Senin, 05 Agustus 2013

MIT0LOGI & HISTORI LELUHUR MINAHASA: Pendekatan Diakronik (Suatu Tinjauan Kritis)

Oleh: Albert WS Kusen
Bert Supit, penulis buku,  Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986), dalam pengantar diskusi ‘Strategi Budaya demi Pakalawiren dan Pakatuan’ (2007),  antara lain menyatakan, bahwa “kita sebagai Tou-Minahasa selain mendalami dan memahami kondisi budaya masa kini,  kita kiranya diharuskan juga membina tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan yang bermanfaat dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.  Dalam Manifesto Kawanua (MK) di Jakarta Tahun 2004 lalu, menggarisbawahi ‘manusia Kawanua menghargai dan memaksimalkan pemanfaatan semua artefak dan sistem nilai budaya peninggalan generasi pendahulu sebagai cermin pengenalan akan jati diri kita yang menjadi modal dasar kepribadian khas bagi pengembangan strategi kebudayaan menuju manusia Kawanua yang unggul dan bahagia.

MK tersebut  dipersembahkan kepada setiap Tou-Minahasa di manapun ia berada agar dapat menjadi penunjuk jalan bagi kokohnya eksistensi dan pre-eminensi kita dalam alam modernisasi masa kini di bumi nusantara maupun di dunia. Sebagai implikasinya, di bawah ini akan dikemukakan makna dimensi-dimensi histori maupun mitologi Tou-Minahasa”.

Isu Teoritis 
Pembentukan ilmu-ilmu sosial dan institusi-institusinya terjadi dan berkembang di Asia dan Afrika pada mulanya dilakukan oleh sarjana-sarjana dan pemegang kekuasaan di masa penjajahan sejak abad ke 18, dan juga oleh orang Eropa lainnya secara langsung maupun tidak. Tinjauan atas persoalan ketidaktepatan pada tataran filosofis, teoritik, empiris, dan terapan merupakan konsekuensi dari pertemuan antara teori dan cara Barat di satu pihak dengan kenyataan setempat (nasional maupun regional/lokal) di pihak lain (Alatas 2003:3).

Sebagaimana asal-usul leluhur suatu etnik, khususnya Etnik  Minahasa, deskripsi ‘etnografinya’ (mitologi-histori)  sejak abad ke 18 cenderung didominasi oleh  penulis asing (Graflaand, Schwarz, Riedel, Palm, Adam, Wilken, etc.) yang sudah sejak lama dijadikan referensi atau sumber data penulis-penulis lokal  ketika mereka mengekspresikannya  dalam wacana (tulisan-lisan) sejarah dan kebudayaan tentang Minahasa ditambah dengan pengalaman dan/atau catatan dokumen lainnya yang dapat dipercaya validilitasnya.

Untuk maksud tersebut, maka secara konseptual diperlukan kontstruksi teori dalam mengola secara kritis sumber-sember data tersebut yang dijadikan referensi oleh penulis-penulis lokal (budayawan – sejarahwan) terkesan tidak dilatarbelakangi oleh tradisi akademik, khususnya antropologi yang lazim menggunakan konstruksi teori ketika mendeskripsikan teks tulisan suatu etnografi. Karena sebagaimana dinamika  antropologi (mungkin juga arkeologi atau ilmu sejarah) sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu sosial, setelah fase ke empat (1930-an) telah mengalami perkembangan yang pesat,  yang sampai pada era sekarang ini tahun 2000-an dikembangkan lagi oleh kalangan post-modernist anthropological Philosophy, mengenai ‘refleksitas’ (Salzman 2002). Implikasi teoritisnya, bahwa dalam mengkaji (rekonstruksi) asal usul orang Minahasa ditelaah secara antropologis, di mana salah satu pendekatannya adalah ‘deskriptif integrasi’, atau secara ‘diakronik’ (lihat Koentjaraningrat 1981; Keesing 1986; Harris 1991). Jadi, pendekatan akademiknya, sama sekali berbeda dengan humaniora (ilmu-ilmu sejarah, sastra dan filsafat).

Seperti diketahui bahwa pendekatan diakronik bertujuan untuk mencari pengertian sejarah tentang asal-usul dan perkembangan dari suatu daerah atau etnik, kemudian  mengintegrasikan dalam konteks-konteks ruang dan waktu. Di sini, penulis mencoba menyajikan data yang bersumber dari teks-teks yang ada (buku, makalah, catatan, dan ungkapan-ungkapan lisan) mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Minahasa dalam konteks sejarah, gejala sosial dan kebudayaannya masa kini. Kecuali itu, dalam mengklarifikasi  ruang dan waktunya, juga memperhatikan temuan arkeologi - fosil-fosil atau artefak-artefak yang pernah terdapat di Minahasa maupun yang terdapat pada masyarakat atau etnik sekitarnya. Semua data atau informasi dikumpulkan secara integratif diolah menjadi satu.

Hasil kajian,  relatif dapat diinterpretasi makna identitas leluhur orang Minahasa yang selama ini dipandang secara beragam baik oleh kaum awam maupun oleh mereka yang dianggap sebagai penulis lokal (native), dikenal sebagai budayawan, sejarawan yang telah menulis tentang Minahasa (Watuseke, Wuntu, Supit, Sinolungan, Lapian,  Kotambunan, Sendouw, Mambu, Wenas, Umboh, Gosal).

Menelusuri Dimensi-Dimensi Mitologi dan Histori Leluhur Minahasa
Difusi. Berdasarkan telaah diakronik (perbandingan data pra-sejarah),  diperkirakan di tanah Minahasa sudah ada manusia,  sekitar lebih dari 7000 tahun sebelum masehi (SM). Rentang waktu ini dapat dipertimbangkan kesahihannya,  karena   didukung oleh adanya temuan fosil dari arkeolog asal Australia bernama Peter Bellwood, mengenai  sisa-sisa makanan manusia purba orang Minahasa, seperti anoa, babi hutan, monyet, tikus, burung penyu dan ular,  dan juga kapak  batu terletak  didekat danau Tondano, tepatnya di desa Paso.  Secara arkeologis,  fosil-fosil ini sudah berusia sekitar tahun tersebut.

Mengenai kapak batu di Sulawesi Utara (Minahasa), terdiri dari tiga jenis kapak batu (segi empat, tangga, dan lonjong). Kapak batu bulat lonjong yang di Minahasa (desa Paso), berumur sekitar masa 5000 tahun yang lalu. Sama seperti yang ditemukan di luar Indonesia, antara lain dari Filipina, Jepang dan Yunan (Cina Selatan). Dalam kaitan dengan temuan kapak batu bulat lonjong yang ditemukan di Minahasa tersebut, tentunya perlu dilihat dengan menggunakan pendekatan teori difusi yang sering digunakan oleh ahli antropologi dalam mengkaji asal-usul persebaran kebudayaan (fisik maupun non-fisik) dari satu tempat ke tempat lainnya.

Seorang arkeolog yang bernama Fritz Wagner memberikan analisis, bahwa kebudayaan di kepulauan Indonesia berasal dari wilayah Yunan di Cina Selatan yang menyebar ke kepulauan Indonesia sekitar tahun 4500-3000 BC. Hal ini, secara teoritis menunjukka bahwa asal usul kapak tersebut kemungkinan bisa  datang atau dibawa dari wilayah Yunan, Vietnam Utara,   melalui P. Formosa Taiwan, kemudian ke Filipina sampai akhirnya ke Minahasa, yang kemudian membentuk masyarakat etnik Melayu-Tua (lihat Wenas 2007:28).

Dengan demikian, berdasarkan ruang dan rentang waktu yang disimpulkan oleh para arkeolog berdasarkan hasil temuan-temuan fosil di atas, maka wilayah Minahasa atau tepatnya di kawasan danau Tondano (desa Paso) mulai didiami manusia yang makan kerang air tawar mulai 5000 sampai 3000 atau 1000 tahun tahun SM. Dengan demikian, secara diakronik (didukung data arkeologi), di kawasan danau Tondano inilah merupakan tempat pemukiman pertama dan terlama dihuni oleh leluhur Minahasa. Alasan teoritisnya, adalah bahwa sejak ditemukan fosil makanan orang purba dan kapak batu di kawasan tersebut, belum diperoleh data arkeologi adanya temuan fosil tersebut di tempat lain di wilayah daratan Minahasa.

Untuk maksud tersebut dapatlah dipertanyakan dan/atau dikaji lagi kebenaran  atas asumsi sosok  Lumimu’ut adalah makhluk manusia pertama yang pertama kali yang ada di Tanah Minahasa.  Apakah   Lumimu’ut lebih dahulu ada setelah manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano (fosil manusia purba), seperti apa yang telah dinyatakan di atas, diperkirakan mereka hidup sekitar tahun 7000-5000 BC? Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa asumsi-asumsi mengenai asal-usul Lumimu’ut berdasarkan perspektif  difusi ada hubungannya dengan temuan para arkeolog di atas, yakni mereka datang dari daratan Asia kemudian bermigrasi ke Jepang, P. Formosa, Filipina dan akhirnya sampai ke Minahasa. Untuk maksud tersebut, tidaklah berlebihan  saya akan coba untuk merekonstruksi sedemikian rupa asal-usul Lumimu’ut, bahwa berdasarkan  ciri-ciri fisik atau  ras, tergolong ras mongoloid-tua (mata sipit, kulit kuning lansat), dapat  diasumsikan berasal dari beberapa tempat, seperti yang dikemukakan di bawah ini.

1)  Dari daratan Asia Mongolia, bermigrasi ke Jepang, masuk P. Formosa (Taiwan), Filipina,  dan terdampar di pesisir barat Minahasa,  kemudian turunannya mengembara  ke pedalaman pegunungan Wulur Mahatus dan menyebar di daratan Minahasa, termasuk manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano tersebut?
2)   Dari daratan Cina Selatan (Yunnan), langsung ke Filipina, masuk Kalimantan (suku Dayak), dan bermigrasi ke Sulawesi (Minahasa)?

Sebagai catatan,  oleh karena secara akademik isu migrasi leluhur Minahasa (Lumimu’ut) yang ungkapkan di atas  belum dapat dipastikan kebenarannya, maka perlu direkonstruksi sedemikian rupa asumsi-asumsi historis maupun mitologisnya dengan menelusuri latar belakang Lumimu’ut yang dipercaya sebagai perempuan perkasa (Dewi Bumi), adalah manusia pertama yang menginjak kakinya di bumu Malesung.  Untuk jelasnya simak pengungkapannya dalam versi mitologis maupun historis  di bawah ini

Reinterpretasi Dimensi  Mitologi Leluhur Minahasa
Seperti diketahui bahwa interpretasi asal usul sosok Lumimu’ut sebagai orang pertama di Tanah Minahasa dalam koteks mitologis, berdasarkan wacana lisan (cerita rakyat dari mulut ke mulut),  Lumimu’ut adalah seorang putri raja dari negeri seberang. Mungkin karena sang raja (ayah dari Lumimu’ut) tidak menginginkan anak perempuan sebagai pewaris tahta kerajaan, maka dikeluarkan titah atau perintah kepada pengawalnya untuk membuang bayi Lumimu’ut tersebut ke tengah laut. Ternyata di tengah laut bayi Lumimu’ut tidak dibiarkan sendirian, namun  mungkin karena sang pengawal ini merasa iba terhadap bayi,  diantar bayi tersebut sampai  ke pesisir daratan Minahasa.

Kehadiran tokoh Karema sebagai penentu berlanjutnya kisah Lumimu’ut ini, adalah sebagai dewi bintang (lihat Wenas 2007), yang dikenal dengan bintang berekor (komet helly). Turun ke bumi  kemudian berwujud menjadi makhluk bumi (manusia),  karena merasa tertarik  melihat Lumimu’ut yang sendirian di pesisir daratan Minahasa tersebut. Maka proses selanjutnya dipeliharalah Lumimu’ut sebagai seorang gadis yang cantik. Singkat cerita, akhirnya melalui ‘perantaraanKarema mendayagunakan alat reproduksi Lumimu’ut supaya hamil, kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan To’ar (mitos dewa langit).

Setelah Toar beranjak menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa (tuama), timbul inisiatif dari  Karema untuk mencarikan  jodoh agar  Toar maupun Lumimu’ut dapat memiliki keturunan.   Karema pun membuat kesepakatan dengan Toar dan Lumimu’ut agar masing-masing mengembara (Toar ke utara’ dan Lumimu’ut ke selatan) untuk mencari jodoh sebagai pasangan hidup masing-masing. Dibuatlah aturan main, dengan cara mengambil dua buah potong tongkat bentuknya sebangun dan sejajar, kemudian diserahkan kepada mereka. Alasan  dibuatnya aturan ini, untuk meyakinkan agar orang lain yang ditemukan adalah bukan dari antara mereka sendiri.  Dengan kata lain, bahwa  apabila ditemukan seseorang (lawan jenis) membawa tongkat bentuknya berbeda, maka yang bersangkutan diperkenankan untuk dijadikan sebagai istri atau suami.

Singkat cerita, akhirnya To’ar bertemu dengan seorang perempuan yang membawa tongkat bentuknya berbeda dengan miliknya. Maka, sesuai dengan  aturan yang digariskan oleh Karema dijadikanlah perempuan tersebut sebagai  istrinya,  yang tak lain adalah Lumimu’ut. Termasuk juga dalam versi mitologis ini, adalah cerita asal usul Karema dan Toar-Lumimu’ut yang diungkapkan dalam bentuk syair lagu, yang berjudul asli “De Zang Van Karema” (‘Nyanyian Dewi Karema’). Dapat dikatakan bahwa hampir semua sub-etnik Minahasa, terutama ke-empat sub-etniknya, yaitu Toulour, Tombulu, Tountemboan, Tonsea mengetahui syair lagu ini. Pernah dinyanyikan pada upacara ‘Mangorai’ yang dinilai oleh penulis H. Van Kol (1903:160) bahwa syair dalam nyanyian ini paling lengkap dan estetika tata-bahasanya paling indah, ditemukan di wilayah sub-etnik Tombulu (syair-syairnya lihat lampiran bab ini). Kisah mitologis mengenai Karema¸Lumimu’ut dan Toar di atas, hampir ada kesamaan dengan kisah mitologi Yunani tentang Odipus-Complex  (percintaan antara ibu dan anak laki-laki); dan cerita legenda masyarakat Sunda, yang dikenal dengan sangkuriang.
 
Reinterpretasi  Dimensi Histori Leluhur Minahasa
Dalam konteks akademik, bagaimanapun juga  versi mitologi yang dimaksud di atas, tidak dapat dijadikan sebagai pengetahuan ilmiah atau  secara akal sehat (misalnya, Karema adalah wujud dari bintang berekor yang turun ke bumi), maka tidaklah berlebihan pada seksi ini saya akan coba menyajikan dalam versi historis, diperkirakan sekitar abad ke empat masehi. Bahwa sesungguhnya Karema itu bukanlah dewi bintang berekor yang turun dari langit, tetapi dia adalah seorang perempuan separuh baya berperan sebagai pemimpin dayang-dayang istana.

Berkenaan dengan adanya perintah raja kepada pengawalnya untuk membuang/membunuh bayi Lumimu’ut, Karema  ditugaskan oleh ratu (ibu Lumimu’ut) agar secara diam-diam mendampingi sang pengawal merawat bayi Lumimu’ut. Sang ratu tidak berdaya mencegah keputusan raja karena sesuai dengan adat atau peraturan keluarga kerajaan, bahwa apabila anak pertama lahir bayi perempuan, maka anak tersebut dibunuh atau dibuang ke tengah laut. Seperi cerita di atas, sang pengawal pun bersama dengan Karema mengantar bayi Lumimu’ut sampai ke suatu tempat di Minahasa. Perkiraan penulis, tempat pertama yang dituju  mungkin di pesisir kawasan pantai timur Minahasa. Akhirnya sang pengawal menyerahkan bayi Lumimu’ut kepada Karema untuk memeliharanya.

Sesuai dengan namanya, Karema mungkin  keturunan  suku bangsa Mongol, sedangkan orang tua Lumimu’ut adalah pangeran atau raja yang berasal dari kerajaan-kerajaan kuno di daratan Cina Selatan (Yunnan). Untuk itu, apabila dihubungkan dengan adat pembuangan/ pembunuhan bayi perempuan (infanticide) yang pernah menjadi tradisi bangsa Jepang kuno dan suku-suku bangsa lain yang ada di daratan Tiongkok (lihat Singarimbun 1985), maka boleh jadi Lumimu’ut ini berasal dari negeri yang melaksanakan tradisi tersebut (Jepang). Tafsiran ini juga didukung oleh  penjelasan dari ahli bahasa Adriani, bahwa ‘Toar’ (tou + ari = manusia karunia dewa), dalam bahasa Minahasa   tou= manusia, dalam bahasa Jepang ‘hito’ (sito)= orang atau manusia. Selanjutnya, menurut Kruyt bahwa waruga (kuburan kono orang/dotu Minahasa) ada kesamaan dengan keranda-keranda (steenhouwere) yang ada di Jepang, Formosa, Filipina (Luzon) dan napu-napu di Sulawesi Tengah (lihat Umboh 1985:24).

Kecuali itu, ada juga yang menghubungkan dengan melihat ciri atau gaya berkuda orang Minahasa mirip dengan gaya berkuda bangsa Jepang, atau bangsa Mongol yang terkenal dengan pasukan berkudanya dan  pemberani dalam berperang. Mungkin melalui Karema mensosialisasikan  bagaimana kehebatan  berkuda pasukan Jenghis-Khan yang melegenda itu. Berdasarkan kisah historisnya pernah menaklukkan hampir semua kerajaan di Asia (Cina, India, Persia), dan sebagian Eropa (Rusia, Spanyol, Italia dan Jerman). Kesempatan ini penulis akan mengemukakan asumsi-asumsi migrasi leluhur orang Minahasa, adalah sebagai berikut.

Argumentasi linguistik yang menolak pendapat asal-usul Lumimu’ut tersebut (tidak ada kesamaan bahasa antara orang Minahasa dengan bangsa Cina, Mongol dan Jepang), secara teoritis  tidak mendasar karena Lumimu’ut ketika itu masih bayi so pasti tidak dapat mewariskan wacana (lisan maupun tulisan) bahasa/dialek dari negeri asal yang bersangkutan.

Kisah Karema, Lumimuut dan Toar. Dalam konteks historis, berdasarkan wacana tulisan (karya sastra budaya Minahasa)  dalam  Mewoh, dkk (2000), diceritakan bahwa pada era kejayaan bangsa Mongol (700 AC), Genhis Khan (Tamujin) merupakan sosok jenderal yang paling ditakuti di seluruh kawasan Asia Tengah, bahkan kawasan Persia, Arab, dan sebagian Eropah. Pada suatu ketika, pasukan berkudanya diarahkan  menyerang kerajaan Shin atau Tionghwan (Cina). Akan tetapi, karena tembok cina begitu kokoh, menyebabkan pasukannya melakukan tindakan penyusupan ke seberang tembok. Salah satu prajurit Mongol, yang gagah berani, dan memiliki kecerdasan menguasai bahasa Han,  berhasil masuk ke istana raja tanpa dicurigai. Tanpa disadarinya, ada seorang perempuan tua yang  juga berasal dari Mongol, selalu mengikutinya. Ternyata sang prajurit Mongol itu adalah cucu satu-satunya perempuan tua itu yang berusaha untuk melindunginya demi kelangsunan tururannya.  Karena semua anaknya sudah mati di medan perang, salah satiunya adalah  ayah dari prajurit Mongol tersebut.

Di dalam istana raja, pemuda Mongol ini bertemu dengan seorang putri bernama Lu Ming  yang sedang dirudung susah, karena sang putri akan dijodohkan dengan salah satu putra dari keluarga kerajaan lain. Akhirnya pemuda Mongol ini mampu menghibur sang putri yang bermuara pada percintaan. Sang raja pun murkah mendengar kabar bahwa putrinya telah menjalin cinta dengan pemuda Mongol tersebut, apalagi diketahui sang putri sudah hamil. Sebagai konsekuensinya, sang pemuda dan sang putri diberi hukuman berat oleh sang raja, keduanya dijatuhi hukum mati. Tapi karena istri raja/ratu keberatan atas vonis mati sang putri, diganti dengan hukuman sang putri di buang ke luar istana melalui lautan, sedangkan sang pemuda tetap menemui ajalnya di tiang gantungan.

Dengan menggunakan perahu rakit, dibuanglah sang putri ke tengah laut. Perempuan tua yang menyadari bahwa bayi yang dikandung sang putri adalah keturunan satu-satunya, berusaha melindungi sang putri di lautan dengan menggunakan perahu rakit. Perempuan tua itu mengikuti perahu rakit yang membawa sang putri dari belakang. Tiba-tiba di tengah lautan, perahu rakit mereka saling bertabrakan karena dihantam gelombang badai. Keduanya pingsan. Perahu rakit mereka dibawa arus dan terdampar di suatu daratan.  Setelah siuman, betapa gembiranya perempuan tua itu,  melihat sang putri yang sedang pingsan masih bernafas. Tanpa membuang waktu, diangkatlah sang putri dibawa ke tengah hutan. Setelah sadar, sang putri terkejut melihat perempuan tua di depannya. Akhirnya, setelah perempuan itu menceritakan kejadian di tengah laut sampai terdampar di daratan, sang putri pun sadar bahwa perempuan itu yang menolongnya.

Selama di hutan, perempuan tua itu merawat sang putri begitu penuh dengan kasih sayang. Selain merawat sang putri  yang sedang hamil, mencari makanan, membuat pakaian dari kulit kayu, tetapi juga melindunginya dari ancaman hewan liar yang ada di hutan. Bagi sang putri perempuan tua itu sudah dianggap sebagai orang tuanya. Apalagi keberadaan perempuan tua ini dilihat oleh sang putri memiliki  kesaktian, arif dan baik hati.  Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak menceritakan hubungannya dengan pemuda Mongol yang tak lain adalah cucunya.

Oleh karena hubungan antara perempuan itu dengan sang putri sudah seperti anak dan ibu, dibuatlah perjanjian atau sumpah dalam suatu upacara yang diatur oleh perempuan itu, sehubungan dengan bayi yang akan dilahirkan sang putri. Sumpahnya adalah, apabila yang lahir bayi perempuan, maka sang putri akan mengabdikan sepanjang hidupnya kepada  perempuan tua itu; tetaoi, apabila yang lahir bayi laki-laki, maka sang putri senantiasa harus taat atas segala perintah dari perempuan itu. Upacara sumpah ini ditandai dengan batang pohon tawa’ang yang ditanncapkan ke tanah.
Sang putri yang dahulu bernama Lu Ming diganti oleh perempuan tua itu menjadi Lumimuut, dianalogikan seperti peluh yang berasal dari batu karang. Secara simbolik, peluh menunjukkan sifat pekerja keras, sedang batu karang menunjukkan kekuatan, ketegaran yang mudah goyah oleh kemelut apa pun.

Perempuan tua itu sendiri, namanya disebut Karema, dianalogikan sebagi orang yang mendahului, atau lebih awal dari ayah yang mula-mula. Artinya, bayi yang akan dilahirkan sang putri adalah anak dari cucunya perempuan tua itu. Setelah Lumimu’ut melahirkan, lahir bayi laki-laki dinamakan Toar yang dianalogikan seperti tu’ur atau inti dari pohon.

Arti lain dari Toar adalah pusat angin (Tuar), dianalogikan angin mempunyai sifat abadi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, yang senantuasa bertumbuh dan meyebar. Lahirnya Toar sebagai bayi laki-laki, konsekuensinya Lumimuut harus mentaati sumpahnya, yakni harus mentaati apa yang dimaui Karema. Setelah sembilan bulan purnama, sang bayi lepas menyusui, diajaklah Luminuut ke tempat di mana pohon tawa’ang itu ditancapkan. Kemudian, Lumimuut diperintahkan untuk meninggalkan sang bayi,  mencabut pohon tawa’ang dan membawanya ke mana saja yang dia tuju. Karena dengan membawa pohon tawa’ang Lumimuut akan bertemu dengan seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Demikian juga dengan Toar, seiring dengan waktu selama hidupnya dirawat, dididik, dan dibesarkan oleh Karema. Setelah menjadi sosok pemuda tampan, Karema menginginkan supaya mencari pasangan hidup. Sebagaimana yang dialami Lumimuut harus mengembara mencari pasangan hidup di mana saja, demikian juga Toar harus membawa batang pohon tawa’ang sebagai tanda sumpah. Apabila bertemu dengan perempuan yang membawa pohon tawa’ang yang berbeda ukuran panjangnya, perempuan itulah jodohnya.

Dalam pengembaraan melintasi sungai dan hutan, akhirnya Lumimuut dan Toar bertemu di pegunungan yang bernama Wulur Mahatus. Berdasarkan sumpah yang ditetapkan oleh Karema, berjodohlah Toar dan Lumimuut sebagai pasangan suami istri, dikarenakan pohon tawa’ang  yang dibawanya berbeda.

Refleksi: Tinjauan Kritis
Berkenaan dengan kisah migrasi/perjalanan Lumimu’ut sampai ke tempat tujuan tanah Minahasa, penting  untuk diwacanai melalui  suatu tinjauan kritis (critical review) atas cerita yang pernah diungkapkan oleh penulis-penulis asing maupun penulis lokal lainnya (lihat Sinolungan 1992).  Dapat ditegaskan bahwa terdapat kelemahan mendasar berkenaan dengan isu historic-linguistic-nya, khususnya kasus Lumimu’ut datang bermigrasi ke Minahasa berwujud sebagai seorang putri raja/gadis cantik (dewasa) bersama rombomgan yang melarikan dari tempat asalnya; versi cerita lain, Lumimu’ut  dibuang oleh ayahnya/raja,  karena ketahuan bercinta dengan lelaki yang bukan pilihan sang ayah/raja. Tentunya sebagai seorang gadis (diperkirakan berusia 17-20 tahun) secara linguistik sudah dapat berbahasa lisan maupun tulisan.

Yang menjadi permasalahan adalah, bahasa apa yang digunakan oleh Lumimu’ut dan rombongannya itu?
Kalau dikatakan mereka berasal dari wilayah Cina Selatan Yunan, Jepang atau Mongol, maka  logikanya bahasa (lisan-tulisan) yang digunakan oleh Lumimu’ut adalah kedua bahasa tersebut? Jika demikian, maka  bahasa yang dimaksudkan ini diwariskan ke anak, cucu, dan turunan-turunan Toar-Lumimu’ut? Pertanyaannya, adakah situs tulisan atau huruf Cina atau Jepang tertera di batu yang ada di Watu Pinawetengan? Atau setidaknya terdapat kosa kata Cina atau Mongol dalam teks-teks lisan maupun tulisan dalam bahasa/dialek pada ke empat sub-etnik orang Minahasa (Tombulu, Tonsea, Toulour, dan Tountemboan)?

Akan tetapi, bagi orang Minahasa,  menyangkut identitas asal-usulnya sejauh ini tidak mempersoalkan latar belakang asal-usulnya, apakah historis atau mitologis. Yang penting, sebagaimana adat Minahasa tempo doeloe, siapa pun manusia yang bermukim di tanah malesung, harus menyatakan secara terbuka bahwa yang bersakutan adalah turunan Toar-Lumimu’ut. Diinformasikan oleh Swarzh (1890) barangsiapa mengingkari asal-usul turunannya bukan dari Toar-Lumimu’ut, sangsi hukumnya adalah ‘potong kepala’ di batu pinabetengan.
-------------------------------------------------------
Hill Street, 15 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar