Jumat, 13 September 2013

BUKU KAWASAN SANGIHE-TALAUD-SITARO.

( Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro, Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan, hasil kolaborasi Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile. Sebuah buku yang sangat layak dimiliki oleh orang Nusa Utara. Buku yang sangat komprehensif menguraikan permasalahan yang dihadapi kawasan Nusa Utara. Telah beredar cukup lama di beberapa toko buku.)

Pembentukan PNI Cabang Siau menariknya bermula dari lahirnya sebuah karya sastra seorang tokoh Siau bernama Gustaf Erens Dauhan tahun 1925. Karya itu adalah sebuah roman berjudul ‘Rahasia Utara’. Roman ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Anna yang jadi korban kawin paksa. Secara kebetulan satu eksemplar roman itu jatuh ke tangan pemimpin Stambul Dardanella di Bandung
Dardanella yang merupakan kelompok tonil (teater) paling menonjol Indonesia di masa Belanda tertarik dengan roman itu dan berminat mementaskannya. Pemimpin Darnella pun melayangkan surat permintaan izin pengarangnya agar membolehkan kisah itu ditampilkan sebagai lakon tonil Dardanella.
Terkait dengan pementasan karyanya itu G.E. Dauhan ke Bandung tahun 1927. Saat itu usianya baru 27 tahun. Di kota kembang inilah Dauhan bertemu, berkenalan dan akhirnya berkawan ketal dengan Ir. Soekarno yang juga peminat seni drama. Tonil dilihat Soekarno sebagai sarana menyampaikan gagasan-gagasan penyadaran pembebasan bangsa. Bahkan tokoh bapak bangsa ini adalah penulis drama dimasa pembuangannya di Bengkulu.
Ir. Soekarno merupakan salah satu pemuda di pentas kesadaran pergerakan kebangsaan kala itu. Dia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun saat dia berkenalan dengan Dauhan (1927). Organisasi itu kemudian dirubah jadi lebih tegas sebagai organisasi polotik kebangsaan pada tahun 1928 dengan mengganti namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Perkenalan dua peminat seni yang prihatin dengan kondisi rakyat Indonesia kala itu berlanjut jadi niat kuat kerjasama menjalankan roda pergerakan kebangsaan Indonesia. Dauhan sepakat berjuang bersama Soekarno dalam rangka menuju kebangsaan Indonesia.
Singkat cerita Dauhan pulang ke Siau tahun 1928 mengantongi sebuah surat mandat pendirian cabang PNI di pulaunya,. tepatnya di kota kecil yang merupakan pintu perdagangan pala, Ulu Siau. Pala pada waktu itu sangat menggiurkan sampai-sampai pulau Siau pernah dijuliki sebagai pulau Ringgit. Komoditas ini membuat penduduk Siau berada pada capaian tingkat perekonomian yang sangat baik kala itu.
G.E.Dauhan secara kebetulan lahir dari keluarga yang berpengaruh di Siau. Dia masih dalam silsilah keturunan raja-raja Siau. Terutama keturunan dari tokoh-tokoh yang menjadi anggota Majelis Kerajaan Siau. Tak heran, dukungan pendirian PNI sangat kukuh. Banyak pemuda memberikan respons hangat.
Memang di Siau ada kerinduan untuk merdeka dari penjajahan Belanda. Terbukti saat Cabang PNI itu resmi dibuka, H.B. Elias mencatat, hanya dalam waktu seminggu jumlah anggotanya 50 orang dan terus bertambah.
Perkembangan itu jelas fantastis. Maklum bergabung dengan PNI berarti berdiri melawan pemerintahan Hindia Belanda. Semua yang menjadi anggota PNI harus siap berhadapan dengan aparatur polisi reserse Belanda.
Terutama juga akan berhadapan dengan para penguasa adat Siau yang memang masih dikendalikan pemerintahan Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan negara kolonial. Ini justru yang dirasakan lebih menyulitkan bagi G.E. Dauhan. Keaktifannya di PNI membuat dia tersingkir dari lingkungan elit Siau, bahkan sebagian keluarga memusuhinya.
Raja Siau L.N.Kansil bersikap netral terhadap pendirian Cabang PNI di wilayah kerajaannya. Menurut Elias, sebenarnya raja mau ‘bermain mata’ dengan para penggiat pergerakan kebangsaan itu. Namun, momentum kurang menguntungkan baginya. Karena, ketika itu raja sedang didera kesulitan diusut pihak Belanda dengan tuduhan pemborosan dana kas kerajaan.
Untunglah Dauhan mendapat dukungan dari kelompok kelas menengah yang sudah tercerahkan. Diantaranya seorang guru gubernemen (sekolah pemerintah Hindia Belanda), Anthoni Nicolaas Bawengan yang sangat progresif mengimpikan munculnya ranting PNI di Ondong yang dalam waktu singkat mampu mencatatkan jumlah anggota 40 orang. Sebagian besarnya adalah wanita.
Namun pada 20 Desember 1929 countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna memerintahkan dilakukan razia kantor PNI di Ulu Siau. Razia itu jelas mendahului perintah razia nasional semua struktur organisasi PNI di seluruh pelosok Hindia Belanda pada tanggal 29 Desember 1929.
Rapat di kantor PNI Ulu Siau yang dipimpin G.E.Dauhan malam 20 Desember 1929 itu digeledah pihak marsose Belanda dengan senjata lengkap. Kebetulan kantor PNI itu tepat berada di samping kantor marsose itu. Meski para aktivis PNI sempat meloloskan diri dengan lari dari pintu belakang, namun keesokan harinya Dauhan dan Bawengan diperiksa aparatur polisi Belanda.
Terhitung sejak peristiwa 20 Desember 1929 itu juga satu regu marsose dan veltpolitie selalu siaga di Ulu Siau. Countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna juga menempatkan aspirant controleur untuk mengamati langsung dan mencermati segenap perkembangan sosial politik di pulau Siau.
Kontrol keamanan dan pemerintahan di Siau memang harus diperketat, karena gerakan PNI Dauhan terkait dengan tokoh nasionalis Ir. Soekarno. Juga Belanda mewaspadai dampak dari penyingkiran Raja Siau L.N. Kansil ke Parigi (Sulawesi Tengah) atas tuduhan pemborosan kas kerajaan.
Dua kejadian itu membuat aparat polisi Belanda siaga. Mereka was-was jangan-jangan peristiwa di tubuh kerajaan Siau dimanfaatkan jadi momentum menggerakan pemberontakan di pulau Siau oleh anak-anak muda PNI. Hal serupa pernah terjadi di Jawa dan Sumatera.
Setelah penyingkiran raja L.N. Kansil, Belanda sementara menempatkan Raja Tagulandang sebagai wali Raja Siau. Namun, pada tahun 1930 jogugu Ulu, Aling Janis segera ditetapkan majelis Kerajaan Siau menjadi Raja Siau dengan persetujuan Belanda.
Agak sama dengan nasib Raja L.N. Kansil yang dibawa keluar Siau, Dauhan pun diperiksa polisi Belanda dan ditahan tiga minggu di luar pulau Siau yaitu di penjara di Manado. Menurut H.B.Elias, Dauhan untung dibebaskan karena latar belakangnya sebagai keturunan Raja Siau Lohintundali. Sedang, Bawengan diancam dan ditekan terkait posisinya sebagai guru sekolah gubernemen di Ondong Siau. Sementara itu para anggota PNI cabang Siau yang lain segera terpencar saat PNI dinyatakan terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun, mereka tetap aktif dalam berbagai organisasi pergerakan lain.
Apa yang terjadi pada Dauhan sebagai pimpinan PNI Cabang, menimpa lebih berat pada tokoh Soekarno di Bandung. Sebagai figur pucuk pimpinan PNI, Soekarno kena razia nasional pemerintah Hindia belanda tanggal 29 Desember 1929. Kala razia itu terjadi, Dauhan sudah ditahan 9 hari di penjara.
Razia nasional atas PNI karena partai ini dituduh sebagai organisasi pengacau, penghasut dan penyebar kebencian dan kabar bohong. Empat tokoh jajaran pimpinan pusat PNI ditahan polisi Belanda. Di samping Soekarno, juga masuk sel tahanan Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata.
Dalam catatan sejarah Indonesia pada Agustus 1930 keempat tokoh PNI itu diadili di Bandung. Proses persidangannya justru malah sangat dimanfaatkan Soekarno untuk membela diri, sekaligus menjadi forum resmi membeberkan kesadaran kebangsaan Indonesia sekaligus mempertontonkan kemampuanya sebagai pemimpin dan intelektual kawakan Indonesia.
indonesia menggugat Soekarno menyampaikan pembelaannya yang sangat terkenal yang kemudian dibukukan dengan judul ‘Indonesia Menggugat’. Tidak ada kegentaran sedikitpun padanya. Harus diakui kemudian berbagai gagasannya dalam pledoi persidangan dan juga memberangus PNI sebagai alat perjuangan Indonesia.
Bersama tiga terdakwa lain, Soekarno dituntut dengan pasal-pasal menyebarkan rasa benci, kebohongan, serta menghasut yang mengganggu ketertiban umum atau apa yang disebut haatzaai artikelen.
Pasal itu memang dimasukkan dalam kitab hukum pidana Belanda. Di negeri Belanda, pasal itu secara khusus memang dipersiapkan untuk meredam para penggerak perjuangan kebangsaan Indonesia. Dengan mengacu pada kajian-kajian hukum paling aktual kala itu, tuduhan pidana itu dicap Soekarno subjektif dan bersifat sangat karet, ‘aller ergelijkst elastieke bepaling’ (aturan ketat yang kelewatan kekaretannya).
Pasal pidana yang akan mengekang warga negara ini bahkan ditentang para ahli hukum Belanda di negeri Belanda. Pasal itu tak pelak membuat hukum menjadi kekuasaan negara yang tidak terkontrol. Begitu ungkap salah seorang ahli hukum Belanda yang diacu Soekarno.
Semua pendapat para ahli hukum penentang pasal itu seperti Mendels yang anggota Tweede-Kamer Staten-Generaal dan Prof. Simons, dan Mr. Dr. Schumann diuraikan sangat mempesona oleh Soekarno, yaitu dengan menaruh langsung kutipan bahasa Belanda dan Indonesia dalam acara sidangnya.
Sebagaimana kecurigaan Soekarno, Hakim akhirnya menetapkan putusan yang berpihak pada kebijakan politik kolonial. Tak salah kutipan Soekarno pada pembelaannya. Soekarno mengutip kalimat kritik atas pekara haatzaai artikelen dari Prof. Molenggraaf, ‘aan de zijde waar onze sympathie is door ons allicht het recht wordt gevonden’ (pihak yang kita senangi itulah yang dipandang benar).
Akhirnya keempat tokoh PNI itu dikenakan hukuman penjara. PNI juga dinyatakan terlarang dan otomatis bubar. Senasib dengan itu, pulau Siau, setelah PNI dinyatakan terlarang, G.E. Dauhan memutuskan pindah sekeluarga dari Siau ke Manado. Di kota ini dia menerbitkan harian perjuangan Menara. Suara nasionalis tetap jadi ciri surat kabarnya.
Di samping G.E.Dauhan, salah seorang aktivis PNI A.T.Gandaria yang pasca razia di Siau lari ke Surabaya juga menerbitkan ‘Harian Catur’ yang juga berhaluan nasionalis. Pada tahun 1935 Gandaria kembali ke Siau dan bersama-sama dengan kawan-kawan ex PNI tahun 1936 mendirikan Partai Rakyat Sangihe Talaud (PERKASAT) yang didukung para kepala kampung dan pamong desa seluruh Siau. Yang menarik meski memilih nama dan partainya berciri lokal namun cita-cita politik dan ciri ideologinya sama dengan PNI yaitu ‘Mencapai Indonesia Merdeka Sekarang’.
Namun demikian, pelarangan PNI di Siau tidak membuat surut semangat para aktivis muda PNI. Mereka mendirikan Perhimpunan Kaoem Moeda Masehi Siaoe ‘Tri Darma’ dengan simbol organisasi segitiga sama sisi (seperti segitiga lambang PNI). Perhimpunan ini diketuai Johanis Wilhelmus dengan anggota antara lain Reyns Lalela, Petrus Salindeho dan Hendrik Pasandaran. Sekretarisnya adalah D.B. Makasangkil seorang guru muda lulusan sekolah guru di Makassar.
Sedang untuk kaum perempuan didirikan organisasi Perhimpoenan Wanita Masehi Siaoe ‘Drie Hoek’ (Tiga Sudut) dengan lambang organisasi mirip juga dengan PNI. Perhimpunan ini diketuai Frida Dauhan Hermanses, dengan anggota antara lain Fien Passandaran Lalisang, Ruth David, Elisabeth Dauhan, Ruth Salindeho dengan sekretarisnya Annie Kansil dan Eunike Dandel. Kedua perhimpunan ini jadi sasaran untuk dibubarkan saat Jepang masuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar