan data pra-sejarah),  diperkirakan di tanah Minahasa sudah ada manusia,  sekitar lebih dari 7000 tahun sebelum masehi (SM). Rentang waktu ini dapat dipertimbangkan kesahihannya,  karena   didukung oleh adanya temuan fosil dari arkeolog asal Australia bernama Peter Bellwood, mengenai  sisa-sisa makanan manusia purba orang Minahasa, seperti anoa, babi hutan, monyet, tikus, burung penyu dan ular,  dan juga kapak  batu terletak  didekat danau Tondano, tepatnya di desa Paso.  Secara arkeologis,  fosil-fosil ini sudah berusia sekitar tahun tersebut.

Mengenai kapak batu di Sulawesi Utara (Minahasa), terdiri dari tiga jenis kapak batu (segi empat, tangga, dan lonjong). Kapak batu bulat lonjong yang di Minahasa (desa Paso), berumur sekitar masa 5000 tahun yang lalu. Sama seperti yang ditemukan di luar Indonesia, antara lain dari Filipina, Jepang dan Yunan (Cina Selatan). Dalam kaitan dengan temuan kapak batu bulat lonjong yang ditemukan di Minahasa tersebut, tentunya perlu dilihat dengan menggunakan pendekatan teori difusi yang sering digunakan oleh ahli antropologi dalam mengkaji asal-usul persebaran kebudayaan (fisik maupun non-fisik) dari satu tempat ke tempat lainnya.

Seorang arkeolog yang bernama Fritz Wagner memberikan analisis, bahwa kebudayaan di kepulauan Indonesia berasal dari wilayah Yunan di Cina Selatan yang menyebar ke kepulauan Indonesia sekitar tahun 4500-3000 BC. Hal ini, secara teoritis menunjukka bahwa asal usul kapak tersebut kemungkinan bisa  datang atau dibawa dari wilayah Yunan, Vietnam Utara,   melalui P. Formosa Taiwan, kemudian ke Filipina sampai akhirnya ke Minahasa, yang kemudian membentuk masyarakat etnik Melayu-Tua (lihat Wenas 2007:28).

Dengan demikian, berdasarkan ruang dan rentang waktu yang disimpulkan oleh para arkeolog berdasarkan hasil temuan-temuan fosil di atas, maka wilayah Minahasa atau tepatnya di kawasan danau Tondano (desa Paso) mulai didiami manusia yang makan kerang air tawar mulai 5000 sampai 3000 atau 1000 tahun tahun SM. Dengan demikian, secara diakronik (didukung data arkeologi), di kawasan danau Tondano inilah merupakan tempat pemukiman pertama dan terlama dihuni oleh leluhur Minahasa. Alasan teoritisnya, adalah bahwa sejak ditemukan fosil makanan orang purba dan kapak batu di kawasan tersebut, belum diperoleh data arkeologi adanya temuan fosil tersebut di tempat lain di wilayah daratan Minahasa.

Untuk maksud tersebut dapatlah dipertanyakan dan/atau dikaji lagi kebenaran  atas asumsi sosok  Lumimu’ut adalah makhluk manusia pertama yang pertama kali yang ada di Tanah Minahasa.  Apakah   Lumimu’ut lebih dahulu ada setelah manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano (fosil manusia purba), seperti apa yang telah dinyatakan di atas, diperkirakan mereka hidup sekitar tahun 7000-5000 BC? Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa asumsi-asumsi mengenai asal-usul Lumimu’ut berdasarkan perspektif  difusi ada hubungannya dengan temuan para arkeolog di atas, yakni mereka datang dari daratan Asia kemudian bermigrasi ke Jepang, P. Formosa, Filipina dan akhirnya sampai ke Minahasa. Untuk maksud tersebut, tidaklah berlebihan  saya akan coba untuk merekonstruksi sedemikian rupa asal-usul Lumimu’ut, bahwa berdasarkan  ciri-ciri fisik atau  ras, tergolong ras mongoloid-tua (mata sipit, kulit kuning lansat), dapat  diasumsikan berasal dari beberapa tempat, seperti yang dikemukakan di bawah ini.

1)  Dari daratan Asia Mongolia, bermigrasi ke Jepang, masuk P. Formosa (Taiwan), Filipina,  dan terdampar di pesisir barat Minahasa,  kemudian turunannya mengembara  ke pedalaman pegunungan Wulur Mahatus dan menyebar di daratan Minahasa, termasuk manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano tersebut?
2)   Dari daratan Cina Selatan (Yunnan), langsung ke Filipina, masuk Kalimantan (suku Dayak), dan bermigrasi ke Sulawesi (Minahasa)?

Sebagai catatan,  oleh karena secara akademik isu migrasi leluhur Minahasa (Lumimu’ut) yang ungkapkan di atas  belum dapat dipastikan kebenarannya, maka perlu direkonstruksi sedemikian rupa asumsi-asumsi historis maupun mitologisnya dengan menelusuri latar belakang Lumimu’ut yang dipercaya sebagai perempuan perkasa (Dewi Bumi), adalah manusia pertama yang menginjak kakinya di bumu Malesung.  Untuk jelasnya simak pengungkapannya dalam versi mitologis maupun historis  di bawah ini

Reinterpretasi Dimensi  Mitologi Leluhur Minahasa
Seperti diketahui bahwa interpretasi asal usul sosok Lumimu’ut sebagai orang pertama di Tanah Minahasa dalam koteks mitologis, berdasarkan wacana lisan (cerita rakyat dari mulut ke mulut),  Lumimu’ut adalah seorang putri raja dari negeri seberang. Mungkin karena sang raja (ayah dari Lumimu’ut) tidak menginginkan anak perempuan sebagai pewaris tahta kerajaan, maka dikeluarkan titah atau perintah kepada pengawalnya untuk membuang bayi Lumimu’ut tersebut ke tengah laut. Ternyata di tengah laut bayi Lumimu’ut tidak dibiarkan sendirian, namun  mungkin karena sang pengawal ini merasa iba terhadap bayi,  diantar bayi tersebut sampai  ke pesisir daratan Minahasa.

Kehadiran tokoh Karema sebagai penentu berlanjutnya kisah Lumimu’ut ini, adalah sebagai dewi bintang (lihat Wenas 2007), yang dikenal dengan bintang berekor (komet helly). Turun ke bumi  kemudian berwujud menjadi makhluk bumi (manusia),  karena merasa tertarik  melihat Lumimu’ut yang sendirian di pesisir daratan Minahasa tersebut. Maka proses selanjutnya dipeliharalah Lumimu’ut sebagai seorang gadis yang cantik. Singkat cerita, akhirnya melalui ‘perantaraanKarema mendayagunakan alat reproduksi Lumimu’ut supaya hamil, kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan To’ar (mitos dewa langit).

Setelah Toar beranjak menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa (tuama), timbul inisiatif dari  Karema untuk mencarikan  jodoh agar  Toar maupun Lumimu’ut dapat memiliki keturunan.   Karema pun membuat kesepakatan dengan Toar dan Lumimu’ut agar masing-masing mengembara (Toar ke utara’ dan Lumimu’ut ke selatan) untuk mencari jodoh sebagai pasangan hidup masing-masing. Dibuatlah aturan main, dengan cara mengambil dua buah potong tongkat bentuknya sebangun dan sejajar, kemudian diserahkan kepada mereka. Alasan  dibuatnya aturan ini, untuk meyakinkan agar orang lain yang ditemukan adalah bukan dari antara mereka sendiri.  Dengan kata lain, bahwa  apabila ditemukan seseorang (lawan jenis) membawa tongkat bentuknya berbeda, maka yang bersangkutan diperkenankan untuk dijadikan sebagai istri atau suami.

Singkat cerita, akhirnya To’ar bertemu dengan seorang perempuan yang membawa tongkat bentuknya berbeda dengan miliknya. Maka, sesuai dengan  aturan yang digariskan oleh Karema dijadikanlah perempuan tersebut sebagai  istrinya,  yang tak lain adalah Lumimu’ut. Termasuk juga dalam versi mitologis ini, adalah cerita asal usul Karema dan Toar-Lumimu’ut yang diungkapkan dalam bentuk syair lagu, yang berjudul asli “De Zang Van Karema” (‘Nyanyian Dewi Karema’). Dapat dikatakan bahwa hampir semua sub-etnik Minahasa, terutama ke-empat sub-etniknya, yaitu Toulour, Tombulu, Tountemboan, Tonsea mengetahui syair lagu ini. Pernah dinyanyikan pada upacara ‘Mangorai’ yang dinilai oleh penulis H. Van Kol (1903:160) bahwa syair dalam nyanyian ini paling lengkap dan estetika tata-bahasanya paling indah, ditemukan di wilayah sub-etnik Tombulu (syair-syairnya lihat lampiran bab ini). Kisah mitologis mengenai Karema¸Lumimu’ut dan Toar di atas, hampir ada kesamaan dengan kisah mitologi Yunani tentang Odipus-Complex  (percintaan antara ibu dan anak laki-laki); dan cerita legenda masyarakat Sunda, yang dikenal dengan sangkuriang.
 
Reinterpretasi  Dimensi Histori Leluhur Minahasa
Dalam konteks akademik, bagaimanapun juga  versi mitologi yang dimaksud di atas, tidak dapat dijadikan sebagai pengetahuan ilmiah atau  secara akal sehat (misalnya, Karema adalah wujud dari bintang berekor yang turun ke bumi), maka tidaklah berlebihan pada seksi ini saya akan coba menyajikan dalam versi historis, diperkirakan sekitar abad ke empat masehi. Bahwa sesungguhnya Karema itu bukanlah dewi bintang berekor yang turun dari langit, tetapi dia adalah seorang perempuan separuh baya berperan sebagai pemimpin dayang-dayang istana.

Berkenaan dengan adanya perintah raja kepada pengawalnya untuk membuang/membunuh bayi Lumimu’ut, Karema  ditugaskan oleh ratu (ibu Lumimu’ut) agar secara diam-diam mendampingi sang pengawal merawat bayi Lumimu’ut. Sang ratu tidak berdaya mencegah keputusan raja karena sesuai dengan adat atau peraturan keluarga kerajaan, bahwa apabila anak pertama lahir bayi perempuan, maka anak tersebut dibunuh atau dibuang ke tengah laut. Seperi cerita di atas, sang pengawal pun bersama dengan Karema mengantar bayi Lumimu’ut sampai ke suatu tempat di Minahasa. Perkiraan penulis, tempat pertama yang dituju  mungkin di pesisir kawasan pantai timur Minahasa. Akhirnya sang pengawal menyerahkan bayi Lumimu’ut kepada Karema untuk memeliharanya.

Sesuai dengan namanya, Karema mungkin  keturunan  suku bangsa Mongol, sedangkan orang tua Lumimu’ut adalah pangeran atau raja yang berasal dari kerajaan-kerajaan kuno di daratan Cina Selatan (Yunnan). Untuk itu, apabila dihubungkan dengan adat pembuangan/ pembunuhan bayi perempuan (infanticide) yang pernah menjadi tradisi bangsa Jepang kuno dan suku-suku bangsa lain yang ada di daratan Tiongkok (lihat Singarimbun 1985), maka boleh jadi Lumimu’ut ini berasal dari negeri yang melaksanakan tradisi tersebut (Jepang). Tafsiran ini juga didukung oleh  penjelasan dari ahli bahasa Adriani, bahwa ‘Toar’ (tou + ari = manusia karunia dewa), dalam bahasa Minahasa   tou= manusia, dalam bahasa Jepang ‘hito’ (sito)= orang atau manusia. Selanjutnya, menurut Kruyt bahwa waruga (kuburan kono orang/dotu Minahasa) ada kesamaan dengan keranda-keranda (steenhouwere) yang ada di Jepang, Formosa, Filipina (Luzon) dan napu-napu di Sulawesi Tengah (lihat Umboh 1985:24).

Kecuali itu, ada juga yang menghubungkan dengan melihat ciri atau gaya berkuda orang Minahasa mirip dengan gaya berkuda bangsa Jepang, atau bangsa Mongol yang terkenal dengan pasukan berkudanya dan  pemberani dalam berperang. Mungkin melalui Karema mensosialisasikan  bagaimana kehebatan  berkuda pasukan Jenghis-Khan yang melegenda itu. Berdasarkan kisah historisnya pernah menaklukkan hampir semua kerajaan di Asia (Cina, India, Persia), dan sebagian Eropa (Rusia, Spanyol, Italia dan Jerman). Kesempatan ini penulis akan mengemukakan asumsi-asumsi migrasi leluhur orang Minahasa, adalah sebagai berikut.

Argumentasi linguistik yang menolak pendapat asal-usul Lumimu’ut tersebut (tidak ada kesamaan bahasa antara orang Minahasa dengan bangsa Cina, Mongol dan Jepang), secara teoritis  tidak mendasar karena Lumimu’ut ketika itu masih bayi so pasti tidak dapat mewariskan wacana (lisan maupun tulisan) bahasa/dialek dari negeri asal yang bersangkutan.

Kisah Karema, Lumimuut dan Toar. Dalam konteks historis, berdasarkan wacana tulisan (karya sastra budaya Minahasa)  dalam  Mewoh, dkk (2000), diceritakan bahwa pada era kejayaan bangsa Mongol (700 AC), Genhis Khan (Tamujin) merupakan sosok jenderal yang paling ditakuti di seluruh kawasan Asia Tengah, bahkan kawasan Persia, Arab, dan sebagian Eropah. Pada suatu ketika, pasukan berkudanya diarahkan  menyerang kerajaan Shin atau Tionghwan (Cina). Akan tetapi, karena tembok cina begitu kokoh, menyebabkan pasukannya melakukan tindakan penyusupan ke seberang tembok. Salah satu prajurit Mongol, yang gagah berani, dan memiliki kecerdasan menguasai bahasa Han,  berhasil masuk ke istana raja tanpa dicurigai. Tanpa disadarinya, ada seorang perempuan tua yang  juga berasal dari Mongol, selalu mengikutinya. Ternyata sang prajurit Mongol itu adalah cucu satu-satunya perempuan tua itu yang berusaha untuk melindunginya demi kelangsunan tururannya.  Karena semua anaknya sudah mati di medan perang, salah satiunya adalah  ayah dari prajurit Mongol tersebut.

Di dalam istana raja, pemuda Mongol ini bertemu dengan seorang putri bernama Lu Ming  yang sedang dirudung susah, karena sang putri akan dijodohkan dengan salah satu putra dari keluarga kerajaan lain. Akhirnya pemuda Mongol ini mampu menghibur sang putri yang bermuara pada percintaan. Sang raja pun murkah mendengar kabar bahwa putrinya telah menjalin cinta dengan pemuda Mongol tersebut, apalagi diketahui sang putri sudah hamil. Sebagai konsekuensinya, sang pemuda dan sang putri diberi hukuman berat oleh sang raja, keduanya dijatuhi hukum mati. Tapi karena istri raja/ratu keberatan atas vonis mati sang putri, diganti dengan hukuman sang putri di buang ke luar istana melalui lautan, sedangkan sang pemuda tetap menemui ajalnya di tiang gantungan.

Dengan menggunakan perahu rakit, dibuanglah sang putri ke tengah laut. Perempuan tua yang menyadari bahwa bayi yang dikandung sang putri adalah keturunan satu-satunya, berusaha melindungi sang putri di lautan dengan menggunakan perahu rakit. Perempuan tua itu mengikuti perahu rakit yang membawa sang putri dari belakang. Tiba-tiba di tengah lautan, perahu rakit mereka saling bertabrakan karena dihantam gelombang badai. Keduanya pingsan. Perahu rakit mereka dibawa arus dan terdampar di suatu daratan.  Setelah siuman, betapa gembiranya perempuan tua itu,  melihat sang putri yang sedang pingsan masih bernafas. Tanpa membuang waktu, diangkatlah sang putri dibawa ke tengah hutan. Setelah sadar, sang putri terkejut melihat perempuan tua di depannya. Akhirnya, setelah perempuan itu menceritakan kejadian di tengah laut sampai terdampar di daratan, sang putri pun sadar bahwa perempuan itu yang menolongnya.

Selama di hutan, perempuan tua itu merawat sang putri begitu penuh dengan kasih sayang. Selain merawat sang putri  yang sedang hamil, mencari makanan, membuat pakaian dari kulit kayu, tetapi juga melindunginya dari ancaman hewan liar yang ada di hutan. Bagi sang putri perempuan tua itu sudah dianggap sebagai orang tuanya. Apalagi keberadaan perempuan tua ini dilihat oleh sang putri memiliki  kesaktian, arif dan baik hati.  Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak menceritakan hubungannya dengan pemuda Mongol yang tak lain adalah cucunya.

Oleh karena hubungan antara perempuan itu dengan sang putri sudah seperti anak dan ibu, dibuatlah perjanjian atau sumpah dalam suatu upacara yang diatur oleh perempuan itu, sehubungan dengan bayi yang akan dilahirkan sang putri. Sumpahnya adalah, apabila yang lahir bayi perempuan, maka sang putri akan mengabdikan sepanjang hidupnya kepada  perempuan tua itu; tetaoi, apabila yang lahir bayi laki-laki, maka sang putri senantiasa harus taat atas segala perintah dari perempuan itu. Upacara sumpah ini ditandai dengan batang pohon tawa’ang yang ditanncapkan ke tanah.
Sang putri yang dahulu bernama Lu Ming diganti oleh perempuan tua itu menjadi Lumimuut, dianalogikan seperti peluh yang berasal dari batu karang. Secara simbolik, peluh menunjukkan sifat pekerja keras, sedang batu karang menunjukkan kekuatan, ketegaran yang mudah goyah oleh kemelut apa pun.

Perempuan tua itu sendiri, namanya disebut Karema, dianalogikan sebagi orang yang mendahului, atau lebih awal dari ayah yang mula-mula. Artinya, bayi yang akan dilahirkan sang putri adalah anak dari cucunya perempuan tua itu. Setelah Lumimu’ut melahirkan, lahir bayi laki-laki dinamakan Toar yang dianalogikan seperti tu’ur atau inti dari pohon.

Arti lain dari Toar adalah pusat angin (Tuar), dianalogikan angin mempunyai sifat abadi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, yang senantuasa bertumbuh dan meyebar. Lahirnya Toar sebagai bayi laki-laki, konsekuensinya Lumimuut harus mentaati sumpahnya, yakni harus mentaati apa yang dimaui Karema. Setelah sembilan bulan purnama, sang bayi lepas menyusui, diajaklah Luminuut ke tempat di mana pohon tawa’ang itu ditancapkan. Kemudian, Lumimuut diperintahkan untuk meninggalkan sang bayi,  mencabut pohon tawa’ang dan membawanya ke mana saja yang dia tuju. Karena dengan membawa pohon tawa’ang Lumimuut akan bertemu dengan seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Demikian juga dengan Toar, seiring dengan waktu selama hidupnya dirawat, dididik, dan dibesarkan oleh Karema. Setelah menjadi sosok pemuda tampan, Karema menginginkan supaya mencari pasangan hidup. Sebagaimana yang dialami Lumimuut harus mengembara mencari pasangan hidup di mana saja, demikian juga Toar harus membawa batang pohon tawa’ang sebagai tanda sumpah. Apabila bertemu dengan perempuan yang membawa pohon tawa’ang yang berbeda ukuran panjangnya, perempuan itulah jodohnya.

Dalam pengembaraan melintasi sungai dan hutan, akhirnya Lumimuut dan Toar bertemu di pegunungan yang bernama Wulur Mahatus. Berdasarkan sumpah yang ditetapkan oleh Karema, berjodohlah Toar dan Lumimuut sebagai pasangan suami istri, dikarenakan pohon tawa’ang  yang dibawanya berbeda.

Refleksi: Tinjauan Kritis
Berkenaan dengan kisah migrasi/perjalanan Lumimu’ut sampai ke tempat tujuan tanah Minahasa, penting  untuk diwacanai melalui  suatu tinjauan kritis (critical review) atas cerita yang pernah diungkapkan oleh penulis-penulis asing maupun penulis lokal lainnya (lihat Sinolungan 1992).  Dapat ditegaskan bahwa terdapat kelemahan mendasar berkenaan dengan isu historic-linguistic-nya, khususnya kasus Lumimu’ut datang bermigrasi ke Minahasa berwujud sebagai seorang putri raja/gadis cantik (dewasa) bersama rombomgan yang melarikan dari tempat asalnya; versi cerita lain, Lumimu’ut  dibuang oleh ayahnya/raja,  karena ketahuan bercinta dengan lelaki yang bukan pilihan sang ayah/raja. Tentunya sebagai seorang gadis (diperkirakan berusia 17-20 tahun) secara linguistik sudah dapat berbahasa lisan maupun tulisan.

Yang menjadi permasalahan adalah, bahasa apa yang digunakan oleh Lumimu’ut dan rombongannya itu?
Kalau dikatakan mereka berasal dari wilayah Cina Selatan Yunan, Jepang atau Mongol, maka  logikanya bahasa (lisan-tulisan) yang digunakan oleh Lumimu’ut adalah kedua bahasa tersebut? Jika demikian, maka  bahasa yang dimaksudkan ini diwariskan ke anak, cucu, dan turunan-turunan Toar-Lumimu’ut? Pertanyaannya, adakah situs tulisan atau huruf Cina atau Jepang tertera di batu yang ada di Watu Pinawetengan? Atau setidaknya terdapat kosa kata Cina atau Mongol dalam teks-teks lisan maupun tulisan dalam bahasa/dialek pada ke empat sub-etnik orang Minahasa (Tombulu, Tonsea, Toulour, dan Tountemboan)?

Akan tetapi, bagi orang Minahasa,  menyangkut identitas asal-usulnya sejauh ini tidak mempersoalkan latar belakang asal-usulnya, apakah historis atau mitologis. Yang penting, sebagaimana adat Minahasa tempo doeloe, siapa pun manusia yang bermukim di tanah malesung, harus menyatakan secara terbuka bahwa yang bersakutan adalah turunan Toar-Lumimu’ut. Diinformasikan oleh Swarzh (1890) barangsiapa mengingkari asal-usul turunannya bukan dari Toar-Lumimu’ut, sangsi hukumnya adalah ‘potong kepala’ di batu pinabetengan.
-------------------------------------------------------
Hill Street, 15 November 2010

TATA CARA IBADAH BAHASA TONDANO

EN TETU’TULAN PAEMPUNGAN


Witu en nuwu’ né Toudano


Sumadia en até:
- Wacala makalé’os en tetu’tulan paempungan iti’i.
- Ikantaré’la e rior em waya kekantaran, wo rior réi’la si masélok sa em paémpungan makélangou.
- En réi’la si maké’ké’ sa lumingala en tanu réi’ kasa timoro, ka’apa em walina-walina.
- Sumombayangla, rior kita sawangani ni Empung, en atéta toro tumerima Nisia wo lumo’or eng ngaran-Na.
- Pnt -- penatua; Pdt -- pandita; J -- jemaat


E lelila’an ketaré-taré: (esa penatua)
Pnt : …


Mengaléi wia si Empung: (rumedéi)
Pnt & J: Opo’ mana en atas é, témbonoméé…(ikantar tanu witu Maéngket)


Sighi’ wangko’: (rumedéi)
Pdt : Sighi’ wangko’ wia si Opo’ Empung si minéé si Urang-Na Pengesan, rior séi si maéman wia Nisia si réi’ mawuneng, ta’an makaato em patou-touan takar kauré-uré.


J : En ulit tu’u karengan.


Lelo’oran wia si Empung: (rumedéi)
Pnt : Lo’oren si Empung ka em waya kalé’osan-Na. Kulinawir-Namou ni’itumou mepa’a-pa’ar en atéku.


J : Kukumantar wo rumamba’, linganéé niaku é pekasa né tou. Si Empung si lumelawir nikita.


Pnt : Téa’mou méidé’ wo téa’mou masusa-susa. Maémanou wia si Empung, tu’u en sapa e néita’ar-Na, tantu ni’itu mamuali.


Kumantar: (rumubér)
Wangun tanu waki Eden (Indah Sebagai di Eden)1


Wangun tanu waki Eden Waki ketaréan
En talun rebet mawua’ wangun palo’ola
Méimou ‘nendo kewangun
‘Nendo wuta ngkamang
Mario-riorou koo méi
Koo paana’ankumou


Makaredéi eng Kasélokan: (rumuber)
Pdt : Telo’umola em waya e léwo’ em pineniwo-niwoni, wo méimou kita kumi’it si Empung.


Kumantar: (ay. 1)
Witu’n sinaru ni Empung (Di muka Tuhan Yesus)2


Witun sinaru ni Empung
Alinku em waya sélokku
Em waya kasélokanku
Alinku wia si Empung


Sumombayang:
Pdt : …


Kumantar: (ay. 2)


Kulinawirou ni Empung
Sapamou toro iwéékula
Ni’inou niaku o Empung
Kumi’it eng kepa’ar-U.


Em wacaan eng Kaul: (rumuber)
Sumombayang:
Pdt : ...


Pdt : Téinti’in e néipatik witu em buuk ni Empung: …


Kumantar: (rumuber)
Nuwu’ Lenas (Firman-Mu Pelita)3


Solo wia lalanku
Nuwu’ ni Empung
Ni’itu sena’ wangko’
Wia ‘mpakélangan


Nuwu’ lenas, Nuwu’ lenas
Sumena’ ‘mpakélangan
Nuwu’ lenas, Nuwu’ lenas
Solo wia lalanku


Lumo’or eng ngaran ni Empung [puji-pujian]


En Abar Lé’os Mekepa’aren [khotbah]
Pdt : …


Teta’aran wia si Empung: (rumuber) [persembahan]
Pnt : Alinou wia si Empung en sapa e néita’ariu wia Nisia, wo linganéé makalé’os en sapa néipatik witu em buuk ni Empung: Séi si kumoloko e laker, si mupu’ laker, ta’an séi si kumoloko en oki’, si mupu’ en oki’. Ni’itumou, méimou ta mééla eng kasa lé’os wia si Empung ka si Empung si ketaré-taré minéé si kasa lé’os Urang-Na pengesan, Kristus Yesus wia nikita.


Kumantar: Ka Si Empung 4


Nikita waya méi wi'i
Méi masungkul wo kumantar
méwali-wali
maupus-upusan wia si Empung
ka si Empung si mapiara nikita


ka si Empung si mawéé berkat
ka si empung si mawéé perlindungan
ka si Empung...
ka si Empung waya...


Sesombayangan Teta’aran:
Pnt : Em waya-waya e lé’os wo kalé’osan wia Nikoo wo méi e Opo’ Empung kesa’ndaran né tou maéman. Loo’oni em waya teta’aréi wia nikoo, tanumaé eng kesampetan en tou méi nu minamualimou kapunyaan-U. Kama-kamangeni kéi wia em patou-touanéi, rior kéi toro mamuali kamang wia sé kasuat tou. Ulit tu’u.


Sesombayangan minapekasa:
Pdt : Méimou kita sumombayang:


Ama’ Empung, Mapiara em patou-touannéi, taruma kasé laker ka em pinaeruran wo em pinasungkulannéi ye’i. Kéi matarumakasé kaa Nikoo si re’regh memali-mali nikei, wo toro kaayoala kéi en endo tarékan.


J : Kama-kamangeni kéi rior em waya sesiwaken witu eng kalé’osan toro mamuali witu eng kepa’ar-U.


Pdt : Kéi maaliméé sé patuariméi, niséa nu raraan, sé néitelo’u né tou eng koupusnéa, niséa nu laker pemesa’anen.


J : Kete-ketereni wo tombo-tomboleni em waya méi rior kéi meketawila wia Nikoo.


Pdt : Ni’inou kéi o Empung, réomomi kéi. Kéi tima’arou wia Nikoo, ma’an em patou-touannéi néimouta’aréi wia Nikoo. Pakiwéén em waya ni’i toro mamuali en ta’ar lé’os wia Nikoo. Turu-turu’ani lalan kéi, wéani keter wo en até lé’os kéi, rior kéi mamuali sigha’ witu em waya-waya pakélangannéi ka’ayo kayoala en sapa paara-arapennéi.


J : Kéi mengaléi wia Nikoo witu e ngaran ni Kristus Yesus, si Empung Lumelawir em patou-touannéi.


Pdt : (Sombayang ni Empung)
Ama Empung wia eng Kainawa’an
Ilenas eng ngaran-U karengan
Méimou eng kakolanoan-U
Wo mamualimou eng kepa’ar-U
wia eng kaowatan tanukan wia eng Kainawa’an
wéani kéi en endo tarékan
eng kekaanen tanuméé em pekekaanennéi
ampungani eng kasélokannéi
kumurakan kéi mawéé ampungan wia si tou simiwo eng kasé lokan wia nikéi
wo téa ipewaya kéi witu em pema’wa’an
ta’an ireta’ kéi witu em waya eng kaléwo’an


Pdt & J: Kaa Nikoo si makapunya eng kakolanoan, kawasa wo kewangkoan ka’ayo kauré-uréan. En ulit tu’u karengan.


Kumantar: Opo’ Mana en Atas (rumedéi)


Opo’ mana natas, Empung Renga-rengan,
ka’kasanitémi pekekélangan.
Patombo-tombolen, pateru-terungen,
pakendi-kendiren numingkélangan.
Sungku-sungkuleni, ‘mwaya pemandungen,
també-tambérani, wo kama-kamangen;
lake-lakereni, toro-toroani, ‘mwaya mekearuyen,
mekepa'aren, wia mpatou-touan.
Pakatuan pakalawiren.


Kamang Wangko’: (rumedéi)
Pnt & J: Opo’ mana en atas é, tembonoméé... (ikantar tanu witu Maéngket)


Pdt : Eng kamang wangko’ ni Ama’ Empung, wo si Urang-Na Pengesan, ampit si Roh Lenas, mewali-wali wo nikita nu waya tarékan takar kauré-uréan.


Pdt & J: En ulit tu’u karengan.


1 Rinuasa ni Ama’ Lexi Karwur
2 Rinuasa ni Ray Maleke
3 Rinuasa ni Ray Maleke
4 Rinuasa ni Anonymous

BAHASA TONDANO(BILANGAN)

BELAJAR BERHITUNG BAHASA TONDANO

KATA-KATA BILANGAN POKOK:

satu ="esa”; dua ="rua"; tiga= "telu"; ampa="epat"; lima= "lima";

anam= "enem"; tujuh= "pitu"; delapang= "ualu"; sambilang= "siuw".

sapulu = mapulu'; saratus = maatus; saribu = mariwu.

Dari sebelas sampai dengan sembilanbelas : "kata sepuluh" dituruti "kata satuan" dengan di antaranya kata -dan- "wo".

contoh: sebelas= "mapulu' wo esa"; duabelas= "mapulu' wo rua";
tigabelas= "mapulu' wo telu; ...sembilanbelas= "mapulu' wo siuw".

PULUHAN; bilangan pokok di hubungkan dengan kata "nga-".

contoh: duapuluh="rua-nga-pulu' "; tigapuluh= "telu-nga-pulu' "; ...sembilanpuluh="siuw-nga-pulu' ".

Demikian pula dengan ratusan dan ribuan.

contoh: duaratus= "rua-nga-atus"; tigaratus= "telu-nga-atus"; ... .
contoh: duaribu= "rua-nga-riwu"; tigaribu= "telu-nga-riwu".

Kata "wo" selalu dihubungkan dengan kata-kat bilangan pada ribuan, ratusan, puluhan, satuan.

contoh: 3521= "telu-nga-riwu wo lima-nga-atus wo rua-nga-pulu' wo esa".
2489= "rua ngariwu wo epat ngaatus wo ualu ngapulu' wo siuw".

AWALAN "nga-" dibubuhi pada kata-kata PEMBANTU bilangan;

umpama: se-bidang "sanga-werot" (satu bidang "esa nga-werot");

tiga kali lipat (tiga ganda) "telu ngalepet"; se-carik "sanga-kisi' ";
dua potong "rua ngaketor".

KATA BILANGAN PANGKAT; pada kata bilangan pokok (kecuali pada kata -pertama-) kata-kata ini dibubuhi awalan "ka-".

contoh: pertama "ketarè"; kedua "karua"; ketiga "katelu"; ... .

kesepuluh "kapulu' "; keduapuluh "karua-nga-pulu' ";
keseratus "kaatus"; keseribu "kariwu".

Kata bilangan pangkat ini dpt diimbuhi dgn sisipan "um".

contoh: mendahului "kumetarè"; kedua kali "kumarua";
ketiga kali "kumatelu"; keempat kali "kumaapat"; kelima kali "kumalima".

PECAHAN

Pada awal kata bilangan ditempatkan "pa-".

contoh:

seperdua (1/2) "sanga-paruwa"; sepertiga (1/3) "sanga-patelu";

tiga persembilan (3/9) "telu nga-pasiuw";

sembilan perseratus (9/100) "siuw nga-paatus".
.

MEMPERBANYAK

Dilakukan dengan mengimbuhkan awalan "maka" pada kata bilangan pokok.

umpamanya.:

satu kali "mekasa = maka-esa"; dua kali= "maka-rua";

sepuluh kali= "maka-pulu' ";
seratus kali= "makaatus"; seribu kali= "makariwu".

Ganda diucapkan "lepet" (= melipat), yang pula diawali "nga".

umpamanya.:

tiga ganda "(maka-) telu nga-lepet" atau "(maka-) telu melepet" atau "(maka-) telu lumepet";
sepuluh ganda "(maka-) pulu' nga-lepet" atau "(maka-) pulu' melepet" atau "(maka-) pulu' lumepet".


Kata Bilangan Mengumpulkan terjadi dari pengulangan kata bilangan pokok diawalkan dgn "ma-"

umpamanya.:

bersatu-satu (hanya seorang) "maesa-esa";
bertiga-tiga (bertiga orang) "matelu-telu".

Kata Bilangan tak tentu, antara lain:

samua "waya"; seluruh "pekasa"; banya "laker/idet/ka'asa";

sadiki "oki'/toyo' ";

beberapa "pirala/wo'o pira"; tiap-tiap "susur"; samua org "seker";
masing-masing "si esa wo si esa".-


Coba bacirita :

Kita pe hari lahir 30 Agustus 1953=En nendo katouanku telu ngapulu Agustus esa ngariwu wo siauw ngaatus wo lima ngapulu wo telu

Empat buah jeruk itu sudah matang=En epat wua’na e muntѐ iti.i em wowosou

Lima orang Ibu sedang mencuci pakaian di sumur=Lima ina’ nu makemes e labung witu em parigi.

Kami lima bersaudara, saya yang sulung=Nikѐi lima matuari, niaku oki’ tu’a

Buatkan dua buah layangan =I siwola rua pepareian
Sebidang kebun ku ditanami sayuran=Sanga-werot uma ku tinaneman raaren

Sabtu, 03 Agustus 2013

UPACARA ADAT PERKAWANINAN MINAHASA

Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan" (Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho" karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada, diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis, diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.

Bacoho (Mandi Adat)


Setelah mandi biasa membersihkan seluruh badan dengan sabun mandi lalu mencuci rambut dengan bahan pencuci rambut yang banyak dijual di toko, seperti shampoo dan hair tonic. Mencuci rambut "bacoho" dapat delakukan dengan dua cara, yakni cara tradisional ataupun hanya sekedar simbolisasi.

Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta), fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.

Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.

Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi, dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah digunakan sebelumnya.

Upacara Perkawinan



Mempelai Manado
Upacara perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.


Hal ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secara Mapalus dimana kedua pengantin dibantu oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam hari dengan acara kebaktian dan makan malam.

Orang Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta, Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).

Contoh proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.


Rumah Tradisional Minahasa
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu dilakukan dialog dalam bahasa daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok pintu kamar wanita. Setelah pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan bersiap untuk pergi ke Gereja.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.


Apabila pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan, ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.

Prosesi upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman, makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai dengan Polineis.

Prosesi Upacara Perkawinan di Pelaminan



Pernikahan di Tondano
Penelitian prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah, Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu (kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.


Setelah kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu) atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.

Bahasa upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat. Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian (pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti : Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama maknanya.

                                             =jessy wenas=

Rabu, 31 Juli 2013

CITA-CITA MINAHASA

Tabea samua,bagimana menurut ngoni....MASIH ADAKAH SAM RATULANGI YG VISIONER pa tong pe pemimpin bangsa minahasa bahkan mampu meletakan BANGSA MINAHASA BUKAN SAJA SAMA DENGAN BANGSA LAENG MAR LEBE DAR BANGSA LAENG?

"Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi Bangsa Minahasa sambil sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing."
(Dr. Sam Ratulangi, Cita-Cita Minahasa, Indische Vereniging 28 Maart 1914 di Den Haag)

Selasa, 30 Juli 2013

PEMBERIAN NAMA PADA TOU MINAHASA

Silsilah dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan, matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.
Sesuai adat istiadat dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum dimakamkan.
Juga adat dan kebiasaan dari zaman Malesung, para orang tua memberi nama pada turunannya atau anak-anaknya dengan berbagai arti antara lain : nama Dewa, Bintang, Gunung, hasil Nujuman [Penglihatan atau Mimpi], Kejadian Alam maupun Musim, nama kayu/pohon, juga kata majemuk yang memakai sisipan atau imbuhan yang mengartikan suatu hal atau suatu kejadian.
Masyarakat Minahasa tidak mengenal / memakai  “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.
Pencantuman nama bapak dibelakang nama sendiri mula-mula hanya “bersifat keterangan” bahwa yang bersangkutan adalah anak dari nama tersebut, pada saat itu sudah banyak terjadi perkawinan antara masyarakat setempat dengan pendatang dari Eropa.
Pencantuman nama orang tua [Bapak] ini mulai terjadi sekitar akhir abad tujuh belas terutama
di-Wilayah Walak yang lebih dahulu mengenal atau berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa.
Wilayah-wilayah tersebut ialah : Ares, Kalabat Atas [Maumbi], Kalabat Bawah, Manado, Bantik, Tombariri, Kakaskasen dan Tonsea tetapi “Pencantuman nama orang tua” ini belum menjadi kebiasaan umum, juga para pemuka / pimpinan masyarakat belum terbiasa dengan hal ini
[ cat : sekitar tahun 1670 ada 23 Walak di Minahasa ].
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri Baru / Titiwungen ].
Ditahun 1851 barulah kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya pajak [Belasting] oleh Residen saat itu  [ Residen Scherius ] yang diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa
[ Penerapan kode sipil ].
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].  
“Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.
Nama Keluarga atau Fam Mamahit awalnya nama dari Ukung Tu’a Mamahit [Tu’a im walak / Kepala Walak Remboken] salah satu anak dari Mioyo dan istrinya Rumawen, mereka berasal dari Walak Remboken – Minahasa.
Mamahit lahir pada sekitar tahun 1750 dan kawin dengan Mawi’ikit mereka dikaruniai tujuh orang anak, lima laki-laki dan dua perempuan.
.
Makassar, 18 Juni 2003

W L J Mamahit

SI PISOK PADA JAMANNYA

Sarang Burung Pulau Lembe  1750 — 1905

           Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Minahasa tahun 1512, sarang burung pisok (walet) di pulau-pulau pantai Minahasa telah jadi barang dagang pelaut Cina yang ditukarkan dengan barang porselen.
Karena beras dan sarang burung Pisok menjadi barang dagangan utama Minahasa maka padi dan burung pisok sering muncul pada syair lagu-lagu maengket .

           Catatan tertulis pertama mengenai produksi sarang burung Pisok Minahasa dibuat gubernur VOC - Belanda Padtbrugge ketika datang membuat kontrak kerja sama dengan Minhasa tahun 1679
sebagai berikut ;
"....... vogelnestjes vallen omtrent Manadoschen hoeck, Lembeh, Datahans en endere eilanden made er jaarlijks thien picols gepluckt werden."
Terjemahan bebasnya adalah bahwa sarang burung di Minahasa terdapat di pulau Lembe, pulau dekat Ratahan, tanjung Torawitan menghasilkan sepuluh pikul [ 625 kg ] setahun .

           Ketika Tololiu Supit menjadi Kepala Walak, karena istrinya keturunan Dotulong, dia menuntut pembahagian keuntungan penjualan sarang burung pulau Lembeh .
Terjadilah sengketa antara dinasti Supit Tomohon Tombulu dengan dinasti Dotulong Kema Tonsea. Sengketa itu tercermin pada isi surat gubernur VOC - Belanda di Ternate tanggal 11 Mei tahun 1750 kepada Xaverius Dotulong kepala walak Kema-Tonsea, antara lain sebagai berikut ;   "....... dikabarkan bagi sahabat bertanya djikalau bagaimana Kema dengan orang Tomohon akan berdamai atau tidak, agar Kema dengan Tomohon badame dengan segera-segera supaya kami Companija akan suka-suka mendengar. Hukum Kema sudah bersuka menerima kain dari Companija buat baik pada negeri sabla, tapi beta dengar katanya kain tiada sampe [ diberikan pada orang Tomohon ]. Jikalau dapat orang Bantik datang di Batu puti boleh tangkap dan ikat bawa pada Commandant di Manado, karena barangkali dia orang mau mencuri sarang burung. Lagi jikalau sudah ada sarang burung biar Hukum Kema antar kamari [ ke- Ternate ] dalam ini bulan. Tertanda Gubernur Ternate G.R. De Cock."

           Antara tahun 1765 - 1785, harga sarang burung pisok naik satu pond dua ringgit hingga terjadi perebutan pulau Lembe diantara keluarga dinasti Tonsea.
Xaverius Dotulong mengirim surat kepada gubernur Belanda di Maluku Hermanus Munnik untuk mensahkan bahwa pulau Lembe bukan "Kalakeran" tapi miliknya sendiri berdasarkan warisan, surat tanggal 3 Februari 1770 antara lain berbunyi ; "....... Beta dengan senang hati menyatakan jang bahuwa pulai lembe sudah dari dulu beta empunya dotu sudah empunya, tete Wenas Lumanau serahkan serakan sama beta punya bapak Runtukahu yang sudah bawah kiriman sarang burung kepada kompeni. Maka bapa beta telah menduduki pulou lembe sampai mati, dan sakarang beta menduduki pulau lembe hingga pada anak-anaku. Tjuma itulah permintaan kepada paduka tuan yang mulia kiranya permintaan beta disetujui."

           Permintaan Xaverius Dotulong untuk memiliki pulau lembe sebagai hak waris disetujui Gubernur Belanda Hermanus Munnik dengan suratnya tanggal 17 April 1770 sebagai berikut ; "........ oleh karena ukung kema Xaverius Dotulong telah menyatakan kepada kami bahwa pulau lembe milik mereka sejak dahulu. Maka dengan demikian kepada ukung Kema Dotulong dan temurunnya mengijinkan hak buat sendiri mengambil hasil-hasil dipulau lembe mengesahkan pemilikan pulau itu kepadanya pada kesempatan pengambilan sarang burung dengan izin yang terartur dari dari pemerintah Hindia Belanda."

           Tetapi karena pulau Lembe milik Pakasaan Tonsea maka anak-anak bekas dari kepala walak yang karena perkawinannya sudah menjadi penduduk Manado, Bantik, Ares, Negeri Baru - tidak menyetujui pengakuan gubernur Hermanus Munnik tersebut .

           Tahun 1776 terjadi serangan bajak laut dari Mangindanau Philipina Selatan di Kema yang juga tertarik sarang burung yang ada di pulau Lembe, anak-anak Xaverius Dotulong yakni Watok, Supit dan Rumondor berhasil mempertahankan Kema. Sehingga residen Belanda Wendholt datang di Benteng Manado tahun 1779 menyerahkan surat kepada Hukum Kema Xaverius Dotulong untuk memiliki sendiri pulau Lembe dan melarang orang lain mengambil sarang burung di pulau itu .
Dan untuk keluarga-keluarga Tonsea di walak Manado, Ares, Negeri Baru, Kalabat Atas, Kalabat Bawah, mendapat hadiah kain "Salempuris" warna coklat biru tua dari Belanda .

           Tapi antara tahun 1896 - 1908 sengketa pulau Lembe muncul lagi yakni dari cucu-cucu Xaverius Dotulong yang menggunakan jabatan mereka minta hak atas produksi pulau Lembe, antara lain J.A. Worotikan - Hukum Kedua Manado, F.H. Dotulong - Majoor Sonder, A.L. Waworuntu - ex Majoor Sonder, J.A. Lasut - Majoor Ares Manado, Herman Wenas - Majoor Tomohon .
Hanya Karena harga sarang burung merosot di periode setelah tahun 1900-an, maka sengketa pulau Lembe itu berakhir dan dilupakan.

           Sengketa sarang burung Pisok [ walet ] di pulau Lembe satu dua abad lampau di Minahasa menunjukkan antara lain penyebab perang antar walak Minahasa dimasa lampau.
Dimana dinasti-dinasti Minahasa yang berasal dari satu Dotu tapi bertempat tinggal di distrik [ Walak ] yang berbeda, menggunakan jabatan pemerintahan dan jabatan kepala adat.
Karena seorang Ukung Hukum Besar, Hukum Kedua, Hukum Tua - otomatis menjadi kepala taranak [ ethnik ] dan kepala adat, memungkinkan seorang Kepala Walak Sonder Tontemboan menuntut hak waris kepada Kepala Walak Tonsea atas tanah warisan di Tonsea dengan latar belakang ekonomi .
Oleh :

Jessy Wenas