Minggu, 22 September 2013

TARI KAWASARAN


Sejarah Tarian Kabasaran Minahasa

Kabasaran adalah tarian perang dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.

Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut Kawas...alan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung, hampir mirip dengan tarian Cakalele dari Maluku.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.

Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney.

Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan. Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :
1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Pada zaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa:

1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri.

2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran.

3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).

4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari. Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut di atas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado.

Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan. (Wikipedia).

Jumat, 13 September 2013

BUKU KAWASAN SANGIHE-TALAUD-SITARO.

( Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro, Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan, hasil kolaborasi Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile. Sebuah buku yang sangat layak dimiliki oleh orang Nusa Utara. Buku yang sangat komprehensif menguraikan permasalahan yang dihadapi kawasan Nusa Utara. Telah beredar cukup lama di beberapa toko buku.)

Pembentukan PNI Cabang Siau menariknya bermula dari lahirnya sebuah karya sastra seorang tokoh Siau bernama Gustaf Erens Dauhan tahun 1925. Karya itu adalah sebuah roman berjudul ‘Rahasia Utara’. Roman ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Anna yang jadi korban kawin paksa. Secara kebetulan satu eksemplar roman itu jatuh ke tangan pemimpin Stambul Dardanella di Bandung
Dardanella yang merupakan kelompok tonil (teater) paling menonjol Indonesia di masa Belanda tertarik dengan roman itu dan berminat mementaskannya. Pemimpin Darnella pun melayangkan surat permintaan izin pengarangnya agar membolehkan kisah itu ditampilkan sebagai lakon tonil Dardanella.
Terkait dengan pementasan karyanya itu G.E. Dauhan ke Bandung tahun 1927. Saat itu usianya baru 27 tahun. Di kota kembang inilah Dauhan bertemu, berkenalan dan akhirnya berkawan ketal dengan Ir. Soekarno yang juga peminat seni drama. Tonil dilihat Soekarno sebagai sarana menyampaikan gagasan-gagasan penyadaran pembebasan bangsa. Bahkan tokoh bapak bangsa ini adalah penulis drama dimasa pembuangannya di Bengkulu.
Ir. Soekarno merupakan salah satu pemuda di pentas kesadaran pergerakan kebangsaan kala itu. Dia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun saat dia berkenalan dengan Dauhan (1927). Organisasi itu kemudian dirubah jadi lebih tegas sebagai organisasi polotik kebangsaan pada tahun 1928 dengan mengganti namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Perkenalan dua peminat seni yang prihatin dengan kondisi rakyat Indonesia kala itu berlanjut jadi niat kuat kerjasama menjalankan roda pergerakan kebangsaan Indonesia. Dauhan sepakat berjuang bersama Soekarno dalam rangka menuju kebangsaan Indonesia.
Singkat cerita Dauhan pulang ke Siau tahun 1928 mengantongi sebuah surat mandat pendirian cabang PNI di pulaunya,. tepatnya di kota kecil yang merupakan pintu perdagangan pala, Ulu Siau. Pala pada waktu itu sangat menggiurkan sampai-sampai pulau Siau pernah dijuliki sebagai pulau Ringgit. Komoditas ini membuat penduduk Siau berada pada capaian tingkat perekonomian yang sangat baik kala itu.
G.E.Dauhan secara kebetulan lahir dari keluarga yang berpengaruh di Siau. Dia masih dalam silsilah keturunan raja-raja Siau. Terutama keturunan dari tokoh-tokoh yang menjadi anggota Majelis Kerajaan Siau. Tak heran, dukungan pendirian PNI sangat kukuh. Banyak pemuda memberikan respons hangat.
Memang di Siau ada kerinduan untuk merdeka dari penjajahan Belanda. Terbukti saat Cabang PNI itu resmi dibuka, H.B. Elias mencatat, hanya dalam waktu seminggu jumlah anggotanya 50 orang dan terus bertambah.
Perkembangan itu jelas fantastis. Maklum bergabung dengan PNI berarti berdiri melawan pemerintahan Hindia Belanda. Semua yang menjadi anggota PNI harus siap berhadapan dengan aparatur polisi reserse Belanda.
Terutama juga akan berhadapan dengan para penguasa adat Siau yang memang masih dikendalikan pemerintahan Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan negara kolonial. Ini justru yang dirasakan lebih menyulitkan bagi G.E. Dauhan. Keaktifannya di PNI membuat dia tersingkir dari lingkungan elit Siau, bahkan sebagian keluarga memusuhinya.
Raja Siau L.N.Kansil bersikap netral terhadap pendirian Cabang PNI di wilayah kerajaannya. Menurut Elias, sebenarnya raja mau ‘bermain mata’ dengan para penggiat pergerakan kebangsaan itu. Namun, momentum kurang menguntungkan baginya. Karena, ketika itu raja sedang didera kesulitan diusut pihak Belanda dengan tuduhan pemborosan dana kas kerajaan.
Untunglah Dauhan mendapat dukungan dari kelompok kelas menengah yang sudah tercerahkan. Diantaranya seorang guru gubernemen (sekolah pemerintah Hindia Belanda), Anthoni Nicolaas Bawengan yang sangat progresif mengimpikan munculnya ranting PNI di Ondong yang dalam waktu singkat mampu mencatatkan jumlah anggota 40 orang. Sebagian besarnya adalah wanita.
Namun pada 20 Desember 1929 countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna memerintahkan dilakukan razia kantor PNI di Ulu Siau. Razia itu jelas mendahului perintah razia nasional semua struktur organisasi PNI di seluruh pelosok Hindia Belanda pada tanggal 29 Desember 1929.
Rapat di kantor PNI Ulu Siau yang dipimpin G.E.Dauhan malam 20 Desember 1929 itu digeledah pihak marsose Belanda dengan senjata lengkap. Kebetulan kantor PNI itu tepat berada di samping kantor marsose itu. Meski para aktivis PNI sempat meloloskan diri dengan lari dari pintu belakang, namun keesokan harinya Dauhan dan Bawengan diperiksa aparatur polisi Belanda.
Terhitung sejak peristiwa 20 Desember 1929 itu juga satu regu marsose dan veltpolitie selalu siaga di Ulu Siau. Countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna juga menempatkan aspirant controleur untuk mengamati langsung dan mencermati segenap perkembangan sosial politik di pulau Siau.
Kontrol keamanan dan pemerintahan di Siau memang harus diperketat, karena gerakan PNI Dauhan terkait dengan tokoh nasionalis Ir. Soekarno. Juga Belanda mewaspadai dampak dari penyingkiran Raja Siau L.N. Kansil ke Parigi (Sulawesi Tengah) atas tuduhan pemborosan kas kerajaan.
Dua kejadian itu membuat aparat polisi Belanda siaga. Mereka was-was jangan-jangan peristiwa di tubuh kerajaan Siau dimanfaatkan jadi momentum menggerakan pemberontakan di pulau Siau oleh anak-anak muda PNI. Hal serupa pernah terjadi di Jawa dan Sumatera.
Setelah penyingkiran raja L.N. Kansil, Belanda sementara menempatkan Raja Tagulandang sebagai wali Raja Siau. Namun, pada tahun 1930 jogugu Ulu, Aling Janis segera ditetapkan majelis Kerajaan Siau menjadi Raja Siau dengan persetujuan Belanda.
Agak sama dengan nasib Raja L.N. Kansil yang dibawa keluar Siau, Dauhan pun diperiksa polisi Belanda dan ditahan tiga minggu di luar pulau Siau yaitu di penjara di Manado. Menurut H.B.Elias, Dauhan untung dibebaskan karena latar belakangnya sebagai keturunan Raja Siau Lohintundali. Sedang, Bawengan diancam dan ditekan terkait posisinya sebagai guru sekolah gubernemen di Ondong Siau. Sementara itu para anggota PNI cabang Siau yang lain segera terpencar saat PNI dinyatakan terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun, mereka tetap aktif dalam berbagai organisasi pergerakan lain.
Apa yang terjadi pada Dauhan sebagai pimpinan PNI Cabang, menimpa lebih berat pada tokoh Soekarno di Bandung. Sebagai figur pucuk pimpinan PNI, Soekarno kena razia nasional pemerintah Hindia belanda tanggal 29 Desember 1929. Kala razia itu terjadi, Dauhan sudah ditahan 9 hari di penjara.
Razia nasional atas PNI karena partai ini dituduh sebagai organisasi pengacau, penghasut dan penyebar kebencian dan kabar bohong. Empat tokoh jajaran pimpinan pusat PNI ditahan polisi Belanda. Di samping Soekarno, juga masuk sel tahanan Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata.
Dalam catatan sejarah Indonesia pada Agustus 1930 keempat tokoh PNI itu diadili di Bandung. Proses persidangannya justru malah sangat dimanfaatkan Soekarno untuk membela diri, sekaligus menjadi forum resmi membeberkan kesadaran kebangsaan Indonesia sekaligus mempertontonkan kemampuanya sebagai pemimpin dan intelektual kawakan Indonesia.
indonesia menggugat Soekarno menyampaikan pembelaannya yang sangat terkenal yang kemudian dibukukan dengan judul ‘Indonesia Menggugat’. Tidak ada kegentaran sedikitpun padanya. Harus diakui kemudian berbagai gagasannya dalam pledoi persidangan dan juga memberangus PNI sebagai alat perjuangan Indonesia.
Bersama tiga terdakwa lain, Soekarno dituntut dengan pasal-pasal menyebarkan rasa benci, kebohongan, serta menghasut yang mengganggu ketertiban umum atau apa yang disebut haatzaai artikelen.
Pasal itu memang dimasukkan dalam kitab hukum pidana Belanda. Di negeri Belanda, pasal itu secara khusus memang dipersiapkan untuk meredam para penggerak perjuangan kebangsaan Indonesia. Dengan mengacu pada kajian-kajian hukum paling aktual kala itu, tuduhan pidana itu dicap Soekarno subjektif dan bersifat sangat karet, ‘aller ergelijkst elastieke bepaling’ (aturan ketat yang kelewatan kekaretannya).
Pasal pidana yang akan mengekang warga negara ini bahkan ditentang para ahli hukum Belanda di negeri Belanda. Pasal itu tak pelak membuat hukum menjadi kekuasaan negara yang tidak terkontrol. Begitu ungkap salah seorang ahli hukum Belanda yang diacu Soekarno.
Semua pendapat para ahli hukum penentang pasal itu seperti Mendels yang anggota Tweede-Kamer Staten-Generaal dan Prof. Simons, dan Mr. Dr. Schumann diuraikan sangat mempesona oleh Soekarno, yaitu dengan menaruh langsung kutipan bahasa Belanda dan Indonesia dalam acara sidangnya.
Sebagaimana kecurigaan Soekarno, Hakim akhirnya menetapkan putusan yang berpihak pada kebijakan politik kolonial. Tak salah kutipan Soekarno pada pembelaannya. Soekarno mengutip kalimat kritik atas pekara haatzaai artikelen dari Prof. Molenggraaf, ‘aan de zijde waar onze sympathie is door ons allicht het recht wordt gevonden’ (pihak yang kita senangi itulah yang dipandang benar).
Akhirnya keempat tokoh PNI itu dikenakan hukuman penjara. PNI juga dinyatakan terlarang dan otomatis bubar. Senasib dengan itu, pulau Siau, setelah PNI dinyatakan terlarang, G.E. Dauhan memutuskan pindah sekeluarga dari Siau ke Manado. Di kota ini dia menerbitkan harian perjuangan Menara. Suara nasionalis tetap jadi ciri surat kabarnya.
Di samping G.E.Dauhan, salah seorang aktivis PNI A.T.Gandaria yang pasca razia di Siau lari ke Surabaya juga menerbitkan ‘Harian Catur’ yang juga berhaluan nasionalis. Pada tahun 1935 Gandaria kembali ke Siau dan bersama-sama dengan kawan-kawan ex PNI tahun 1936 mendirikan Partai Rakyat Sangihe Talaud (PERKASAT) yang didukung para kepala kampung dan pamong desa seluruh Siau. Yang menarik meski memilih nama dan partainya berciri lokal namun cita-cita politik dan ciri ideologinya sama dengan PNI yaitu ‘Mencapai Indonesia Merdeka Sekarang’.
Namun demikian, pelarangan PNI di Siau tidak membuat surut semangat para aktivis muda PNI. Mereka mendirikan Perhimpunan Kaoem Moeda Masehi Siaoe ‘Tri Darma’ dengan simbol organisasi segitiga sama sisi (seperti segitiga lambang PNI). Perhimpunan ini diketuai Johanis Wilhelmus dengan anggota antara lain Reyns Lalela, Petrus Salindeho dan Hendrik Pasandaran. Sekretarisnya adalah D.B. Makasangkil seorang guru muda lulusan sekolah guru di Makassar.
Sedang untuk kaum perempuan didirikan organisasi Perhimpoenan Wanita Masehi Siaoe ‘Drie Hoek’ (Tiga Sudut) dengan lambang organisasi mirip juga dengan PNI. Perhimpunan ini diketuai Frida Dauhan Hermanses, dengan anggota antara lain Fien Passandaran Lalisang, Ruth David, Elisabeth Dauhan, Ruth Salindeho dengan sekretarisnya Annie Kansil dan Eunike Dandel. Kedua perhimpunan ini jadi sasaran untuk dibubarkan saat Jepang masuk

KERAJAAN SIAU

Setengah Milenium (503 Tahun) Kerajaan Siau | Sejarah di Sulawesi Utara
Kedatuan (kerajaan) Siau, sebuah sistem pemerintahan komunal masa lampau yang berkedudukan di pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT), pemimpin dari sistem ini digelari DATU – sebuah kosa kata bahasa Melayu Kuno. Didirikan oleh Lokongbanua (II) yang merupakan anak dari Pahawonsuluge dengan Hiabe Lombun Duata. Dia sekaligus didaulat menahkodai Kedatuan Siau pada tahun 1510.

Dalam berbagai catatan sejarah, kerajaan ini pernah memiliki bagian kerajaan yang meliputi bagian selatan Sangihe, pulau Tagulandang, pulau Kabaruan (Talaud), pulau-pulau teluk Manado (kerajaan Bawontehu), serta di wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), dan wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara). Bahkan pernah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Leok Buol dan Makassar demi mengejar armada laut kerajaan Makassar yang tengah menduduki Bolaang Mongondow.

Pada masa kepemimpinan Raja Lokongbanua II ini (1510-1549), agama Katolik diperkenalkan di pulau Siau pada tahun 1516 melalui sebuah rombongan ekspedisi bangsa Portugis yang dipimpin oleh Diego de Magelhaes. Rombongan ini menggelar ibadah misa Paskah di Kakuntungan, ibukota kerajaan waktu itu. Karena momen inilah Kakuntungan pada akhirnya lebih dikenal dengan nama barunya, Paseng.

Paseng bukan satu-satunya yang ditetapkan sebagai ibukota kerajaan Siau. Karena tercatat juga antara lain Pehe, Ondong, dan Ulu (Hulu Siau) pernah menjadi ibukota dari kerajaan ini. Perpindahan ini disebabkan karena beberapa alasan, tapi yang terutama adalah alasan kondisi alam yang tidak memungkinkan akibat aktifitas gunung api aktif Karangetang.

Raja kedua adalah Raja Posumah, yang memerintah sejak tahun mangkatnya Lokongbanua II; 1549 sampai 1587. Pada masa kepemimpinan raja inilah Katolik mendapat tempat bagi benih agama kerajaan. Raja Posumah dibaptis di sebuah sungai di Manado, lalu mendapat nama baptis Don Jeronimo atau yang juga dikenal dengan sapaan Hieronimus.

Kerajaan ini sempat mengalami kekosongan tampuk pemerintahan selama 4 tahun sejak mangkatnya Raja Posumah. Raja ketiga dipegang oleh Winsulangi atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi pada tahun 1591 sampai 1639 dengan pusat pemerintahan di Pehe. Di masa kepemimpinan raja ini diadakan sebuah perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia di Manila, Philipina pada tahun 1594. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan yang dirintis bangsa Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol dan sekaligus menjadi tempat bermukimnya para pendeta Spanyol, Portugis dan Italia.

Siau yang hakikinya diperkenalkan oleh beberapa pihak sebagai sebuah kerajaan tunggal dengan pusat pemerintahan di pulau Siau ini ternyata bukan satu-satunya kerajaan di sana. Bahkan ironisnya, pada sebuah referensi kuno Winsulangi tercatat bukan sebagai datu di Siau tapi sebagai datu di Pehe, hanya sebagai salah satu kerajaan di pulau Siau. Raja Siau justru dipegang oleh Mohonise pada waktu itu.

Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan, sebagaimana yang sering dikutip banyak pihak, menyebutkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya (ditebalkan hurufnya) yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen dikutip dari Peri hal Kampongwezen dan Kampongbestuur dehoeloe dan sekarang dalam keradjaan Taboekan, Sem Dalope Paparang, 1927:

“Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,
Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.
Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi
Soe Tamako i Kakalang,
Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,
Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,
Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,
Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,
Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,
Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,
Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe
Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng
Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba
Soe Koema i Kolowoba
Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele
Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe
Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio”.

Namun demikian, Winsulangi merupakan pemimpin yang progresif. Pernah kehilangan tampuk kekuasaannya pada tahun 1614 ketika pusat kedatuan di Siau diduduki Belanda dan Ternate saat dia tengah memadamkan pemberontakan di Tagulandang. Tragedi pendudukan Belanda dan Ternate pada tahun 1614 ini mengakibatkan sebanyak 499 orang Siau ditangkap dan dibawa paksa ke Banda untuk menjadi pekerja pada perkebunan pala. Akibat kejadian pendudukan tersebut Winsulangi harus menyinggkir ke Manila bersama Putra Mahkota Kedatuan Siau, Batahi. Pada masa pengungsian ini Batahi memperoleh gelar akademis sebagai sarjana pada perguruan tinggi Jesuit di dalam benteng Intramuros Manila. Winsulangi beserta Batahi kembali merebut kedatuan dari tangan Belanda-Ternate pada tahun 1924 dengan partisipasi aktif dari Spanyol.

Di masa ‘damai’ hubungan dengan Spanyol ini banyak dari kalangan kedatuan/kerajaan yang berada di kawasan Nusa Utara telah mengecap pendidikan tinggi dengan gelar sarjana. Perguruan yang sering menjadi tujuan belajar antara lain Sekolah Katolik di Maluku, pendidikan tinggi Jesuit di Manila, dan Universitas Santo Thomas.

Anak dari Winsulangi, Batahi, meneruskan tahta kedatuan ayahnya. Di masa pemerintahan Batahi inilah banyak fenomena yang terjadi berhubungan dengan berbagai aksi spektakuler dan kepahlawanan dari panglima perang Hengkengnaung. Di antaranya seperti kisah yang ditulis oleh H.B. Elias dalam buku Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973), dikatakannya:

“…Kira-kira pada tahun 1640 maka pengawal di Timeno memberitahukan kepada Laksamana bahwa ada konvoi bajak laut Mindanao lewat berlayar ke Selatan. Laksamana Hengkeng U Naung pun segera menyiapkan perahunya dan mengikuti bajak laut itu dari belakang. Kejar punya kejar ternayata bajak laut itu memasuki teluk Kora-kora (kini) mendarat di sana dan naik menuju Tondano. Hengkeng U Naung pun tiba di tempat itu (di panatai Kora-kora). Penjaga perahu Mindanao ditumpas dan Hengkeng U Naung mengikuti gerakan pasukan Mindanao itu dari belakang. Tiba di perbatasan jalan antara Tomohon dan Tondano ternayata Mindanao sudah perlibat dalam prtempuran melawan pasukan Tomohon-Tondano dalam satu perkelahian yang sengit.

Setelah menaruh kirai akan terrain itu, Hengkeng U Naung memerintahkan pasukannya turut membantu Tomohon Tondano dalam perlawanan mereka terhadap serangan bajak laut Mindanao. Kalau sebelumnya ada kans bagi Mindanao keluar sebagai pemenang dari kancah pertempuran, tetapi dengan turut campurnya pasukan Angkatan Laut dari Kerajaan Siau, maka sudah tertentu akhirnya peperangan. Semua bajak laut Mindanao itu habis tertumpas tidak seorang yang tinggal hidup. Dan di atas mayat-mayat yang bergelimpangan itu menari bahu membahu pasukan-pasukan pemenang bersoraksorak teriakan kemenangan. Oleh mereka itu sebagai kenang-kenangan yang hidup akan kemenangan yang telah tercapai bersama tempat yang menjadi medan pertempuran itu dinamainya ‘Kasuang’, artinya dalam bahasa Siau: mayat. Hengkeng U Naung spontan ditahan oleh kepala-kepala pasukan Minahasa (kepala balak-balak) untuk turut hadir dalam pesta kemenangan yang lantas diselenggarakan.

Dalam salah satu pidato yang diucapkan oleh wakil Minahasa dalam kesukaan yang tiada habis-habisnya itu ia berkata: bahwasanya sudah diputuskan dan diatur sebagai permohonan kepada pasukan dari Siau untuk menetap di Minahasa di mana saja suka mereka tinggal. Permohonan itu ditolak oleh Hengkeng U Naung, karena misinya belum selesai.

Sesudah mengadakan perembukan berhubung penolakan itu, maka hari esoknya kepala-kepala balak itu berkata: bahwa Minahasa sudah dibagi kepada 8 suku bangsa Minahasa, ada pulau yang tersisa di luar pembahagian maka biarlah pulau itu dihadiahkan kepada Hengkeng U Naung sebagai tanda persahabatan yang abadi antara Siau dan Minahasa. Hadiah itu diterima oleh Hengkeng U Naung dan nanti dilaporkan kepada Baginda Raja Batahi…”

Kasuang sampai sekarang masih merupakan salah satu nama tempat di perbatasan Tomohon-Tondano. Menurut beberapa informasi, tombak ‘perjanjian damai’ Hengkengnaung ini masih tertancap di tempat semula.(JOHN.F.SUOTH-KANSIL)

FILSAFAT MINAHASA

.."Filsafat Minahasa, Adakah? (sebuah pengantar untuk ’ber-filsafat’ Minahasa)


Secara umum yang kita kenal mengenai istilah ”filsafat” diartikan sebagai usaha mencari kebenaran sedalam-dalamnya. Berasal dari kata Yunani: ”philosophia”. Terdiri dari kata ”philo”, yang berarti ”cinta” dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan ”sophia” mempunyai arti ”hikmah”, ”kebijaksanaan”, dan ”kebenaran”. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).

Selama ini yang dikenal adalah filsafat Barat, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran filosofi yang dirumuskan mulai dari filsuf-filsuf alam Yunani klasik, kemudian Sokrates, Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf Barat modern. Akal, atau rasio menjadi pusat atau instrumen utama dalam pencarian dan perumusan kebenaran-kebenaran tersebut. Berikut, dikenal juga filsafat Timur, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran metafisis, religius dan etika China, India, dan Islam. Akal dan intuisi menjadi instrumen dalam usaha menggali dan merumuskan kebenaran dalam filsafat Timur.

”Filsafat” dalam pengertian filsafat Barat tersebut telah cukup mendominasi studi-studi tentang filsafat sejagad. Kriteria mengenai sesuatu disebut filsafat atau tidak, kerap mengacu dari rumusan atau definisi istilah tersebut. Dengan dijadikannya pemikiran-pemikiran filsafat Barat, mulai dari para filsuf klasik hingga filsuf-filsuf Barat modern sebagai standard untuk penggalian dan perumusan filsafat, maka yang terjadi adalah dominasi pengetahuan. Secara tradisional, kita, ketika belajar filsafat kompetensinya hanya sampai di mengetahui nama, dan sejarah para filsuf serta rumusan-rumusan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Kita hanya belajar tentang ”filsafat”, bukan belajar ’tahu berfilsafat”. Dan dengannya, seolah-seolah, pengetahuan atau kegiatan berpikir kritis, dan radikal itu hanya milik peradaban Barat. Padahal, jauh sebelum peradaban Barat maju dan berkembang yang antara lain ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofi klasik Yunani, di Timur, misalnya China dan India telah berkembang peradaban yang maju, yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran kritis, radikal dan religius. Pemikiran-pemikiran para arifin China dan India disebut sebagai filsafat Timur, meski para orientalis sempat memperdebatkan dan meragukannya. Ini karena para orientalis mengacu dari standard filsafat Barat, yang akan menganggap sebuah konsepsi filsafat jika memenuhi syarat antara lain rasional, kritis, logis dan sistematis. Sementara, pemikiran-pemikiran kritis dan radikal peradaban Timur berkembang bersama aktivitas beragama dan tata hidupnya.

****

Barangkali yang universal dari apa yang disebut ”filsafat” yang dirumuskan di di Barat itu adalah tentang usaha pencarian kebenaran. Soal instrumen, motodologi apalagi isinya tidak terutama harus mengacu dari apa yang dirumuskan oleh filsafat Barat tersebut. Sebab keyakinan kita bahwa Minahasa adalah juga sebuah peradaban yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran tentang kebenaran yang dirumuskan secara radikal dan kritis. Mitologi Lumimuut-Toar, sebagai sebuah mitos misalnya, tentu lahir dari usaha untuk menjelaskan asal-usul orang Minahasa yang di dalamnya juga mengungkap kebenaran-kebenaran hidup.
Kita tidak perlu membayangkan, bahwa yang disebut filsafat Minahasa adalah sesuatu yang sudah disebut sebagai filsafat atau sudah tersusun secara sistematis seperti rumusan-rumusan filsafat yang kita kenal selama ini di buku-buku tentang filsafat. Filsafat Minahasa terkandung dalam mitologi, simbol-simbol, nilai dalam tata cara hidup, juga pemikiran-pemikian agama tuanya.

Sebagai bukti, pemimpin Minahasa di zaman dulu disebut sebagai ”tonaas” yang artinya ”orang kuat” atau juga ”orang berilmu, berintelektual”, tou ngaasan. Intelektualitas dalam diri para ’tonaas” Minahasa itu menunjuk pada kemampuan dalam hal wawasan, pengetahuan tentang alam dan kerja, serta memiliki kecakapan menata hidup komunitas. Walian, sebagai pemimpin ritual atau yang berurusan dengan keagamaan, juga dipilih dari orang-orang yang memiliki pengetahuan metafisis karena dialah yang berperan sebagai mediator antara manusia dengan Opo Empung, makhluk adikodratinya orang Minahasa.
Dengan adanya para tonaas dan walian tersebut, Fredy Wowor, teman kita selalu berkata, bahwa peradaban Minahasa dulu dipimpin oleh para filsuf. Artinya, peradaban ini tidak semata-mata hanya dibangun dari naluri untuk berkembang saja, tapi dari proses penalaran rasio yang seimbang dengan refleksi dari intuisi untuk selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban atas tantangan hidup. Hasil dari proses itu adalah sistem nilai pengetahuan. Sampai di satu masa, entah kapan itu, sistem Mapalus ditemukan. Dalam mapalus ini, dalam sistem kerja bersamanya yang memadukan kekuatan bersama untuk tujuan bersama, kita menemukan nilai pengetahuan, nilai kebenaran tentang hidup yang sesungguhnya. ”Kebenaran” mapalus ada dalam konsepsi mengenai keterpaduan kekuatan alam dengan kekuatan kolektif manusia. Maka, mapalus, misalnya selain megnenai sistem kerja, dia adalah juga sistem nilai filosofi Tou Minahasa. Itulah antara lain sistem filsafat Minahasa.

Di dalam sistem Mapalus ini kita menemukan kecerdasan pada tou ngaasan Minahasa menggali makna sedalam-dalamnya tentang hakekat hidup. Belakangan, kita mengenal pemikiran filosofi, yang konon dikembangkan oleh Om Sam Ratulangi, yaitu, ”Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia hidup untuk menghidupan (sesama) manusia. Atau versi Girot Wuntu, disebut: ”Si Tou Timou, Tumo’u To’u, yang berarti, ”Orang hidup harus belajar sampai tahu”. Ventje Sumual bahkan menelorkan konsep filosofi, ”baku beking pande”. Lepas dari perbedaan arti tersebut, tapi prinsip-prinsip ini sebenarnya mengungkapkan usaha pencarian kebenaran oleh tou Minahasa yang bermakna kehidupan. Jika filsafat Barat seolah-seolah melampaui yang fisik atau metafisis, filsafat Minahasa justru sebaliknya, rumusan filosofinya kongkrit dan fungsional. Filsafat Minahasa bertumpuh pada kesadaran kolektif, hidup bersama dalam kesetaraan.

***

Kerja kita selanjutnya adalah menyusun metode, dan denganya berlanjut dengan perumusan-perumusan yang diawali dengan kerja penggalian dan selanjutnya adalah pengembangan serta dokumentasi. Di mana nilai-nilai filosofi Minahasa terkandung? Jelas, dia adalah mutiara-mutiara pengetahuan dan kehidupan yang tersemai dalam sistem nilai budaya Minahasa. Dan nilai-nilai itu selalu hidup, karena dia fungsional.
Akhirnya, catatan ini hanya pengantar atau mungkin lebih tepat sebagai rangsangan untuk kita merumuskan bagaimana dan apa ”ber-filsafat” Minahasa itu.

Tomohon,
9/8/2010

Denni Pinontoan.

Senin, 09 September 2013

PAESA IN DEKEN.

Paesa In Deken

Pemerang Manado 1880
© Het Geheugen van Nederland

Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.

Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: " Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: " Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.

Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.

Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.

Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:

"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."

Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.

Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.

Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.

Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga ( Pa'eren Telu):

Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .

Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.

Dr. Riedel menulis:

"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah ini, para Paendon Tua, di pilih oleh para Awu. "

Selasa, 27 Agustus 2013

TULISAN SAM RATULANGI PERTAMA BAGIAN 2

Dr Samrat: Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Kedua terakhir

11 april 2009 om 10:39
Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Kedua terakhir.


PROLOG
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh penerbit di Baarn, Holland.
KILAS BALIK yang menjadi dasar tulisan ini.
Setelah Sam Ratu Langie lulus Technische School di Batavia pada umur 18 tahun, ia mendapat pekerjaan pada Staats Spoorwegen (Jawatan Kereta Api) dan ditempatkan di daerah Kroya dalam rangka pembangunan rel kereta api. Ia mengalami diskriminasi ras karena ia adalah INLANDE dan bukan Hollander (ataupun Indo-Europeaan) dan diberikan penampungan di kampung-kampung. Hal ini, walaupun menyakiti hatinya, tidak dijadikan halangan, bahkan memberikan dorongan untuk mengobservasi perkembangan masyarakat disekitarnya. Antara lain ia dapat mengikuti dari dekat pertumbuhan sosial khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Serikat Dagang Islam yang kemudian beralih menjadi Serikat Islam.
Sebagai seseorang yang tidak dapat menerima ketidak-adilan dan yang selalu berpihak kepada yang lemah ia mengamati adanya kesalah-fahaman pemerintah kolonial terhadap gerakan hati-nurani dari masyarakat yang tertekan ini.

SERIKAT ISLAM
oleh
Gerungan S.S.J. RATULANGIE

BAARN
HOLLANDIA – DRUKKERIJ
1913

Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh
Dra. Konda Tilaar

Editor: Dr. M. Sugandi-Ratulangi (2009)



BAGIAN KEDUA (terakhir)


Ini sering kita lihat di Hindia; panggilan Jong-Java ke B.Oe. oleh orang lndo Eropa dijawab dengan pendirian Bond van Jong Indos yang sayangnya mati muda. Dari pihak rakyat Cina, kita lihat reaksi dalam serikat-serikat Cina. (saya tahu juga bahwa yang terakhir ini merupakan pantulan dari evolusi Cina sendiri), namun ini tidak meniadakan sebab-sebab di Hindia sendiri yang telah mendorongnya dan bahwa orang baru sesudah B.Oe. membuat propaganda yang kuat untuknya.

Juga suku-suku lain dan rakyat asli, tidak berdiam diri dan tergoncang oleh B.Oe, bersatu. orang Ambon, Minahasa, Melayu. Sepuluh tahun terakhir, di Hindia bergolaklah nafsu berserikat. Akhirnya kita menyaksikan bahwa pada waktu bersamaan bangkit Serikat Islam, lndische Partij (oleh inisiatif Hindia dan Indo) dan orang Minahasa yang berdiam di Batavia.

B.Oe. menetapkan sebagai syarat kepada anggotanya, kebangsaan Jawa; S.I. lebih jauh lagi menetapkan batas-batasnya lebih luas dan menuntut anggotanya harus Muslim. Dan sejauh S.I. berjuang untuk rakyat Muslim, sejauh itu ia segera berbenturan dengan yang bukan Muslim, yang kepentingannya kadang-kadang langsung bertolak-belakang dengan kepentingan yang disebut sebelumnya; maka situasi yang kita peroleh: Islam lawan bukan-Islam.

Lagipula, faktanya sudah mengandung antitesenya bahwa anggotanya hanyalah orang muslim belaka. “Orang tidak mengadakan propaganda,” katanya. “Karena itu S.I. bukan perserikatan agama”. Memang sulit diadakan propaganda untuk Islam di tanah Islam; lalu apakah propaganda suatu conditio sine qua non untuk serikat agama? Bukankah masih ada cara-cara lain untuk mengungkapkan ciri keagamaan?

Hal ini dapat kita lihat dengan jelas: dimana serikat itu beragitasi keluar, oleh situasi luar biasa dan suasana kini di kalangan kaum pribumi, aksinya terarah melawan orang non-Islam.
Bagaimana suasananya dapat kita simpulkan dan berbagai benturan antara orang Eropa dan Cina di satu pihak dan kaum S.I. di pihak lain. Lagipula, S.I. menganjurkan anggotanya untuk berpegang pada Kur’an.

Apabila S.I. berjuang secara sosial, mengapa tidak dikotbahkan boikot melawan benalu tengkulak-tengkulak Arab dan kaum kolportir. Rukankah putranya HADRAMAUTH sudah pasti penghisap darah besar bagi kehidupan hersarna pribumi, dan belum lagi disebut hakekat haji. Mengapa S.I. tidak berjuang rnematahkan pengaruh para haji ini? Pasti bukanlah demi kepentingan orang pribumi, individu-individu ini berkeliaran di desa-desa dan memiliki kehidupan yang enak bertumpu pada kepercayaan polos orang-orang desa itu? Tetapi memang sulit, karena kedua kategori ini Muslim juga dan perlu dilindungi oleh bendera S.I.

Bagaimana pun juga, hanya keadaan, - dari pihak-pihak yang bersangkutan yang satu Muslim dan yang lain tidak, - membuat kita tidak menolak kemungkinan bahwa dalam hal ini kita tetap berurusan dengan organisasi keagamaan.

Sekali lagi yang berikut ini: untuk memasuki organisasi. para calon harus mengangkat sumpah setia kepada Kur’an dan anggaran dasar organisasinya.

Sumpah ini tentu saja harus diangkat sesuai tuntutan dunia Muslim: di tangan seorang imam (rohaniwan).

Jadi sudah sulit sekali di Hindia memisahkan kerja sosial dan politik, dan kedua ini saling melebur satu ke dalam yang lain, sehingga tri-sila ini disempurnakan oleh fakta bahwa Kur’an tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.

Apabila orang Muslim ingin berpegang erat pada peraturan-peraturan Kur’an, maka setiap penganut agama lain adalah musuhnya. bahkan ia tak boleh mengakui raja yang bukan Muslim.
Dengan menerima nama Islam, para pendiri pasti harus bertanggung-jawab atas konsekuensi-konsekuensinya
<wbr> yang mengalir dari hal ini. Namun orang tidak boleh mengabaikan satu faktor besar: kesadaran diri masyarakat pribumi, dan dapat kita lihat juga dalam S.I. suatu gerakan nasional yang kuat; ini ungkapan suatu bangsa yang, setelah mencapai fase tertentu, ingin didengar apabila ada yang perlu diputuskan tentang dirinya.

Bukanlah tendensi nasional melalui agama kita temukan dalam S.I, melainkan rasa kebangsaan dengan agama. Inilah sebabnya saya berpendapat bahwa Serikat Islam dalam perkembangannya harus bersifat baik politik maupun agama: sekalipun para pemimpinnya memberi penjelasan yang lain, bagian terbesar para anggotanya memandang serikatnya bukan saja sebagai yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan sosial, melainkan juga (dan terutama) sebagai yang bertendensi agama.

Saya tak berkata, bahwa S.I. itu salah satu cabang dari Gerakan Pan Muslim. bahkan mengejar tujuannya. Namun kemungkinannya bukan tidak ada, bahwa organisasi ini sesudah waktu tertentu akan mengejar cita-cita yang lebih jauh dari yang kini dimilikinya, dan akan memperoleh warna internasional. Karena. bahwa orang Muslim dan Hindia-Belanda memang terbuka untuk Pan Islamisme, sekali ia berkenalan dengan gerakan besar ini, dan bahwa ia telah ditaklukkan bagi kerajaan Muslim yang akbar ini, kalau para promotor memalingkan pandangan mereka ke Hindia, - sudah ternyata dari suatu perkara hukum di Medan, dimana seorang Turki diadili, yang dengan alasan-alasan menyesatkan menarik uang dari kaum pribumi dengan menceriterakan bahwa Sultan Turki mengutusnya untuk mengabari kaum Muslim di Hindia-Belanda, agar dia membebaskan mereka dari beban Belanda, bila setiap orang membayarnya f.40,-. Banyak orang dengan cara itu tertipu, dan telah menyetor uangnya; dan deretan korban akan semakin panjang apabila Pemerintah tidak menemukan penipuan itu.

Adakah uang itu mengalir ke saku orang Turki itu, sekiranya orang tidak memilih di atas kekuasaan Belanda, kekuasaan sultan Turki? Hal ini telah terjadi pada orang Melayu, namun pada orang Jawa ini pun mungkin terjadi.

Selanjutnya saya tahu, dari raja-raja kerajaan Muslim kecil di Sulawesi Utara yang kebetulan pernah saya kenal, bahwa beberapa di antara mereka pernah berpikir (apakah sekarang masih demikian, saya tak tahu) untuk mengirim putera-putera mereka untuk pendidikan ke Turki, ke Istambul, karena pendidikan di hoofdenschool di Tondano menurut mereka tidak cukup dan karena pengaruh kristen terlalu mereka rasakan.

Menyangkut orang Jawa:, orang sebaiknya jangan merasa aman soal ini karena berpikir, bahwa ia sebenarnya bukan Muslim secara rohani, karena sekali lagi, orang Jawa tidak menyadari hal ini; a sendiri yakin bahwa ia Muslim sejati. Dan sekiranya ada yang meragukannya, para haji yang berkepentingan bahwa umatnya itu Muslim sejati, akan menjamin bahwa kekhawatiran ini tidak menjalar. Di kalangan keturunan orang buangan Jawa di Tondano, saya mengamati, bagaimana mereka menentang kepala-kepala distrik (kristen), begitu patuhnya mereka terhadap seorang Said yang juga dikucilkan, yang baru datang.

Bila kita lebih jauh meneliti tindakan-tindakan S.I. maka kita melihat bahwa mereka pun di jantung masyarakat pribumi, berjuang melawan kekurangan-kekurangan rakyat.
Perjuangan ini tidaklah baru, karena beberapa tahun lalu oleh murid-murid Landbouw en Veeartsenschool di Bogor didirikan suatu perserikatan bertujuan memerangi kejahatan-kejahatan rakyat. Serikatnya menyandang nama 7 M yang adalah huruf-huruf pertama kata-kata maling, madat, main, minurn, modon, mangan. Namun sesudah pendiriannya serikat ini sedikit sekali kabarnya. Selain surnpah waktu masuk, para anggota harus berikrar memerangi berbagai kejahatan dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain. Bahwa S.I. kuat memegang ikrar ini, dan bahwa ia terpandang oleh anggotanya, dapat disimpulkan dari kejadian-kejadiannya. Menurut koran-koran Hindia, kabarnya di daerah-daerah yang sudah dimasuki S.I., pencurian dan perampokan berkurang dari sebelumnya. Dan dengan bantuan S.I. Pemerintah berhasil memberi penerangan tentang berbagai kejahatan yang dilakukan, hal mana tidak mungkin sebelumnya. Karena itu begitu berbahaya untuk begitu saja menerima semua kejahatan-kejahatan yang oleh koran-koran Hindia dikenakan kepada S.I., karena sebagaimana seorang di antara mereka harus mengakui: sebenarnya hubungan dengan kerusuhan-kerusuhan tidak dapat dibuktikan samasekali bahwa S.I. yang melakukannya. Apa yang kita ketahui pasti, selalu bagus bunyinya. Tanpa segera mengingkari ungkapan ini harus juga kita akui bahwa, dimana S.I. langsung terlibat dalam pemberontakan, hal ini sering terpancing oleh kecurigaan yang dimiliki dan ditunjukkan Pemerintah dan penduduk Eropa terhadap SI. Dimana Pemerintah nenyambutnya secara terbuka, kita lihat dia senantiasa bersedia bekerja-sama dengan baik. Ketika pemerintah memintanya, cabang S.I. di Batavia, telah menyerahkan brosur-brosur, yang oleh komite Bandung dikirim kepadanya untuk disebarkan. Betapa mudah cabangnya berpura-pura mengatakan bahwa brosur-brosur tsb. sudah tersebar.
Di Bandung, tempat S.I. tidak menemukan perlawanan dari pihak Pemerintah, Ia beragitasi dengan sukses terhadap kehidupan concubinaat wanita-wanita pribumi dengan orang Eropah.
Bahwa dogma-dogma agama harus digunakan (kabarnya Kur’an melarang untuk hidup seperti itu dengan orang Kristen), dapat dimengerti. Bukankah harus ditemukan caranya untuk menyadarkan orang pribumi akan situasi yang tidak diinginkan seperti ini: tujuan menghalalkan cara.

Karena concubinaat di Hindia, - yang sering terjadi di kalangan orang Eropa yang tidak menikah - yang hampir menjadi suatu kebiasaan umum, telah kehilangan sengatnya. Betapa sedikitnya orang muda Eropa dan Indo-Eropa terutama di pedalaman, memiliki keteguhan moral yang mampu menolak kebiasaan bejad seperti ini.Untuk memperlihatkan kepada wanita pribumi kedudukannya yang miring sebagai concubine, orang terpaksa harus mengacu kepada ajaran agama, karena keberatan-keberatan etis oleh keadaan telah kehilangan segala daya meyakinkan.

Selanjutnya ini suatu bukti tambahan bahwa S.I. bukanlah tidak memiliki ciri-ciri agama, terutama bila kita melihat bahwa mis. di Priangan, menurut Pemimpin Redaksi Javabode kunjungan ke mesjid-mesjid sangat meningkat sesudah didirikannya S.I.
Apa yang paling utama terkesan di S.I. adalah solidaritas anggotanya; orang cenderung membandingkanya dengan suatu camora Italia, sekiranya ia tidak bekerja terbuka dan mengejar suatu tujuan luhur dan indah yang tak terbantahkan. Solidaritas semacam ini mungkin diperlihatkan kepada orang Eropa dengan cara tidak terlalu rnenyenangkan, namun tetap suatu bukti yang menggembirakan dari bangkitnya kemampuan bela-diri orang pribumi menentang kekuasaan rohani Cina dan Eropa, dan sekaligus suatu jaminan, agar orang Eropah mengurangi agresifitas dalam pembasmian fisik kaum pribumi. Sangatlah menentang rasa keadilan. dan bila orang adalah pribumi, sengsara dan terhina, untuk melihat bagaimana mis. opzichter Eropa dalam kesalahan sekecil apa pun menghukum seorang pekerja pribumi dengan ‘rammeling’ sambil mengetahui bahwa dia tak akan membela diri 1), dan tak seorang pun akan mengetahuinya. Jika keadaan memuncak, bila orang akhirnya telah melukai orang pribumi dalam perasaannya yang terdalam, dan dia akhirnya mengambil pisau, maka dalam koran-koran disebut bahwa politik etislah yang menanggung segala kesalahan, dan lembaga penyelamat: arbeids inspectie yang masih belum cukup keras tindakannya, diserang.

Seringkali berita-berita dari Hindia sampai kepada kami tentang asisten-asisten yang diserang kuli-kuli di perkebunan-perkebunan. Namun secara mutlak dapat dipastikan bahwa selalu dalam berita itu muncul kalimat ini: “tuan H baru 2 minggu (atau dua bulan, sebulan, dsb.) di sini”. Jadi suatu pemberitahuan bahwa yang diserang itu bagaimana pun baru saja di Hindia. Bukankah segera muncul pertanyaan, dan bukankah pertanyaan itu wajar: “:Tidakkah mungkin, bahwa bukan nafsu membunuhnya orang Jawa, melainkan kasarnya orang kulit putih yang tidak mengenal adat setempat, penyebab pembunuhan itu?”

Mengapa opzichter Indo jarang berkonflik dengan pekerja-pekerjanya; ia pun tahu bahkan lebih tahu menguasai rakyatnya, dan juga keras? Tidakkah kejadian-kejadian di Hindia suatu petunjuk, untuk tidak lagi memandang Deli dsb. sebagai tempat pembuangan bagi tenaga-tenaga Belanda yang berlebihan atau tak terpakai? Di Hindia cukup banyak orang muda Indo-Eropa atau pribumi yang dapat mengerjakan tugas seorang asisten perkebunan jauh lebih baik dari orang muda Belanda; mereka mengenal rakyat pribumi dan tahan terhadap iklim Hindia. Maka orang tidak perlu lagi di Deli menantikan penuh kecemasan datangnya SI. Namun sayang, warna kulit dan kelahiran mereka biasanya suatu halangan tak teratasi untuk jabatan-jabatan tsb.
Pertanyaan apakah Serikat Islam suatu ungkapan kehendak rakyat dan memenuhi suatu kebutuhan yang dirasakan, sudah terjawab lewat fakta-faktanya. Di seluruh Jawa anggota-anggota telah melapor untuk S.I., baik orang Madura dan Sunda, yang hampir tidak ada persamaannya dalam sifat-sifat rakyatnya, dan yang rasa kepentingan bersamanya sampai sekarang masih terpendam bahkan di bidang agama.

Namun kebersamaan ini dibangunkan pertama-tama oleh propaganda S.I. dan kedua oleh politik kristen yang terlalu kuat dari Pemerintah di tahun-tahun terakhir. Sebagai bukti untuk yang terakhir ini saya ingatkan, bagaimana sesudah “Zondagsrustcirculatie” di Hindia timbul suatu kemarahan baru yang tertekan di kalangan pegawai negeri Muslim, terutama di Perkereta-apian: “Mengapa” tanya mereka, “hari istirahat kami tidak dihormati, dan kami dipaksa merayakan hari Minggu bersama orang kristen.” Bahkan dalam koran melayu “Chabar Perniagaan” yang dimodali Cina: ketika itu, orang merujuk kepada sebuah artikel dan Peraturan Pemerintah yang menurutnya kepercayaan setiap orang harus dihormati Pemerintah.
Tindakan kristen melampaui batas apa saja dapat terjadi di Hindia, terbukti dari kejadian-kejadian berikut: “Seorang residen yang baru diangkat mengadakan perjalanan kelilingnya yang pertama di daerah kristen; secara kebetulan ia harus merayakan hari Minggu di tempat yang juga didiami orang Muslim, yang bahkan memiliki pemimpin rakyatnya (burgervader) sendiri. Sang residen pagi itu ingin ke gereja, kejadian besar itu diumumkan kepada para kepala-kepala daerah. Para kepala distrik lalu mengirim surat resmi kepada kepala-kepala desa agar masuk gereja berpakaian seragam. Kepala muslim kita pun berseragam lengkap, duduk mendengarkan penolong pendeta Minggu pagi itu.”

Bersamaan dengan rasa kebersamaan islam-jawa itu, masuk pula faham-faham antifeodal ke dalam rakyat Jawa. Tidak bisa tidak; saat bangkitanya proletariat. ide-ide baru ini harus memasuki rakyat: jiwa ini terungkap dalam S.I. sebagai kekuatan rakyat yang mendesak ke atas, yang jalannya masih dapat diubah pemimpin-pemimpinnya dalam hal-hal kecil, namun mengubahnya secara menyeluruh mereka tidak mampu.

Jika kita mengikuti laporan-laporan tentang penghitungan rakyat oleh S.I. di Kali-Wungu, kita semakin yakin, bahwa S.I. mengarah kepada demagogi. Sebagai pembicara terhormat rnuncullah tuan TJOKROAMINOTO, Redaktur koran S.I.: Oetoesan Hindia. yang ternyata seorang pembicara rakyat yang ulung, dan yang dalam pidatonya menyatakan dengan jelas warna demokratisnya S.I.

Dalam replik dan duplik antara dirinya dan seorang jaksa dari salah satu tempat di daerah itu, yang terakhir ini membela mati-matian lembaga-lembaga seusia berabad-abad melawan serangan-serangan yang semakin memenangkan demokrasi. yang menemukan wakil yang tiada tandingannya dalam tuan TJOKROAMINOTO. Bahwa para pemimpinnya sangat menyadari kekuatan yang mendukung mereka, dapat kita lihat dari kata-kata benikut dalam pidato tsb,: “Harapan kita bahwa otonitas yang sah membuat kita mengerti apabila terjadi kesalahan, sebab kita dengan senang hati akan menyesuaikan diri”.

Lewat surat terbuka dalam Oetoesan Hindia, redaksi berpaling kepada Pemerintah sambil mengungkapkan ketidak-puasannya tentang cara kerjanya pegawai Eropa (a.l. seorang asisten residen), dengan mengungkapkan harapan agar pemerintah memperingatkan pegawai-pegawai itu atas tidak pantasnya cara kerja mereka.

Betapa berwibawa gaya surat itu, nadanya begitu tegas sehingga kita dapat memandang dokumen itu sebagai koreksi terhadap kebijakan pemerintah. Sejauh ini untuk pertama kali, serikat pribumi berpaling dengan bertanya langsung kepada pejabat Pemerintah tertinggi,
Apa pula yang dapat dikatakan tentang seorang pemimpin cabang S.I. yang menolak seorang kontrolir B.B. untuk menyerahkan dua anggota S.I. yang sesudah membunuh, lari menyembunyikan diri ke rumahnya, sebelum mengadakan pembelaan dengan komite sentral.
Sekali lagi, bukanlah maksud para pemimpin, bahwa S.I. melawan Pemerintah sekalipun dalam suatu tindakan yang cukup beralasan, namun yang disebut di atas ini rnenggambarkan makna, hakekat, yang dikenakan orang pniburni kepada serikatnya. terutama kepada pemimpinnya. Sidang yang dipilih rakyat pribumi dan yang lahir darinya yang sebagai pelindung berhadapan dengan gubernemen Belanda. ini salah satu contoh dari banyak lainnya.

Dan peraturan-peraturan pemerintah dalam bulan-bulan terakhir, amat sangat bersifat sedemikian, sehingga mengesankan bagi orang pribumi bahwa S.I. sepantasnyalah melawan pemerintah; mereka hanya memperlemah posisinya terhadap rakyat. Ketentuan-ketentuan seperti di Besuki mis, bahwa apabila empat anggota S.1. terlihat bersarna-sama mereka segera dapat ditangkap, tak dapat tidak membuat orang tertawa belaka.

Mengapa ketakutan itu, kecurigaan dari orang Eropa? Di Besuki perkebunan tebu telah memiliki senjata-senjata. Itukah suatu pengakuan, suatu pengakuan terpaksa bahwa apabila memang kemarahan rakyat meletus, para kepala perkebunanlah jatuh sebagai korban-korban pertama? Sekali lagi adakah ini suatu pengakuan terpaksa, dan kebenaran fakta-fakta yang ditulis dalam “Het Boek Van Siman, den Javaan”?

Nah, ubahlah keadaan kerja wong tani, maka tak akan ada lagi alasan bagi pemilik-pemilik pabrik gula dan petani tabak untuk membentengi diri dalam rumah-rumahnya. Namun bukan cuma swasta, pemerintah pun - yang (lihat pidato mahkota Gubernur Jenderal) tahu bahwa S.I. menguasai seluruh keadaan, - memperlihatkan kecurigaan dan kekhawatiran terhadap S.I. yang bekerja tak rnenguntungkan prestisenya. Ketika putera mahkota Solo naik kapal di Tanjung Priok untuk berlayar ke Eropa, wakil-wakil S.I. ingin menyapanya sebagai pelindung serikat, Namun dihalangi polisi. Mengapa rakyat harus dilarang menjalankan penghormatan spontan ini? Mengapa perbuatan picik terhadap suatu kenyataan sederhana, sehingga tindakan ini membawa kepada salah tafsir?

Dan masa meyakini pendapat ini meskipun salah, karena tuan TJOKROAMINOTO menganggap perlu mengatakan dalam pidato yang sudah sering disebut-sebut: “Sumpah yang kami minta sebagai syarat, hanyalah suatu janji kesetiaan terhadap statuta; tak ada yang dituntut menentang pemerintah. Ada yang mengatakan bahwa S.I. mempunyai rahasia. Ah, ada saja rahasia-rahasia di luar organisasi. Kalau pimpinan merasa kekurangan tenaga untuk mempertahankan statuta, SI. akan minta bantuan pemerintah.” Apabila gambaran yang salah itu belum masuk, mengapa ahli pidato ini menekankan kesepakatan yang harus ada antara S.I. dan pemerintah? Jiwa serikat rupanya telah menyimpang jauh dari maksud para pendiri sehingga mereka rnenganggap perlu menguraikan pendirian mereka dalam suatu pernyataan hukum: mereka menjelaskan keyakinannya:

a. Bahwa sejarah kelahiran Serikat Islam tidak ada hubungannya dengan apa yang berkali-kali dikemukakan dalam koran-koran Hindia. seakan-akan dari pihak pemerintah diadakan tekanan pada berpindahnya orang Muslim ke agama Kristen;
b. bahwa mereka dalam lingkungannya tidak menemukan bahwa usaha-usaha yang dimaksud itu (jika ada) telah menyebabkan rasa tidak senang di kalangan pribumi.
c. bahwa kaum pribumi tidak dihalang-halangi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama Muslimnya, dan secara hakiki juga tidak mau dihalangi, tetapi bahwa dapat dipastikan S.I. tidak didirikan sebagai pertahanan terhadap agama kristen atau terhadap agama-agama lain apa pun;
d. bahwa masalahnya lain samasekali, terutama untuk memperoleh hubungan-hubungan ekonomi yang lebih baik oleh kerjasama, sehingga orang Jawa, Madura, Sunda dan Melayu, masing-masing sesuai kemampuannya bekerjasama demi kemajuan yang dalam tahun-tahun lampau di Hindia tak dapat diingkari, juga untuk menarik keuntungan daripadanya.
e. bahwa bangsa-bangsa di Timur di tahun-tahun terakhir dimana-mana telah maju, sehingga juga sebagian besar kaum pribumi di Jawa terbangun dan memahami bahwa hanya dengan kerja-sama (semua terikat oleh satu ikatan) dapat diharapkan hasil-hasil kemajuan;
f. bahwa serikat mengenakan nama Islam karena para pendiri mengerti, bahwa ini paling berkesan dan dengan dernikian mencapai ‘ikatan yang diperlukan” sementara selain kepentingan materiil kaum pribumi (Muslim R.), serikat bertujuan meningkatkan kehidupan beragama di kalangan pribumi Muslim tanpa perlu bersikap bermusuhan.

Namun marilah kita tinjau lebih dekat pernyataan ini.
Dalam a dijelaskan bahwa sejarah kelahiran dsb. dsb. Betul, sebagaimana saya sudah kemukakan lebih dulu: bukan pendiriannya melainkan dibanjirinya serikat, harus dipandang sebagai reaksi atas semangat kepemerintahan.

Dalam b. orang berhati-hati dan menjelaskan bahwa mereka di lingkungannya tidak menemukan rasa tidak senang terhadap tekanan (jika memang ada) untuk membuat kaum pribumi beralih ke agama kristen. Bagaimana keadaan di luar lingkungan mereka, tidak disebut-sebut, Namun bila memang diadakan tekanan dalam hal itu. pastilah terdapat rasa tidak senang, hal mana memang sangat mudah difahami.

Dalam c. pernyataan yang pasti bahwa orang pribumi dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya tidak mau dihalangi, namun segera sesudahnya kepastian bahwa S.I. bukan pertahanan terhadap agama kristen.

Dalam d. juga upaya menenangkan dan pernyataan puas kepada pemerintah dengan mengemukakan kemakmuran rakyat dan diperkuat dalam e. yang juga menyatakan bahwa karena kemakmuran inilah, timbul kebangkitannya.

Dalam f. suatu penjelasan tentang motif-motif mengapa kata Islam diambil, dan pengingkaran bahwa tujuan-tujuan keagamaan menjadi dasarnya; namun hal ini segera dibantah oleh pemberitahuan pada akhirnya: bahwa tujuan yang dikejarnya adalah peningkatan hidup keagamaan orang Muslim tanpa fanatisme terhadap yang beragama lain.
Namun dengan demikian pertanyaan tidak terjawab: apabila tujuan utama serikatnya adalah perbaikan hubungan-hubungan sosial, kepentingan materiil kaum pribumi, mengapa dibuat antitese dalam pernyataan iman, sehingga bagian besar dari penduduk asli diasingkan?
Bagaimana menafsirkan pernyataan ini? Dengan mengujinya pada kejadian-kejadian, saya beranggapan bahwa para penanda-tangan mempunyai berbagai motif.

Pertama, karena khawatir bahwa kendali penguasa atas kekuatan-kekuatan terpendam yang dibangunkannya, perlahan-lahan akan terlepas, mereka berkehendak dengan pernyataan otentik jelas-jelas membatasi tanggung-jawabnya, dan jelas tidak rnau dimintai pertanggung-jawabannya atas kejadian-kejadian yang tidak langsung mengalir dari tujuan-tujuan tertulisnya.

Kedua: Pemerintah kini ingin mereka ampuni atas tuduhan bahwa SI. oleh anutan politik pemerintah yang menyebabkan turunnya nilai rohani organisasi dengan berubahnya arah politik hal ini harus dicegah: di atas segalanya, di bawah kekuasaan klerikal kristen atau liberal, S.I. harus dapat mempertahankan dirinya sebagai perwujudan kehendak rakyat terlepas dari semangat kepemerintahan.

Ketiga: memperlihatkan kepada kita S.I. dalam bentuknya yang paling murni, yaitu yang diterangi pencerahan cita-cita para pendiri. Namun, fakta-fakta jelas tampak bagi kita, dan realitas kita lihat menyimpang dari cita-citanya.

Akhirnya apa gunanya bagi kita maksud-maksud sejumlah pribadi, apabila massa lain pendapatnya? Dan, sebagaimana TJOKROAMINOTO sendiri akui dalam pidatonya bahwa para pemimpin tidak akan mampu mengarahkan serikat ke tujuan lain apabila dikehendakinya sendiri, demi pandangan yang benar, kita jangan terlalu memandang serius penjelasan sejumlah pemimpin. sekurang-kurangnya jangan memakai pernyataan ini sebagai suatu penilaian obyektif dan dengan demikian memandang lebih rendah gerakannya.

Karena dari pengakuan itu sendiri, dan pengakuan tentang ketidak-mampuan diri sendiri untuk menghalangi atau mernbalikkan kehendak rakyat, dapat ditarik kesimpulan, bahwa jiwa serikat tidak dapat dinilai menurut ide-ide sejumlah pemimpin, Namun menurut pengungkapan-pengungkapann<wbr>ya.

Masalah lain adalah pertanyaan: sejauh mana para pemimpin itu bersalah, bahwa mereka kini tidak lagi menguasai keseluruhan gerakan yang mereka awali itu, sehingga kadang-kadang para anggota telah kehilangan pandangan atas statuta, dan berbenturan dengan pemerintah.
Bila kita mengikuti kejadian-kejadiannya. kadang-kadang rupanya para pemimpin tidak bersalah; bahwa mereka sekurang-kurangnya baik dalam pidato maupun dalam tulisan mendesak para anggotanya agar menjaga ketenangan dan ketertihan dalam negeri, Namun sering tindakan gegabah para pegawai Pemerintah atau berpegangnya terlalu keras pada kebiasaan lama orang Eropa atau Cina, memancing perlawanan dari atau benturan dengan S.I.
Kita juga tidak boleh lupa, bahwa pers Hindia berdaya-upaya untuk menyoroti SI. secara negatif.

Bagaimana mis. tentang pembunuhan massal yang dalam bulan Agustus dilancarkan anggota S.I. di Batavia? Orang menjadi khawatir, dan Javabode dengan agitasi berlebihan, menulis tgl. 19 Agustus:

“Semangat kaum pribumi, dipanasi kegilaan agama, ingin mengungkapkan diri dalam menjalankan pembunuhan massal terhadap orang Eropa. Bedebah-bedebah yang berspekulasi atas fanatisme sesamanya, bersembunyi di balik S.I. itu ingin mengadakan pembunuhan-pembunuhan demi hasil jarahan. Para saudara harus didahulukan karena S.I. dan agama Kristen dan sesudah membicarakan ketentuan-ketentuan Pemerintah, disertai pernyataan bahwa sejumlah pasukan akan siap-siaga lengkap dengan senjata, menyusul pernyataan untuk menenangkan penduduk Batavia: “Jadi tidak ada alasan sedikit pun untuk khawatir, (sic.R). Orang jangan takut untuk kejadian yang akan datang. Bayangan-bayangan yang sudah terlontar sudah memancing ketetapan-ketetapan yang sangat ketat.”

Setelah begitu dihebohkan, sekurang-kurangnya dapat dinantikan adanya bentrokan-bentrokan antara militer dan S.I.

Namun, tak terjadi apa-apa, bahkan tak ditulis apa-apa lagi tentang hal itu. Seluruh ancaman ternyata khayalan belaka; orang berusaha mengumpulkan bahan untuk incrimineren S.I.
Tgl. 29 Maret y.l. oleh Pimpinan Pusat S.I. dalam suatu audiensi, diserahkan kepada Gubernur Jenderal statuta untuk rnemperoleh hak pendirian, yang ditolak Gubernur Jenderal. yang berpendapat bahwa sebelum diberi hak berdirinya. para pemimpin harus menunjukkan sungguh-sungguh mampu menguasai gerakannya.

Mungkin saja pendirian tentang hal ini yang diambil pemerintah dapat dibenarkan berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi dari sudut-pandang taktik tidak demikian.

Berdasarkan kenyataan bahwa organisasi ini suatu ungkapan dan jiwa rakyat, mestinya mereka sambut secara terbuka. Tidaklah dapat diingkari, bahwa penolakan ini menimbulkan kekecewaan di antara para anggota, dan dilihat sebagai sikap bermusuhan terhadap setiap emansipasi rakyat pribumi.

Semoga pada permohonan berikut Pemerintah berubah pendapat, sebab pemberian hak berdiri akan membawa dua akibat langsung: 1.kewibawaan moril para pemimpin diperkuat, yang memampukan mereka lebih kuat menuntut diturutinya statuta; 2. pemerintah tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan juga tidak takut terhadap kebangkitan rakyat pribumi.

Jalan tengah untuk memberi hak berdiri kepada organisasi-organisasi lokal dan tidak kepada satu organisasi besar menurut saya akan memperlemah posisi pemerintah.

Seperti halnya setiap gerakan di negara-negara lain akan muncul pribadi-pribadi yang menginginkan lebih cepat jalannya keadaan. Orang-orang yang jiwanya mendahului masanya, namun tetap harus hadir untuk melempangkan jalan bagi massa, yang mengikutinya. Di antara pribadi-pribadi semacam itu saya masukkan orang-orang Jawa yang sudah banyak diperbincangkan seperti TJIPTO MANGOENKOESOEMO, dan R.M. SOEWARDI SOERJANINGRAT. Yang terakhir ini adalah Ketua S.I. di Bandung. Orang-orang terpandang dengan sikap kritis, memberontak terhadap pandangan-pandangan keliru dan hubungan-hubungan yang salah di negerinya.

Maka ketika pesta-pesta kemerdekaan Belanda dirayakan dengan begitu menyinggung perasaan orang pribumi, terbentuklah di Bandung suatu komite terdiri dari orang-orang pribumi yang menyebarkan brosur geincrimmeerde: “Jika saya orang Belanda....” Dapatlah dimengerti dan dimaafkan terhadap seorang anak bangsa yang tidak memiliki kemerdekaannya. Tulisan ini mestinya tidak boleh menjadi alasan bagi ditawannya kedua orang tsb. yang memiliki keberanian untuk berjuang demi cita-citanya. Lagipula dalam keseluruhan dokumen itu tak ada bekas ‘rassenhaat”. Justitie di Hindia yang mau memerangi ‘rassenhaatwekkende’ tulisan telah alpa dalam memusatkan perhatiannya terhadap artikel dalam Preangerbode: “Jika saya orang pribumi” Bodoh dan lebih menghina lagi dari lawannya, tulisan itu mencerminkan cara yang tak dapat dipercaya bagaimana orang Eropa rata-rata yang oleh pengaruh panasnya matahari tropis bertindak terhadap rakyat pribumi.

Terpaku pada kewibawaan Barat di masa ini, baginya segala yang sifatnya Hindia, rendah dan ia lupa (bahkan tidak tahu samasekali) bahwa Timur juga memiliki budaya yang sangat dihargai orang-orang Barat terhormat dan termasyur.

Dalam pamflet: “Bila saya pribumi” satu penghinaan ditumpukkan atas yang Iainnya dan berakhir dengan: “Apabila saya orang pribumi ... saya ingin menjadi orang Belanda.”
Perlakuan merendahkan yang sudah dikenakan pada orang pribumi, terlalu dikenal untuk dibicarakan lebih lanjut. Namun apabila seorang pribumi bereaksi mengamuk, ía disebut: “orang Jawa yang tidak matang, setengah masak” atau “anak tropen tanpa keseimbangan dalam pikiran dan perasaan”, sebagaimana dirumuskan redaksi Soerabaiasche Handelsblad.

Bagi saya lebih dapat dimengerti bahwa pengejaran itu dilembagakan karena jiwa lndische Partij berhembus dalam brosurnya. Kalau demikian, ini satu bukti lagi bahwa sekalipun resmi sudah dibubarkan., I.P. masih tetap ada. sekurang-kurangnya ikatan jiwa yang mengikat anggota-anggota partai sehingga pada suatu hari bangkit dalam bentuk yang lain.

Betapa kelirunya akibat hukuman itu, dapat kita baca dalam Expres. TJIPTO MANGOENKOESOEMO menulis:
“Ada rangsangan untuk menantang penguasa (Pemerintah) yang mengerahkan tenaganya sedemikian rupa untuk mengecilkan kami. Semakin kuat aksinya, seimbang pula kekuatan kita.”
Naif tak bertanggungjawablah para penguasa di Nederland untuk memandang TJIPTO dan SOEWARDI terpisah sama sekali dari massa rakyat Jawa, sebagai dua “true eyes” yang pikiran-pikirannya terlalu jauh terpisah dari orang Jawa biasa, untuk diperhitungkan. Hal ini juga dilihat sejumlah koran Hindia; Locomotief a.l. berkata: “Setiap permainan pemberontakan hanya akan bermuara pada sejumlah salvo. Atau bila menghendaki hasil paling baik, pada munculnya penguasa yang lain..” Kemungkinan ketiga tidak dibicarakannya: Bagaimana pun juga orang mengakui bahwa ide-ide TJIPTO dan SUWARDI, tersebar luas di berbagai kalangan. yang dapat menjadi alasan bagi suatu “permainan pemberontakan.”

Bukan, kita jangan melihat dalam kedua orang Jawa ini orang-orang sesat secara rohani di tengah hutan-rimba ide-ide Barat yang dimasuki berbagai orang Hindia yang bangkit, bukan, mereka adalah bentara-bentara yang diutus mendahului arak-arakan panjang yang akan datang. Apa tujuan akhirnya; kemana arah arak-arakan itu? Menurut saya ini tidak bisa diragukan lagi. Mungkin tidak disadari, perjuangan S.I. akhirnya akan dibimbing menurut arahan yang dikehendaki TJIPTO dan SUWARDI, betapa menghancurkan pun pandangan pers dan masyarakat.

Dalam koran Locomotief kita membaca: “Sungguh amat sangat disayangkan karena ini sangat merugikan penduduk pribumi. ini ikut merugikan suatu serikat yang murni dan berguna.”
Bahwa kedua idealis, sebab memang demikianlah mereka, lebih merugikan daripada menguntungkan diri mereka sendiri, sudah pasti. tetapi bahwa mereka telah merugikan kepentingan S.I. tidaklah jelas. Justeru oleh selingan yang kurang menyenangkan ini dalam kehidupan politik, mereka telah memberi pelajaran kepada pemimpin-pemimpin S.I. untuk berhati-hati. Bagaimana para pemimpin menanggapi isyarat ini baru kita tahu kemudian.
Namun bahwa evolusi S.I. kini sudah dibatasi, kenyataannya didiamkan. Saat-saat yang sulit akan dihadapi wakil-wakil penguasa Belanda di Hindia.: politik kolonial telah memasuki tahap yang baru. Di samping pandangan dan keinginannya, Pemerintah kini juga harus mempertimbangkan pandangan rakyat Hindia, yang diwakili pimpinan S.I. Pada pandangan pertama kesannya situasi tidak sehat berupa “adanya negara dalam negara”, pada tinjauan selanjutnya sebenarnya ini langkah besar maju menuju “Parlemen Hindia”, jadi sangat rasional.
Pada akhir usahanya, saya tak dapat tidak memberi sekedar pandangan atas aliran-aliran pada urnumnya yang muncul di Hindia.

Kini bukan pertanyaan lagi apakah Hindia matang untuk pemerintahan sendiri, soalnya hanya apakah Hindia berhak atas pemerintahan sendiri. Dan jawabannya tak bisa tidak ya; juga politisi Belanda yang punya wibawa beranggapan, bahwa satu-satunya kewajiban yang dipikul Belanda adalah: mendidik Hindia untuk berdiri sendiri sebagai bangsa. Jadi sekiranya hak otonomi bagi Hindia suatu fakta yang tak terbantahkan maka haruslah diperjuangkan setiap upaya yang mendorong hal tsb.

Dan begitu “disayangkan” bahwa pemerintah bersikap sangat tidak bersahabat terhadap lndische Partij; ketika ungkapan partai itu penuh gejolak, mestinya diredakan; karena dengan pembubaran I.P. telah diadakan pemilihan di kalangan pribumi dan Indo terhadap pemerintah. Terutama yang terakhir ini, merasa dilupakan oleh tanah air. Siapa yang meragukannya, carilah saja suatu karya ilmiah tentang “Masalah Indo.”

Bila professor SNOUCK HURGRONJE dalam serangkaian ceramah membahas masalah Islam, pantaslah orang memberi lebih banyak perhatian terhadap soal yang sama pentingnya: masalah Indo. Praktek telah membuktikan bahwa hal ini patut diperhatikan, bahwa sang Indo tak mesti disisihkan bagaikan jumlah yang boleh diabaikan dalam politik kolonial, dan bahwa dalam perlakuan keliru unsur Indo masih lebih berbahaya dari yang pribumi, karena sang Indo tidak memiliki kesabaran dan ketakwaan seperti yang dimiliki orang Jawa.

Dalam suatu artikel Gids berkatalah tuan VAN DEVENTER merujuk kepada masalah Islam: “Hendaknya Belanda diperingati dan bangun, sebelum terlambat”. Kata-kata ini ingin juga saya terapkan pada masalah Indo.

Bermimpi tentang suasana berpikir di Hindia kini, amat sangat optimis. Telah muncul semangat ketidak-puasan orang tidak puas dengan ketertiban yang ada, tidak puas dengan tanah air dan :kerusuhan serta permainan revolusi merupakan pendahuluan dari hal-hal yang akan datang, kecuali tangan besi membanting stir dan mengarahkan kapal politik kolonial ke pelabuhan yang aman.

Karena, sekalipun tuan NOTOSOEROTO menulis dalam salah satu tulisannya bahwa nada dasar dan perasaan kaum pribumi di Nederland itu: ‘bersimpati terhadap Belanda dan orang Belanda”, apa artinya jumlah kecil itu ketimbang jutaan di Hindia sana.

Selama situasi disana tidak diperbaiki, bukan saja untuk sejumlah kaum intelektual namun bagi semua orang yang terlahir dalam perjuangan hidup dan menggulati prasangka dan posisi hukum yang tak menguntungkan, selama itu tetap ada ketidakpuasan.

Bukanlah di Belanda harus terlaksana perbaikan terhadap penyakitnya, bukan saja upaya melancarkan aliran orang Hindia ke Belanda yang akan membelokkan bahaya (sebelum tercapai jumlah secukupnya disini, mungkin sudah terlambat), namun di Hindia sendiri orang harus mulai dengan perubahan mendasar yang menuntut kepatutan.

Disana, bahan bakar harus dijauhi dari apinya; orang harus membasmi hal-hal yang bisa menjadi penyebab arak-arakan yang diumumkan dua bentara agar dapat lewat bagaikan mimpi buruk yang menakutkan bagi rakyat Hindia dan Belanda.

Bahwa kelak akan tiba waktunya bahwa Hindia berdiri sendiri sebagai bangsa, sudah pasti. Sejarah tak dapat membuktikan adanya satu bangsa pun yang dikuasai secara abadi.

Semoga perpisahan yang tak terelakkan itu bersahabat sifatnya, agar sesudahnya tetap berlangsung jalinan unsur-unsur budaya yang nyaman antara Hindia dan Belanda yang berabad-abad lamanya pernah dipersatukan oleh sejarah.

AMSTERDAM, November 1913.


DAFTAR KATA-KATA BAHASA ASING

Kata-kata Bahasa Hal.
adie Jawa kepala 8
arae ayes Latin 25
arbeids inspectie Belanda dinas pekerjaan umum 17
bataviaasch niewuwshlad Belanda harian batavia 1,6
bond van jong Indo’s Belanda nama serikat orang indo 6.7
Burgerij Belanda rakyat biasa 6
camora Italia 16
concubide Belanda pasangan hidup bersamadi luar perkawinan 16
concuhinaat Belanda hidup di luar perkawinan 16
conditio sine qua non Latin syarat mutlak 13
demagogis Belanda agitatif 11
expres Belanda nama harian di hindia belanda 1
gids Belanda nama hmedia di belanda 26
hoofdeiischool Belanda sekolah pemimpin 14
incriminasi Belanda inkriminasi 23
indischie partij Belanda partai hindia 2.7
inlander Belanda orang pribumi 7
inlands Belanda bersifat pribumi 7
Javabode Belanda nama media di jawa 16
Justitie Belanda pengadilan 24
klerk Belanda tenaga tata usaha 8
kolperteur Belanda penjaja 13
landbouw en veeartsenschool Belanda sekolah pertanian dan peternakan 15
locomotife Belanda nama harian 25
monster Belanda monster 10
opzichter Belanda mandor 7.16
praticulieren Belanda kaum swasta 1
preangerbode Belanda nama media di jawa barat 24
proletariaat Belanda proletariat 6
rammeling Belanda pukulan 16
rate of wages Inggris skala gaji 8
regent Belanda bupati 5
regenten vereeniging Belanda persatuan bupati 6
semoehoen Belanda ya 8
soerabaiash handelsblad Belanda nama media di surabaya 25
stovia Belanda sekolah tinggi kedokteran 3
traktement Belanda traktemen 8
unicum Belanda keunikan 11
wong Belanda orang 19
zendeling Belanda utusan 9
zending Belanda perutusan 9
zendingsgenootschap Belanda misi 9
zondagsrustchirculatie Belanda peraturan hari minggu 17


===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

=============================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"

TULISAN SAM RATULANGI PERTAMA DI BELANDA

Dr Samrat: Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Pertama



PROLOG
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh penerbit di Baarn, Holland.

KILAS BALIK yang menjadi dasar tulisan ini.
Setelah Sam Ratu Langie lulus Technische School di Batavia pada umur 18 tahun, ia mendapat pekerjaan beberapa tahun pada Staats Spoorwegen (Jawatan Kereta Api) dan ditempatkan di daerah Kroya dan sekitarnya dalam rangka pembangunan rel kereta api.
Ia mengalami diskriminasi ras karena ia adalah INLANDER (istilah untuk pribumi dengan konotasi negatip) dan bukan Hollander (ataupun Indo-Europeaan) dan diberikan penampungan di kampung-kampung. Hal ini, walaupun menyakiti hatinya, tidak dijadikan halangan, bahkan memberikan dorongan untuk mengobservasi perkembangan masyarakat disekitarnya. Antara lain ia dapat mengikuti dari dekat pertumbuhan sosial khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Serikat Dagang Islam yang kemudian beralih menjadi Serikat Islam.
Sebagai seseorang yang tidak dapat menerima ketidak-adilan dan yang selalu berpihak kepada yang lemah ia mengamati adanya kesalah-fahaman pemerintah kolonial terhadap gerakan hati-nurani dari masyarakat yang tertekan ini.

SERIKAT ISLAM

oleh

Gerungan S.S.J. RATULANGIE


diterbitkan di
BAARN
HOLLANDIA – DRUKKERIJ
1913

Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh
Dra. Konda Tilaar
Editor: Dr. M. Sugandi-Ratulangi (2009)

BAGIAN PERTAMA

"Kita berdiri pada titik-balik sejarah Kolonial.
Jaman kini memprihatinkan."

Dalam pidatonya yang diadakan pada audiensi 1 September y.b.l.(editor: 1912) sebagai jawaban Tuan Jacobs, penyambung-lidah kelompok ke-12 dan para ‘praticulieren’, Gubernur Jendral Idenburg mulai dengan kata-kata:

“Kekuatan-kekuatan terlelap bangun, keinginan-keinginan tersembunyi menjadi nyata. Dimana-mana ada penyadaran diri, dan akibatnya orang mempertanyakan buah-buah budaya Barat kita.”

Memang, orang hanya perlu membaca koran-koran Hindia, untuk mengakui dasar kata-kata ini : perserikatan-perserikatan muncul, benturan-benturan terjadi antara berbagai bangsa atau antara bagian-bagian masyarakat Hindia yang terpisah oleh hukum, dan akibatnya yang tak terelakkan, muncullah konflik-konflik antara rakyat dan penguasa.

Yang berada paling depan dalam “bangunnya kekuatan-kekuatan yang terlelap” itu pastilah organisasi Serikat Islam, baik oleh jumlah penganut yang diperolehnya, maupun oleh cakupan tujuan luas yang dikejarnya: yaitu perbaikan keadaan ekonomi masyarakat pribumi dan peningkatan hidup beragamanya. Namun orang terutama patut berhati-hati dalam menilai fakta-fakta berita yang membanjiri kita dari Hindia. Sulit mencatat dengan tepat kejadian-kejadian yang merugikan atau yang menguntungkan S.I., karena pers Eropa di Hindia tak mungkin tidak memihak sama sekali. Kepentingan pertamanya sedikit banyak adalah menentang aliran-aliran politik di dunia pribumi Hindia-Belanda; lewat sensor peraturan percetakan pers Hindia yang ketat, kebanyakan di antara mereka ini terbawa bersikap kurang lunak terhadap serikat-serikat politik di sana. Bukankah hal ini suatu kenyataan dalam perlawanan Partai Hindia; orang tak berhenti sebelum lembaga yang dianggap membahayakan Negara dan kekuatan Eropa itu dibinasakan. Seluruh pers Eropa mempersatukan diri demikian eratnya, sekalipun dalam keadaan lebih tenang mereka sering bertengkar, untuk mematikan Expres yang baru saja terbit di Bandung.

Hal ini tidak mengherankan kita, karena “pers agung” yang dikuasai orang Eropa (kecuali Bataviaasch Nieuwsblad), merasa kehilangan dasarnya karena propaganda I.P. melalui Expres. Sekalipun begitu, juga bagi pers Eropa, kebenaran tidak selalu dapat diingkari atau ditutupi dan fakta-faktanya memang terlalu jelas. Itu sebabnya kami sangat terkesan oleh pertentangan semu dari berita-berita yang dikandung koran-koran Hindia tentang gerakan-gerakan disana. Sekiranya kita mendalami hakekat masalahnya, dapatlah kita mengembalikan semuanya kepada satu sebab, yang saya sebut saja: jiwa baru, yang telah merasuki masyarakat Hindia, sebagai lawan dari makna yang begitu gemar digunakan jurnalistik Hindia sebagai sanggahan: jiwa DOUWES DEKKER. Sebab, bahwa di Hindia kita berurusan dengan jiwa rakyat, terbukti dan kejadian-kejadian dan juga kini disadari Pemerintah, sebagaimana ternyata dari kutipan kata-kata Gubernur Jenderal itu.

Lagipula, terlalu naif untuk mengira bahwa seorang saja mampu memasukkan ide-ide yang baru sama sekali, apabila massa itu sendiri tidak sudah memiliki suatu predisposisi untuk menerimanya.

Bila orang ingin menyanggah saya, bahwa ‘kekuatan kata-kata’ itu faktor besar, dan memperlihatkan kepadaku contoh-contoh dari sejarah purba dimana satu orang dapat menguasai kumpulan rakyat, dapatlah saya katakan bahwa tiada cara yang lebih sederhana daripada mengirim seorang orator ke Hindia untuk meyakinkan rakyat akan hal yang berlawanan dengan apa yang mereka pikirkan kini disana, - sebagaimana dapat kita simpulkan dari fakta-faktanya - untuk mencegah badai. Sengaja saya berhenti sejenak pada pembicaraan Indische Partij sebelumnya. Karena saya sendiri yakin bahwa serikat ini dan Serikat Islam dua organisasi yang tak mungkin terpisahkan satu dari yang lain. Antara kedua organisasi ini terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas terlihat jika dipandang lebih dalam. Keduanya itu hasil dari keadaan-keadaan yang sama; bahwa yang satu mengusung ‘islam” dalam benderanya hanyalah bukti, bahwa yang lain berpijak pada dasar-dasar yang lebih liberal. Namun satu di antara kedua organisasi ini adalah hasil dari yang lain kalau saja pemikiran ini tidak terlalu gila dan terlampau gegabah, saya akan memprotesnya.

Apa saja alasan-alasannya, yang membuat ide-ide baru itu muncul di segala lapisan masyarakat, sulit digambarkan secara singkat. Lagipula. apabila kita harus melacak semua faktor yang langsung dan tidak langsung telah mengarahkan jalannya keadaan, kita harus kembali ke jaman sejarah lampau, bahkan lebih jauh lagi sekiranya kita mengikuti rangkaian kejadian dan sebab-musababnya.

Cukuplah yang berikut ini. Ketika hubungannya terbina, ketika penduduk pribumi diposisikan secara kurang menguntungkan terhadap orang asing, ketika itu orang sudah dapat meramalkan bahwa suatu saat cepat atau lambat, pada lanjutan perkembangan jiwa kaum pribumi, kerusuhan-kerusuhan sekarang ini akan menjadi kenyataan. Masyarakat pribumi kini tak dapat lagi bergerak dalam kerangka undang-undang yang usang; ia mengejar ruang gerak lebih luas, dan dalam keadaan berlanjut yang sangat lazim seperti ini tak bisa tidak ia akan berbenturan dengan lembaga-lembaga usang, dan kelompok-kelompok penduduk yang menikmati keuntungan lebih banyak, bila hubungan-hubungan seperti itu dipertahankan. Dan hal ini dapat kita lihat dalam halaman-halaman berikut ini: bahwa partai anti revolusioner di Hindia harus dicari di antara orang Eropa asli dan kaum bangsawan pribumi.

Marilah sekarang kita ikuti kejadian-kejadian yang pertama-tama mengungkapkan “keinginan-keinginan terselu-bung” itu, agar dengan memandang cetusan-cetusannya itu, kita dapat memperoleh gambaran tentang hakekatnya. Pertama kali orang menjadi agak sadar tentang hal ini ketika tujuh delapan tahun lalu oleh mahasiswa STOVIA (Sekolah Kedokteran di Weltevreden) ide-ide baru dilontarkan ke dunia, yang menemukan perwujudannya dalam “Boedi Oetomo” yang bagaikan sengatan listrik menyambar lapisan-lapisan atas masyarakat. Setelah dipandang penuh kecurigaan, gerakan ini melalui ketekunan para pendirinya segera memenangkan kepercayaan golongan Priyai dan Pemerintah. Bagaimana pun orang kemudian dalam perumusan tujuannya mengedepankan perbaikan ekonomi dan pendidikan, untuk menutup-nutupi hakekat Boedi Oetomo yang sebenarnya, kenyataannya tak teringkari: gerakan ini muncul dari kesadaran diri orang Jawa dan merupakan endapannya. Kehidupan Hindia telah memasuki era baru, dan sudah berlalu bahwa ia menyerah kepada keadaan berdasarkan pikiran: dura lex, sed lex, bahwa rasa nasionalisme sudah berbicara, bahkan nasionalisme yang ketat, dapat kita simpulkan dari fakta bahwa hanyalah orang Jawa yang dapat memasuki organisasi ini sebagai anggota. Maka serikat itu dengan tepatnya menamakan diri “Jong Javanen Bond”. Harapan-harapan tinggi, yang dimiliki terhadap Boedi Oetomo, sedikit banyak meleset, ketika pejabat-pejabat tinggi pemerintah pribumi menduduki jabatan dalam Pemerintah pusat. Orang lalu mengkhawatirkan suatu tekanan dari atas, yaitu pengaruh Pemerintah, yang bekerja agresif terhadap kehidupan berserikat. Kekhawatiran tsb, ternyata bukannya tak ada dasarnya: di bawah pimpinan pengurus yang mundur tahun ini, organisasi ini hanya menjadi suatu bayangan lemah dari ide para pendirinya. Karena, di samping atau sebelum menjadi pengurus oraganisasi nasionalis ini mereka itu abdi Gubernemen. Dan bahwa antara Gubernemen dan B.Oe. tak selalu ada kedamaian merupakan suatu akibat tak terelakkan dari keadaannya. Orang dapat saja berdalih sebanyak-banyaknya, suatu organisasi seperti B.Oe. dalam keputusannya harus terarah menentang jiwa pemerintah yang ada. Karena akhirnya syarat-syarat berdirinya yang pertama, justeru adalah kekosongan dalam kehidupan bersama, yang tidak dapat atau tidak mau diisi Pemerintah. Apabila hubungan sosial sesuai dengan kehendak rakyat Hindia, organisasi seperti itu tak punya dasar, bahkan tidak pernah dilahirkan. Kedudukan hukum yang tak sama antara orang Eropa dan orang pribumi, yang sering tak menguntungkan yang disebut terakhir, merupakan batu sandungan pertama bagi banyak kaum pribumi yang sudah sadar akan pembedaan itu. Pada titik ini B.Oe. saja sudah berlawanan dengan Pemerintah, sekurang-kurangnya di masa itu. Masalah ini mungkin di masa depan tidak lagi memberi alasan untuk saling berbenturan, karena apabila kita menganggap ucapan dalam Pidato mahkota Hindia sebagai suatu janji, akan terjadi suatu awal dalam persamaan masalah hukum. Namun sekalipun hal ini dibereskan sepenuhnya, masih saja ada kasus-kasus yang menempatkan kepentingan Pemerintah jauh berseberangan dengan perjuangan B.Oe.

Namun, kekosongan ini mungkin juga terjadi oleh kekurangan intern, oleh kekurangan yang lekat pada masyarakat pribumi sendiri yang sebenarnya dapat saja ditiadakan. Hal ini dapat saya akui sepenuhnya, dan saya tahu juga bahwa B.Oe. sampai sekarang hanya bekerja ke arah itu, namun hal ini sama sekali tidak meniadakan kemungkinan tentang apa yang saya sebut di atas ini.

Orang juga menunjuk kepada kemungkinan, agar melalui penggabungan tsb., orang dapat melawan masuknya semakin jauh ke pedalaman; orang Cina, yang menguasai perdagangan kecil dan industri kecil, dan dengan ketrampilan melebihi ketrampilan pekerja Jawa, hampir menggeser mereka dari pasar kerja, sehingga dengan demikian dapat menguasai perjuangan di bidang sosial ekonomi.

Namun, bagaimanakah semestinya sikap seorang pegawai pemerintah dalam hal ini? Bukankah ia berada antara dua titik api, apabila ia mau mendengar suara hatinya?

Masalah nasional menuntut agar ia menjauhi kaum Cina sekuat tenaganya, namun sebagai abdi negara seharusnya ia bersikap netral, karena sebagai warga masyarakat yang tertib dan jujur mereka mencari nafkahnya.

Bahwa pukulan politik akhirnya harus dijatuhkan, disadari oleh sejumlah orang. Saya ingat ump. bahwa dalam masa pendiriannya, orang penuh kekhawatiran rnenyelidiki kalau-kalau organisasinya berpolitik atau tidak. Orang begitu khawatir terhadap apa saja yang berbau politik, karena organisasi-organisasi politik itu dilarang.

Lama orang timbang-menimbang, ketika seorang muda Jawa naik panggung, lalu mengambil keputusan dengan kata-kata: “B.Oe. akan menjadi serikat sosial, tapi demi tercapainya tujuan, jika perlu akan menggunakan cara-cara politik.” Dengan demikian tercapailah perdamaian: jadi bukan oraganisasi politik!

Sampai sekarang memang, B.Oe. senantiasa bekerja di bidang sosial dengan mendirikan toko-toko koperasi, sekolah-sekolah, dst. Tapi kalau begitu, apakah aksi yang dilancarkan B.Oe. dapat dikembalikan kepada perjuangan kelas yang biasa? Pasti bukanlah demikian, karena B.Oe. bukan organisasi dari suatu kelas kaum pribumi, melainkan mencakup keseluruhan kehidupan pribumi. Lagipula, dapatkah digambarkan dengan tajam pemisahannya: mana batas antara perjuangan kelas dan propaganda politik?

Terutama di Hindia dengan hubungan-hubungan yang aneh, dimana rendah dirinya orang pribumi dijunjung sebagai dalil tak terbantahkan, setiap langkah maju bagi kontingen pribumi, berarti mundurnya wibawa moral bangsa kulit putih; dan setiap perbaikan sosial orang pribumi, membuka perspektif dari konsekuensi politis.

Meskipun anggota-anggota B.Oe. semata-mata harus dicari di antara kaum terpelajar, program kerjanya seperti yang sudah kita lihat, menyebar ke seluruh rakyat; terutama diusahakan perlindungan terhadap mereka yang lemah morilnya dengan meningkatkan taraf moral rakyat. Namun dimana satu golongan rakyat itu memperkuat diri, di situ bagian-bagian lainnya harus dipersulit dalam pekerjaannya, sekalipun hanya dengan persaingan. Dan karena orang perorangan berkonsentrasi ke dalam satu badan, yang kriteria keanggotaannya adalah kebangsaan dan bukan kelas, dengan sendirinya aksi B.Oe. dibatasi dan dapatlah kita lihat dengan jelas, pertentangan antar suku. Demi rasa kemanusiaan, pemerintah harus menghadapinya dengan netral, mengapa begitu sulit keanggotaan pimpinan dari serikat yang nasionalis ini, dapat digabungkan dengan suatu jabatan dalam pemerintahan luar negeri. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, hal ini juga disadari DOUWES DEKKER, ketika itu redaktur surat kabar tsb., dan saya menemukan bagian kalimat berikut ini: “Kesalahan pertama yang dibuat perserikatan yang muda itu adalah memilih regent Karanganyar menjadi ketua.”
Penulis bukan menolaknya karena regent itu tidak siap untuk tugas tsb., sebaliknya pegawai Pemerintah tsb terkenal karena sifat-sifatnya yang baik sekali, dan berasal dari rakyat (ia sebelumnya guru), andaikan saja ia tidak memiliki prasangka-prasangka bangsawan kuno dan lebih memahami kebutuhan rakyat. Tetapi dalam prinsipnya penulis menentang masuknya pegawai tinggi pemerintah ke dalam B.Oe. Dalam hal ini ia tidak salah; karena betapa kemudian pegawai-pegawai Pemerintah yang lebih tinggi, meminta sampai memalukan pendapat residen yang bersangkutan dulu, sebelum mereka berurusan dengan B.Oe.; bagaimana kemudian ternyata “Regenten vereeniging” mengembangkan diri sebagai kelompok reaksioner dalam masyarakat pribumi.

Dan ini kembali dapat dijelaskan dengan baik; karena apabila ide baru ini diterima dimana-mana, tamatlah hak-hak istimewa kaum bangsawan; hilanglah rasa hormat yang hampir kekanak-kanakan, - yang dimiliki rakyat terhadap pemimpin-pemimpinnya, yang membuat mereka ini hidup cukup nyaman, - untuk diganti dengan rasa sederajat. Tidak mengherankan bahwa kaum bangsawan penuh keprihatinan memandang majunya proletariaat, perlahan tapi pasti.

Perjuangan ini sama dengan yang diperlihatkan Eropa pada bangkitnya burgerij dalam abad pertengahan, bedanya rakyat di Hindia sering masih mendapat dukungan Pemerintah. Karena itu gerakan yang sedang mereorganisir diri di Jawa sedikit-banyak mendapat perlawanan dari anggota-anggota bangsawan, termasuk kaum berada.

Sesudah B.Oe., banyak perserikatan lokal didirikan, namun kebanyakan lebur ke dalam organisasi besar atau menjadi cabang-cabangnya.

Bersama semua tanda-tanda perluasan kekuatan rakyat pribumi, tak bisa tidak, orang Indo-Eropa, si “Indo” terancam akan terjepit. Di satu pihak orang Eropa asli, di pihak lain orang pribumi, kedua kekuasaan itu dapat menjepitnya apabila ia sendiri tidak bertindak ekspansif pada waktunya, dan memasang kuda-kuda.

Sebagai pengimbang B.Oe, oleh kaum muda Indo-eropa didirikan “Bond van Jong Indo’s”. Sayang, di bawah pimpinan yang sangat buruk. serikat itu dipimpin orang-orang muda yang berdarah panas, yang dalam dokumen-dokumen propaganda lebih banyak mengumbar kata-kata bualan daripada memperlihatkan pemahaman dan sikap taktis. Temperamen blasteran mempermainkan serikat itu sehingga cepat mati akibat kelebihan vitalitas. Setelah diumumkan dengan hebohnya, 5 tahun lamanya orang tidak mendengar apa-apa lagi, sampai belum lama lalu muncul kembali, dalam bentuk Indische Partij yang dimurnikan dan dibersihkan. Azas-azas dari Bond van Jong Indo’s dan dari Indische Partij berbeda; yang pertama tidak mengijinkan keanggotaan orang pribumi, yang disebut terakhir, mengijinkannya. Namun apa saja bukti akhirnya? Tidak lain dari penyesuaian diri yang terakhir ini terhadap situasi. atau lebih tepat dikatakan, mereka belajar dari praktek Indo-Bond.

Azas penggabungan para Indo dilepaskan, dengan tepat, maka terwujudlah gagasan agung: tak ada pembedaan dalam hal kebangsaan, tiada pembedaan antara kulit putih, cokelat dan kuning.
Apa pun yang dapat orang bebankan kepada lndische Partij, di atas segala tuduhan, tak terbantahkan oleh keluhuran hakekatnya, adalah prinsipnya yang patut diterirna demi peri kemanusiaan: yaitu kesatuan di Hindia.

Dalam rapat-rapat B.Oe. dan organisasi-organisasi kecil lainnya, gagasan tentang kebersamaan itu disebarkan di tengah rakyat Hindia, hal mana juga didorong pers pribumi. Yang ini (pers pribumi di Jawa) harus kita bagi dua: yang pentama dipimpin orang Jawa dan berorientasi Jawa; sedangkan yang kedua di bawah pimpinan orang Minahasa atau Ambon (seperti Khabar Perniagaan dan Warna Warta) dan digerakkan dengan modal Cina.

Dengan sendirinya, jenis koran terakhir ini tidak terlalu rajin ikutserta dalam membangun suku Jawa namun menyerahkan hal ini kepada yang pertama.

Suku Jawa dibangunkan; mereka didorong menjadi lebih ekonomis; penganiayaan orang pribumi oleh orang Eropa (yang sering terjadi oleh opzichter Eropa di perkebunan atau dalam karya-karya pemerintah) dikecam keras. Orang tidak segan-segan bersusah-.payah dan menempuh segala upaya. untuk membangun perasaan dalam diri orang pribumi bahwa ia lebih dari sekedar ‘kuda beban”. Yang turut-serta memajukan penyadaran diri ini adalah fakta bahwa sejumlah dokter pribumi di Eropa meraih gelar kedokteran Belanda, dan sehubungan dengan ini dapat dibaca dalam koran-koran pribumi, artikel-artikel dengan tendensi: lihatlah, kita juga bisa, bukan’. Siapa mis. tidak mengenal narna MAS ASMAOEN? Sangatlah menarik contoh berikut ini; Seorang wartawan lndo duduk dalam sebuah bendi ketika sang kusir mengejutkannya dengan kata-kata: “Toean, apakah Mas Asmaoen sudah doktor?” sang Indo tidak tahu siapa yang dimaksud.

Sebelumnya, seorang muda pribumi tidak berani bergerak di kalangan rekan-rekan Eropanya, takut akan perlakuan yang tidak begitu baik. Betapa beberapa tahun lalu kata Inlander diucapkan dengan penghinaan tak terbatas.. Dari masa itu masih tersisa ungkapan: “Sungguh inlands”.untuk segala hal yang buruk. Berbohong itu inlands, mencuri itu inlands, semua sifat jahat itu inlands, semua sifat baik itu Eropa, sekurang-kurangnya di Hindia. Betapa asing pun bunyinya untuk telinga Eropa, hal ini memang benar. Dan atas azas inilah, dipandang-entengnya orang pribumi secara a priori itu, didasarkan ketentuan yang pada lembaga-lembaga Pemerintah disebut “cabang-cabang dinas”, - kaum pribumi mempunyai suatu traktemen yang kira-kira setengah dari yang dipunyai rekan Eropa sepekerjaannya dengan syarat-syarat yang sama. Yang saya maksudkan disini terutama Perkereta-apian Negara, namun ada lebih banyak lagi, yang menjalankan sistem memalukan tentang ‘rate of wages’ yang ganda itu. Dapat dimengerti bahwa hal seperti itu mengakibatkan komplikasi yang paling gila; jika ump. seorang pribumi mendapat bawahan orang eropa yang lebih muda yang traktemennya dua kali sebanyak traktemen dirinya. Atas dasar apa dapat dibenarkan bahwa seorang dokter pribumi dalam dinas Gubernemen untuk perjalanannya mendapat ganti-rugi f. 2,- sehari. sedangkan seorang klerk atau kondektur, kalau orang Eropa atau disamakan dengan orang Eropa, f.5,-?!.
Betapa rendahnya pendapatan para guru pribumi dibandingkan dengan klerk Eropa dsb., yang pada umumnya lebih rendah tingkat perkembangan moril dan intelektualnya. Keadaan semacam ini pasti tidak memupuk rasa puas di kalangan masyarakat pribumi yang intelektual pada umumnya. Orang jangan terkecoh oleh pikiran bahwa orang pribumi menyerah dalam hal ini dengan ketakwaan yang menjadi sifatnya, dan jangan lupa, bahwa orang pribumi intelektual ini dengan senangnya didengar oleh rakyat, oleh massa, yang merekam kata-kata mereka bagaikan ramalan-ramalan. Orang mesti mengamati kehidupan di desa dan kampung untuk dapat menyadari daya cakup para guru pribumi dan kaum terdidik Iainnya yang terpancar dari mereka terhadap rakyat. Ketika tinggal selama beberapa minggu di salah satu stasiun kecil di Perkereta-apian Priangan, saya melihat setiap malam bahwa ada heberapa orang pria dari desa mendatangi kepala stasiun untuk bercakap-cakap. Namun percakapannya terutama terdiri dari berbicaranya sang kepala stasiun tanpa hentinya dan yang lain hanya berkata “semoehoen” belaka. Dan pria ini masih berdiri di luar hubungan desa; ia bukan guru dan bukan kepala atau ‘adjie’. Betapa mudahnya ketidak-puasan ini beralih kepada rakyat. Dan kejadian-kejadian yang baru saja, membuktikan bahwa hal itu terjadi.

Orang dapat merasakan pada umumnya di dunia pribumi bahwa pertandingan dimulai dengan suatu rintangan disebabkan posisi kurang menguntungkan terhadap orang kulit putih. Kesadaran ini meresapi segala lapisan masyarakat dan mempersiapkan rakyat untuk kerjasama nasional Jawa.

Pada saat yang tepat diperdengarkanlah jeritan di Solo, panggilan untuk berhimpun dibawah bendera Serikat Dagang Islam. Penyebab langsung dilahirkannya serikat itu sudah diketahi: orang mau menjalin suatu ikatan melawan perdagangan kecil Cina. Kata Islam menarik dunia Islam, pada saat yang tepat ketika tersebar kerusuhan dan ketidak-puasan.

Namun kini terjadi suatu keanehan, suatu pertanyaan yang harus dijawab. Kebetulankah bahwa awal politik pengkristenan berlangsung pada saat yang sama dengan bersatunya unsur Islam, ataukah yang terakhir ini suatu akibat dari yang pertama? Dalam pendirian dan dalam propaganda tidak mungkin dapat kita temukan apa yang merujuk kepada agitasi melawan politik dari rejim sebelumnya, namun arus kuat para anggota untuk perserikatan ini pastilah juga suatu reaksi islam terhadap gencarnya kristianisasi, yang mengancam juga daerah-daerah Islam, namun yang kini ditiadakan, demikian harapan kita. Bagaimana pengkristenan semacam itu mencapai justru hal sebaliknya dari yang dituju, terbukti dari kata-kata seorang Jawa yang berdiam di Nederland berikut ini: “Kami berterimakasih kepada IDENBURG atas pemerintahan kristennya, karena dia telah membangunkan kami dan membuat kami merasa bahwa kami, orang Islam, bersatu.” Suatu permainan kata yang sama sekali tidak kosong, di Hindia dikenakan pada S.I. Nama ‘S.I.’ mestinya diartikan: “Salahnya Idenburg”.

Di salah satu tempat di Jawa, dengan lingkungan islam, didirikan sekolah kristen yang oleh Pemerintah disubsidi, d.k.l. ditunjang dengan pembayaran pajak juga oleh kaum islam. Ketika di tempat yang sama dimintakan subsidi untuk sekolah Islam, permohonan itu ditolak. Mestikah orang Jawa dengan ini tidak merasa, bahwa agamanya dianak-tirikan? Tiada yang lebih berbahaya daripada menimang diri sendiri hingga tertidur dengan kata-kata Dr. FOKKER, Indolog Amsterdam: “Dimana-mana Islam menderita bangkroet” jadi di Hindia juga demikian. Tidak, Islam di Hindia tidak akan menderita bangkrut, Islam yang tanpa kekerasan tapi dengan perkembangan berangsur-angsur menapaki jalannya menuju lebih dari 30.000.000 penganutnya. (prof. SNOUCK HURORONJE, Nederland en de Islam). Dan hasil apa telah diberi karya zending sejak satu abad? Dalam 1814 oleh zendeling BRUECKNER dari Nederlandse Zendingsgenootschap disebarkan Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa rendah dan bahasa Melayu sebanyak beberapa ribu, suatu bukti bahwa ketika itu Zending sudah bekerja keras. Dan hasilnya, bahwa jumlah orang pribumi kristen dalam tahun 1902 terdiri dari 19000 orang, termasuk tentara Ambon dan Manado (v. DEVENTER, Overzicht van den economischen toestand van de Inl. bevolking op Java en Madoera). yaitu satu banding 500 orang Islam. Bukankah ini bukti suatu kekalahan dari zending? Dan bila kita mengikuti tanda-tanda jaman, maka urusan zending bahkan di Minahasa, bentengnya zending, tidak seberapa baik posisinya.
Orang Jawa itu, hakekatnya Budhis, animis? Mungkin saja, namun hal itu tidak mereka ketahui. Mereka yakin, bahwa mereka Muslim sejati. Mereka samasekali tidak menyadari bahwa seluruh kehidupan rohaninya lebih condong ke kerohanian Budhis daripada ke kerohanian Islam. Hal ini terbukti dari prakteknya: ziarah ke Mekah yang setiap tahun terlaksana oleh jutaan orang, sesungguhnya tidak akan terjadi kalau bukan sentimen keagamaan membuat mereka demikian. Dan, kemana pun suatu pengelompokan terjadi dengan warna Islam, kesanalah mereka bergerak.

Itu sebabnya saya berkata, bahwa memperlakukan kekristenan lebih baik dari Islam merupakan suatu langkah kelewat berani pada papan percaturan politik. Dengan cara demikian. orang Islam akhirnya ditantang. yang akibatnya tidak menguntungkan.

Jumlah anggota di Solo dalam waktu singkat menanjak sedemikian rupa, sehingga Pemerintah demi kelancarannya rnenganggap penting untuk membubarkan serikat itu. Namun, dengan demikian jiwa rakyat tidak musnah dan di Surabaya muncul di bawah nama yang diubah; kata “dagang” dihilangkan dan serikat baru itu bernama Serikat Islam. Sekali menerima dorongan, gerakan itu berkembang, dan seperti dikatakan suatu koran Hindia: “Bagaikan monster berkepala banyak muncullah S.I. dimana-mana.”

Memang, bagaikan jamur muncullah cabang-cabang, kendati usaha-usaha Pemerintah untuk membinasakan akar-akarnya. Di Parungkuda, sebuah halte pada jalur kereta-api di Priangan, kereta-api kereta-api tak mampu memuat orang-orang yang mau ke Bogor untuk mendaftarkan diri di tempat yang ada cabang S.I.-nya. Bulan Juli y.l. jumlah anggotanya sudah melampaui 500.000 tersebar di seluruh Jawa, dan masih terus bertambah. Gerakan itu juga telah benpindah ke Sumatra; bagaimana pun di Palembang sudah berdiri sebuah cabang S.I. Apakah akan berkembang terus menyusuri pantai Timur Sumatra sampai ke Aceh yang penuh pergolakan, akan ditentukan masa depan. Hal ini bukan tidak mungkin: di antara pengontrak-pengontrak Deli mudah sekali terdapat seorang penganut S.I. yang mau membuat propagnda untuk serikatnya.

Atas pertanyaan, apa hubungan antara Boedi Oetomo dan Serikat Islam, harus saya jawab kembali: hubungan sebab-akibat. Namun bukan hanya dalam sebab-sebabnya, namun juga dalam akibat-akibatnya, dalam arah kerjanya ditemukan titik-titik persamaan antara kedua serikat ini; keduanya berjuang ke arah perbaikan sosial bagi orang pribumi pada umumnya, namun kalau B.Oe. mencakup sebagai anggotanya kelas-kelas terdidik (priayi, guru, pedagang), S.I. meliputi keseluruhan masyarakat pribumi. Jadi kita dapat memandang B.Oe. sebagai perintis. pembuka jalan bagi SI. dan sangatlah mungkin, saya hampir mau katakan: pastilah bahwa kedua serikat itu dalam waktu dekat akan saling lebur menjadi satu Bond Jawa-nasional (atau Hindia-nasional). B.Oe. otaknya, SI. daya rakyatnya, merupakan kombinasi yang sempurna. Bahwa hal ini juga disadari pemimpin-pemimpin gerakan Jawa, telah dibuktikan TJIPTO MANGOENKOESOEMO, yang dalam salah satu artikel-artikelnya memperjuangkan a.l.: (saya mengutip di luar kepala): :“Daripada memperlakukan organisasi rakyat yang muda itu (SI.) penuh kecurigaan, patutlah kita mencermati perkembangannya agar pada waktunya dapat membanting stir, apabila terancam penyelewengan.”

Lapisan-lapisan terdidik rupanya telah mendengarkan kata-kata ini, dan tidak hanya telah mengikuti S.I. dalam perkembangannya, tetapi ikutserta secara aktif, dan memasukinya sebagai anggota serikat. Bahkan bangsawan tertinggi pun memasuki serikat itu, dan kami temukan dalam S.I. suatu pertemuan yang menguntungkan dari bangsawan dan rakyat, sungguh suatu unicum dalam masyarakat Jawa dengan tradisinya yang bertahan berabad-abad lamanya hingga terbentuk hukum-hukum yang tak tergoyahkan. Putera mahkota Solo adalah pelindung serikat dan rupanya telah mendorong kaum bangsawan untuk mengenakan S.I. Apakah kerjasama kaum bangsawan pribumi dengan S.I. merupakan langkah tergesa-gesa, dan orang menyadari telah membuat tindakan berani dan telah menghancurkan diri sendiri apabila ternyata serikat ini memang akan sukses? Rupa-rupanya demikian. dan hanya dilihat dari sisi ini, dapat diterangkan bahwa Soesoehoenan dari Solo mengeluarkan suatu larangan bagi bawahannya untuk menjadi anggota S.I., padahal sebelumnya senikat sudah mengharapkan perkenanan tahta Solo.

Bagaimana pun juga, hal ini hanya membuktikan pendirian saya, bahwa setiap aliran baru dalam masyarakat Jawa akan menemukan perlawanan dari kaum bangsawan negeri itu, terutama sejauh gerakan ini memiliki karakter demagogis. yang rnenyebabkan hak-hak yang dinikmati kaum bangsawan berabad-abad lamanya harus dibinasakan. Kaum bangsawan akan senantiasa menjadi partai reaksioner apabila suatu waktu perang politik dan kelas pecah di Hindia, sekalipun ada juga partai-partai yang berhaluan lain; suatu pantulan sejati dari perjuangan di Eropa.

Sudah berkali-kali diajukan pertanyaan apakah S.I. suatu organisasi agama, dan oleh kebanyakan ini diingkari. Dalam salah satu pembicaraan malam harinya, Mr. DOUWES DEKKER yang sebenarnya tahu tentang keadaan Hindia, menyinggung masalah ini dalam arti tsb. Namun seperti kebanyakan orang, ia telah menempatkan dirinya sepihak, dengan menguji serikat ini dengan suatu esai umum tanpa memperhatikan keadaannya, Kita hanya perlu meninjau situasinya selayang pandang untuk meyakini hal yang sebaliknya.

Rakyat Hindia-Belanda dapat kita bagi seperlunya ke dalam dua kelompok : Kaum muslimin sejumlah kira-kira 30.000.000 dan yang bukan Muslim (orang Kristen, orang kafir, orang Budhis, dsb.) kira-kira 7.000.000. S.I. bermaksud membawa kelompok pertama ke dalam satu badan; namun ungkapan kebersamaan semacam ini di kalangan rakyat islam, mau tak mau menumbuhkan perlawanan di kelompok-kelompok lain.

Editor: BAGIAN KEDUA telah di-upload dan dapat dibaca diwebsite ini
=============================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"