Minggu, 22 September 2013

TARI KAWASARAN


Sejarah Tarian Kabasaran Minahasa

Kabasaran adalah tarian perang dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara.
Tarian ini merupakan tarian keprajuritan tradisional Minahasa, yang diangkat dari kata; Wasal, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar supaya sang ayam menjadi lebih garang dalam bertarung.

Tarian ini diiringi oleh suara tambur dan / atau gong kecil. Alat musik pukul seperti Gong, Tambur atau Kolintang disebut “Pa ‘ Wasalen” dan para penarinya disebut Kawas...alan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung, hampir mirip dengan tarian Cakalele dari Maluku.

Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa. Perkembangan bahasa melayu Manado kemudian mengubah huruf “W” menjadi “B” sehingga kata itu berubah menjadi Kabasaran, yang sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa dengan kata “besar” dalam bahasa Indonesia, namun akhirnya menjadi tarian penjemput bagi para Pembesar-pembesar.

Pada zaman dahulu para penari Kabasaran, hanya menjadi penari pada upacara-upacara adat. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya mereka adalah petani dan rakyat biasa. Apabila Minahasa berada dalam keadaan perang, maka para penari Kabasaran menjadi Waraney.

Bentuk dasar dari tarian ini adalah sembilan jurus pedang (santi) atau sembilan jurus tombak (wengkouw) dengan langkah kuda-kuda 4/4 yang terdiri dari dua langkah ke kiri, dan dua langkah ke kanan. Tiap penari kabasaran memiliki satu senjata tajam yang merupakan warisan dari leluhurnya yang terdahulu, karena penari kabasaran adalah penari yang turun temurun. Tarian ini umumnya terdiri dari tiga babak (sebenarnya ada lebih dari tiga, hanya saja, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan). Babak – babak tersebut terdiri dari :
1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.

2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.

3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.

Busana yang digunakan dalam tarian ini terbuat dari kain tenun Minahasa asli dan kain “Patola”, yaitu kain tenun merah dari Tombulu dan tidak terdapat di wilayah lainnya di Minahasa, seperti tertulis dalam buku Alfoersche Legenden yang di tulis oleh PN. Wilken tahun 1830, dimana kabasaran Minahasa telah memakai pakaian dasar celana dan kemeja merah, kemudian dililit ikatan kain tenun. Dalam hal ini tiap sub-etnis Minahasa punya cara khusus untuk mengikatkan kain tenun. Khusus Kabasaran dari Remboken dan Pareipei, mereka lebih menyukai busana perang dan bukannya busana upacara adat, yakni dengan memakai lumut-lumut pohon sebagai penyamaran berperang.

Sangat disayangkan bahwa sejak tahun 1950-an, kain tenun asli mulai menghilang sehingga kabasaran Minahasa akhirnya memakai kain tenun Kalimantan dan kain Timor karena bentuk, warna dan motifnya mirip kain tenun Minahasa seperti : Kokerah, Tinonton, Pasolongan dan Bentenan. Topi Kabasaran asli terbuat dari kain ikat kepala yag diberi hiasan bulu ayam jantan, bulu burung Taong dan burung Cendrawasih. Ada juga hiasan tangkai bunga kano-kano atau tiwoho. Hiasan ornamen lainnya yang digunakan adalah “lei-lei” atau kalung-kalung leher, “wongkur” penutup betis kaki, “rerenge’en” atau giring-giring lonceng (bel yang terbuat dari kuningan).

Pada zaman penjajahan Belanda tempo dulu , ada peraturan daerah mengenai Kabasaran yang termuat dalam Staatsblad Nomor 104 B, tahun 1859 yang menetapkan bahwa:

1. Upacara kematian para pemimpin negeri (Hukum Basar, Hukum Kadua, Hukum Tua) dan tokoh masyarakat, mendapat pengawalan Kabasaran. Juga pada perkawinan keluarga pemimpin negeri.

2. Pesta adat, upacara adat penjemputan tamu agung pejabat tinggi Belanda Residen, kontrolir oleh Kabasaran.

3. Kabasaran bertugas sebagai “Opas” (Polisi desa).

4. Seorang Kabasaran berdinas menjaga pos jaga untuk keamanan wilayah setahun 24 hari. Kabasaran yang telah ditetapkan sebagai polisi desa dalam Staatsblad tersebut di atas, akhirnya dengan terpaksa oleh pihak belanda harus ditiadakan pada tahun 1901 karena saat itu ada 28 orang tawanan yang melarikan diri dari penjara Manado.

Untuk menangkap kembali seluruh tawanan yang melarikan diri tersebut, pihak Belanda memerintahkan polisi desa, dalam hal ini Kabasaran, untuk menangkap para tawanan tersebut. Namun malang nasibnya para tawanan tersebut, karena mereka tidak ditangkap hidup-hidup melainkan semuanya tewas dicincang oleh Kabasaran. Para Kabasaran pada saat itu berada dalam organisasi desa dipimpin Hukum Tua. Tiap negeri atau kampung memiliki sepuluh orang Kabasaran salah satunya adalah pemimpin dari regu tersebut yang disebut “Pa’impulu’an ne Kabasaran”. Dengan status sebagai pegawai desa, mereka mendapat tunjangan berupa beras, gula putih, dan kain.

Sungguh mengerikan para Kabasaran pada waktu itu, karena meski hanya digaji dengan beras, gula putih, dan kain, mereka sanggup membantai 28 orang yang seluruhnya tewas dengan luka-luka yang mengerikan. (Wikipedia).

Jumat, 13 September 2013

BUKU KAWASAN SANGIHE-TALAUD-SITARO.

( Tulisan ini merupakan bagian dari Buku Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro, Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan, hasil kolaborasi Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile. Sebuah buku yang sangat layak dimiliki oleh orang Nusa Utara. Buku yang sangat komprehensif menguraikan permasalahan yang dihadapi kawasan Nusa Utara. Telah beredar cukup lama di beberapa toko buku.)

Pembentukan PNI Cabang Siau menariknya bermula dari lahirnya sebuah karya sastra seorang tokoh Siau bernama Gustaf Erens Dauhan tahun 1925. Karya itu adalah sebuah roman berjudul ‘Rahasia Utara’. Roman ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Anna yang jadi korban kawin paksa. Secara kebetulan satu eksemplar roman itu jatuh ke tangan pemimpin Stambul Dardanella di Bandung
Dardanella yang merupakan kelompok tonil (teater) paling menonjol Indonesia di masa Belanda tertarik dengan roman itu dan berminat mementaskannya. Pemimpin Darnella pun melayangkan surat permintaan izin pengarangnya agar membolehkan kisah itu ditampilkan sebagai lakon tonil Dardanella.
Terkait dengan pementasan karyanya itu G.E. Dauhan ke Bandung tahun 1927. Saat itu usianya baru 27 tahun. Di kota kembang inilah Dauhan bertemu, berkenalan dan akhirnya berkawan ketal dengan Ir. Soekarno yang juga peminat seni drama. Tonil dilihat Soekarno sebagai sarana menyampaikan gagasan-gagasan penyadaran pembebasan bangsa. Bahkan tokoh bapak bangsa ini adalah penulis drama dimasa pembuangannya di Bengkulu.
Ir. Soekarno merupakan salah satu pemuda di pentas kesadaran pergerakan kebangsaan kala itu. Dia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun saat dia berkenalan dengan Dauhan (1927). Organisasi itu kemudian dirubah jadi lebih tegas sebagai organisasi polotik kebangsaan pada tahun 1928 dengan mengganti namanya menjadi Partai Nasional Indonesia.
Perkenalan dua peminat seni yang prihatin dengan kondisi rakyat Indonesia kala itu berlanjut jadi niat kuat kerjasama menjalankan roda pergerakan kebangsaan Indonesia. Dauhan sepakat berjuang bersama Soekarno dalam rangka menuju kebangsaan Indonesia.
Singkat cerita Dauhan pulang ke Siau tahun 1928 mengantongi sebuah surat mandat pendirian cabang PNI di pulaunya,. tepatnya di kota kecil yang merupakan pintu perdagangan pala, Ulu Siau. Pala pada waktu itu sangat menggiurkan sampai-sampai pulau Siau pernah dijuliki sebagai pulau Ringgit. Komoditas ini membuat penduduk Siau berada pada capaian tingkat perekonomian yang sangat baik kala itu.
G.E.Dauhan secara kebetulan lahir dari keluarga yang berpengaruh di Siau. Dia masih dalam silsilah keturunan raja-raja Siau. Terutama keturunan dari tokoh-tokoh yang menjadi anggota Majelis Kerajaan Siau. Tak heran, dukungan pendirian PNI sangat kukuh. Banyak pemuda memberikan respons hangat.
Memang di Siau ada kerinduan untuk merdeka dari penjajahan Belanda. Terbukti saat Cabang PNI itu resmi dibuka, H.B. Elias mencatat, hanya dalam waktu seminggu jumlah anggotanya 50 orang dan terus bertambah.
Perkembangan itu jelas fantastis. Maklum bergabung dengan PNI berarti berdiri melawan pemerintahan Hindia Belanda. Semua yang menjadi anggota PNI harus siap berhadapan dengan aparatur polisi reserse Belanda.
Terutama juga akan berhadapan dengan para penguasa adat Siau yang memang masih dikendalikan pemerintahan Hindia Belanda untuk melindungi kepentingan negara kolonial. Ini justru yang dirasakan lebih menyulitkan bagi G.E. Dauhan. Keaktifannya di PNI membuat dia tersingkir dari lingkungan elit Siau, bahkan sebagian keluarga memusuhinya.
Raja Siau L.N.Kansil bersikap netral terhadap pendirian Cabang PNI di wilayah kerajaannya. Menurut Elias, sebenarnya raja mau ‘bermain mata’ dengan para penggiat pergerakan kebangsaan itu. Namun, momentum kurang menguntungkan baginya. Karena, ketika itu raja sedang didera kesulitan diusut pihak Belanda dengan tuduhan pemborosan dana kas kerajaan.
Untunglah Dauhan mendapat dukungan dari kelompok kelas menengah yang sudah tercerahkan. Diantaranya seorang guru gubernemen (sekolah pemerintah Hindia Belanda), Anthoni Nicolaas Bawengan yang sangat progresif mengimpikan munculnya ranting PNI di Ondong yang dalam waktu singkat mampu mencatatkan jumlah anggota 40 orang. Sebagian besarnya adalah wanita.
Namun pada 20 Desember 1929 countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna memerintahkan dilakukan razia kantor PNI di Ulu Siau. Razia itu jelas mendahului perintah razia nasional semua struktur organisasi PNI di seluruh pelosok Hindia Belanda pada tanggal 29 Desember 1929.
Rapat di kantor PNI Ulu Siau yang dipimpin G.E.Dauhan malam 20 Desember 1929 itu digeledah pihak marsose Belanda dengan senjata lengkap. Kebetulan kantor PNI itu tepat berada di samping kantor marsose itu. Meski para aktivis PNI sempat meloloskan diri dengan lari dari pintu belakang, namun keesokan harinya Dauhan dan Bawengan diperiksa aparatur polisi Belanda.
Terhitung sejak peristiwa 20 Desember 1929 itu juga satu regu marsose dan veltpolitie selalu siaga di Ulu Siau. Countroleur pemerintah Hindia Belanda di Tahuna juga menempatkan aspirant controleur untuk mengamati langsung dan mencermati segenap perkembangan sosial politik di pulau Siau.
Kontrol keamanan dan pemerintahan di Siau memang harus diperketat, karena gerakan PNI Dauhan terkait dengan tokoh nasionalis Ir. Soekarno. Juga Belanda mewaspadai dampak dari penyingkiran Raja Siau L.N. Kansil ke Parigi (Sulawesi Tengah) atas tuduhan pemborosan kas kerajaan.
Dua kejadian itu membuat aparat polisi Belanda siaga. Mereka was-was jangan-jangan peristiwa di tubuh kerajaan Siau dimanfaatkan jadi momentum menggerakan pemberontakan di pulau Siau oleh anak-anak muda PNI. Hal serupa pernah terjadi di Jawa dan Sumatera.
Setelah penyingkiran raja L.N. Kansil, Belanda sementara menempatkan Raja Tagulandang sebagai wali Raja Siau. Namun, pada tahun 1930 jogugu Ulu, Aling Janis segera ditetapkan majelis Kerajaan Siau menjadi Raja Siau dengan persetujuan Belanda.
Agak sama dengan nasib Raja L.N. Kansil yang dibawa keluar Siau, Dauhan pun diperiksa polisi Belanda dan ditahan tiga minggu di luar pulau Siau yaitu di penjara di Manado. Menurut H.B.Elias, Dauhan untung dibebaskan karena latar belakangnya sebagai keturunan Raja Siau Lohintundali. Sedang, Bawengan diancam dan ditekan terkait posisinya sebagai guru sekolah gubernemen di Ondong Siau. Sementara itu para anggota PNI cabang Siau yang lain segera terpencar saat PNI dinyatakan terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Meskipun, mereka tetap aktif dalam berbagai organisasi pergerakan lain.
Apa yang terjadi pada Dauhan sebagai pimpinan PNI Cabang, menimpa lebih berat pada tokoh Soekarno di Bandung. Sebagai figur pucuk pimpinan PNI, Soekarno kena razia nasional pemerintah Hindia belanda tanggal 29 Desember 1929. Kala razia itu terjadi, Dauhan sudah ditahan 9 hari di penjara.
Razia nasional atas PNI karena partai ini dituduh sebagai organisasi pengacau, penghasut dan penyebar kebencian dan kabar bohong. Empat tokoh jajaran pimpinan pusat PNI ditahan polisi Belanda. Di samping Soekarno, juga masuk sel tahanan Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata.
Dalam catatan sejarah Indonesia pada Agustus 1930 keempat tokoh PNI itu diadili di Bandung. Proses persidangannya justru malah sangat dimanfaatkan Soekarno untuk membela diri, sekaligus menjadi forum resmi membeberkan kesadaran kebangsaan Indonesia sekaligus mempertontonkan kemampuanya sebagai pemimpin dan intelektual kawakan Indonesia.
indonesia menggugat Soekarno menyampaikan pembelaannya yang sangat terkenal yang kemudian dibukukan dengan judul ‘Indonesia Menggugat’. Tidak ada kegentaran sedikitpun padanya. Harus diakui kemudian berbagai gagasannya dalam pledoi persidangan dan juga memberangus PNI sebagai alat perjuangan Indonesia.
Bersama tiga terdakwa lain, Soekarno dituntut dengan pasal-pasal menyebarkan rasa benci, kebohongan, serta menghasut yang mengganggu ketertiban umum atau apa yang disebut haatzaai artikelen.
Pasal itu memang dimasukkan dalam kitab hukum pidana Belanda. Di negeri Belanda, pasal itu secara khusus memang dipersiapkan untuk meredam para penggerak perjuangan kebangsaan Indonesia. Dengan mengacu pada kajian-kajian hukum paling aktual kala itu, tuduhan pidana itu dicap Soekarno subjektif dan bersifat sangat karet, ‘aller ergelijkst elastieke bepaling’ (aturan ketat yang kelewatan kekaretannya).
Pasal pidana yang akan mengekang warga negara ini bahkan ditentang para ahli hukum Belanda di negeri Belanda. Pasal itu tak pelak membuat hukum menjadi kekuasaan negara yang tidak terkontrol. Begitu ungkap salah seorang ahli hukum Belanda yang diacu Soekarno.
Semua pendapat para ahli hukum penentang pasal itu seperti Mendels yang anggota Tweede-Kamer Staten-Generaal dan Prof. Simons, dan Mr. Dr. Schumann diuraikan sangat mempesona oleh Soekarno, yaitu dengan menaruh langsung kutipan bahasa Belanda dan Indonesia dalam acara sidangnya.
Sebagaimana kecurigaan Soekarno, Hakim akhirnya menetapkan putusan yang berpihak pada kebijakan politik kolonial. Tak salah kutipan Soekarno pada pembelaannya. Soekarno mengutip kalimat kritik atas pekara haatzaai artikelen dari Prof. Molenggraaf, ‘aan de zijde waar onze sympathie is door ons allicht het recht wordt gevonden’ (pihak yang kita senangi itulah yang dipandang benar).
Akhirnya keempat tokoh PNI itu dikenakan hukuman penjara. PNI juga dinyatakan terlarang dan otomatis bubar. Senasib dengan itu, pulau Siau, setelah PNI dinyatakan terlarang, G.E. Dauhan memutuskan pindah sekeluarga dari Siau ke Manado. Di kota ini dia menerbitkan harian perjuangan Menara. Suara nasionalis tetap jadi ciri surat kabarnya.
Di samping G.E.Dauhan, salah seorang aktivis PNI A.T.Gandaria yang pasca razia di Siau lari ke Surabaya juga menerbitkan ‘Harian Catur’ yang juga berhaluan nasionalis. Pada tahun 1935 Gandaria kembali ke Siau dan bersama-sama dengan kawan-kawan ex PNI tahun 1936 mendirikan Partai Rakyat Sangihe Talaud (PERKASAT) yang didukung para kepala kampung dan pamong desa seluruh Siau. Yang menarik meski memilih nama dan partainya berciri lokal namun cita-cita politik dan ciri ideologinya sama dengan PNI yaitu ‘Mencapai Indonesia Merdeka Sekarang’.
Namun demikian, pelarangan PNI di Siau tidak membuat surut semangat para aktivis muda PNI. Mereka mendirikan Perhimpunan Kaoem Moeda Masehi Siaoe ‘Tri Darma’ dengan simbol organisasi segitiga sama sisi (seperti segitiga lambang PNI). Perhimpunan ini diketuai Johanis Wilhelmus dengan anggota antara lain Reyns Lalela, Petrus Salindeho dan Hendrik Pasandaran. Sekretarisnya adalah D.B. Makasangkil seorang guru muda lulusan sekolah guru di Makassar.
Sedang untuk kaum perempuan didirikan organisasi Perhimpoenan Wanita Masehi Siaoe ‘Drie Hoek’ (Tiga Sudut) dengan lambang organisasi mirip juga dengan PNI. Perhimpunan ini diketuai Frida Dauhan Hermanses, dengan anggota antara lain Fien Passandaran Lalisang, Ruth David, Elisabeth Dauhan, Ruth Salindeho dengan sekretarisnya Annie Kansil dan Eunike Dandel. Kedua perhimpunan ini jadi sasaran untuk dibubarkan saat Jepang masuk

KERAJAAN SIAU

Setengah Milenium (503 Tahun) Kerajaan Siau | Sejarah di Sulawesi Utara
Kedatuan (kerajaan) Siau, sebuah sistem pemerintahan komunal masa lampau yang berkedudukan di pulau Siau (02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT), pemimpin dari sistem ini digelari DATU – sebuah kosa kata bahasa Melayu Kuno. Didirikan oleh Lokongbanua (II) yang merupakan anak dari Pahawonsuluge dengan Hiabe Lombun Duata. Dia sekaligus didaulat menahkodai Kedatuan Siau pada tahun 1510.

Dalam berbagai catatan sejarah, kerajaan ini pernah memiliki bagian kerajaan yang meliputi bagian selatan Sangihe, pulau Tagulandang, pulau Kabaruan (Talaud), pulau-pulau teluk Manado (kerajaan Bawontehu), serta di wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (Minahasa Utara), dan wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara). Bahkan pernah melakukan ekspansi sampai ke wilayah Leok Buol dan Makassar demi mengejar armada laut kerajaan Makassar yang tengah menduduki Bolaang Mongondow.

Pada masa kepemimpinan Raja Lokongbanua II ini (1510-1549), agama Katolik diperkenalkan di pulau Siau pada tahun 1516 melalui sebuah rombongan ekspedisi bangsa Portugis yang dipimpin oleh Diego de Magelhaes. Rombongan ini menggelar ibadah misa Paskah di Kakuntungan, ibukota kerajaan waktu itu. Karena momen inilah Kakuntungan pada akhirnya lebih dikenal dengan nama barunya, Paseng.

Paseng bukan satu-satunya yang ditetapkan sebagai ibukota kerajaan Siau. Karena tercatat juga antara lain Pehe, Ondong, dan Ulu (Hulu Siau) pernah menjadi ibukota dari kerajaan ini. Perpindahan ini disebabkan karena beberapa alasan, tapi yang terutama adalah alasan kondisi alam yang tidak memungkinkan akibat aktifitas gunung api aktif Karangetang.

Raja kedua adalah Raja Posumah, yang memerintah sejak tahun mangkatnya Lokongbanua II; 1549 sampai 1587. Pada masa kepemimpinan raja inilah Katolik mendapat tempat bagi benih agama kerajaan. Raja Posumah dibaptis di sebuah sungai di Manado, lalu mendapat nama baptis Don Jeronimo atau yang juga dikenal dengan sapaan Hieronimus.

Kerajaan ini sempat mengalami kekosongan tampuk pemerintahan selama 4 tahun sejak mangkatnya Raja Posumah. Raja ketiga dipegang oleh Winsulangi atau yang dikenal dengan nama baptis Don Jeronimo Winsulangi pada tahun 1591 sampai 1639 dengan pusat pemerintahan di Pehe. Di masa kepemimpinan raja ini diadakan sebuah perjanjian kerjasama keamanan dan perlindungan dengan gubernur Spanyol untuk wilayah Asia di Manila, Philipina pada tahun 1594. Sejak itu kerajaan Siau dijaga oleh Spanyol. Dua benteng pertahanan yang dirintis bangsa Portugis, Santa Rosa dan Gurita, berisi tentara Spanyol dan sekaligus menjadi tempat bermukimnya para pendeta Spanyol, Portugis dan Italia.

Siau yang hakikinya diperkenalkan oleh beberapa pihak sebagai sebuah kerajaan tunggal dengan pusat pemerintahan di pulau Siau ini ternyata bukan satu-satunya kerajaan di sana. Bahkan ironisnya, pada sebuah referensi kuno Winsulangi tercatat bukan sebagai datu di Siau tapi sebagai datu di Pehe, hanya sebagai salah satu kerajaan di pulau Siau. Raja Siau justru dipegang oleh Mohonise pada waktu itu.

Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan, sebagaimana yang sering dikutip banyak pihak, menyebutkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya (ditebalkan hurufnya) yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen dikutip dari Peri hal Kampongwezen dan Kampongbestuur dehoeloe dan sekarang dalam keradjaan Taboekan, Sem Dalope Paparang, 1927:

“Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,
Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.
Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi
Soe Tamako i Kakalang,
Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,
Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,
Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,
Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,
Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,
Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,
Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe
Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng
Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba
Soe Koema i Kolowoba
Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele
Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe
Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio”.

Namun demikian, Winsulangi merupakan pemimpin yang progresif. Pernah kehilangan tampuk kekuasaannya pada tahun 1614 ketika pusat kedatuan di Siau diduduki Belanda dan Ternate saat dia tengah memadamkan pemberontakan di Tagulandang. Tragedi pendudukan Belanda dan Ternate pada tahun 1614 ini mengakibatkan sebanyak 499 orang Siau ditangkap dan dibawa paksa ke Banda untuk menjadi pekerja pada perkebunan pala. Akibat kejadian pendudukan tersebut Winsulangi harus menyinggkir ke Manila bersama Putra Mahkota Kedatuan Siau, Batahi. Pada masa pengungsian ini Batahi memperoleh gelar akademis sebagai sarjana pada perguruan tinggi Jesuit di dalam benteng Intramuros Manila. Winsulangi beserta Batahi kembali merebut kedatuan dari tangan Belanda-Ternate pada tahun 1924 dengan partisipasi aktif dari Spanyol.

Di masa ‘damai’ hubungan dengan Spanyol ini banyak dari kalangan kedatuan/kerajaan yang berada di kawasan Nusa Utara telah mengecap pendidikan tinggi dengan gelar sarjana. Perguruan yang sering menjadi tujuan belajar antara lain Sekolah Katolik di Maluku, pendidikan tinggi Jesuit di Manila, dan Universitas Santo Thomas.

Anak dari Winsulangi, Batahi, meneruskan tahta kedatuan ayahnya. Di masa pemerintahan Batahi inilah banyak fenomena yang terjadi berhubungan dengan berbagai aksi spektakuler dan kepahlawanan dari panglima perang Hengkengnaung. Di antaranya seperti kisah yang ditulis oleh H.B. Elias dalam buku Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973), dikatakannya:

“…Kira-kira pada tahun 1640 maka pengawal di Timeno memberitahukan kepada Laksamana bahwa ada konvoi bajak laut Mindanao lewat berlayar ke Selatan. Laksamana Hengkeng U Naung pun segera menyiapkan perahunya dan mengikuti bajak laut itu dari belakang. Kejar punya kejar ternayata bajak laut itu memasuki teluk Kora-kora (kini) mendarat di sana dan naik menuju Tondano. Hengkeng U Naung pun tiba di tempat itu (di panatai Kora-kora). Penjaga perahu Mindanao ditumpas dan Hengkeng U Naung mengikuti gerakan pasukan Mindanao itu dari belakang. Tiba di perbatasan jalan antara Tomohon dan Tondano ternayata Mindanao sudah perlibat dalam prtempuran melawan pasukan Tomohon-Tondano dalam satu perkelahian yang sengit.

Setelah menaruh kirai akan terrain itu, Hengkeng U Naung memerintahkan pasukannya turut membantu Tomohon Tondano dalam perlawanan mereka terhadap serangan bajak laut Mindanao. Kalau sebelumnya ada kans bagi Mindanao keluar sebagai pemenang dari kancah pertempuran, tetapi dengan turut campurnya pasukan Angkatan Laut dari Kerajaan Siau, maka sudah tertentu akhirnya peperangan. Semua bajak laut Mindanao itu habis tertumpas tidak seorang yang tinggal hidup. Dan di atas mayat-mayat yang bergelimpangan itu menari bahu membahu pasukan-pasukan pemenang bersoraksorak teriakan kemenangan. Oleh mereka itu sebagai kenang-kenangan yang hidup akan kemenangan yang telah tercapai bersama tempat yang menjadi medan pertempuran itu dinamainya ‘Kasuang’, artinya dalam bahasa Siau: mayat. Hengkeng U Naung spontan ditahan oleh kepala-kepala pasukan Minahasa (kepala balak-balak) untuk turut hadir dalam pesta kemenangan yang lantas diselenggarakan.

Dalam salah satu pidato yang diucapkan oleh wakil Minahasa dalam kesukaan yang tiada habis-habisnya itu ia berkata: bahwasanya sudah diputuskan dan diatur sebagai permohonan kepada pasukan dari Siau untuk menetap di Minahasa di mana saja suka mereka tinggal. Permohonan itu ditolak oleh Hengkeng U Naung, karena misinya belum selesai.

Sesudah mengadakan perembukan berhubung penolakan itu, maka hari esoknya kepala-kepala balak itu berkata: bahwa Minahasa sudah dibagi kepada 8 suku bangsa Minahasa, ada pulau yang tersisa di luar pembahagian maka biarlah pulau itu dihadiahkan kepada Hengkeng U Naung sebagai tanda persahabatan yang abadi antara Siau dan Minahasa. Hadiah itu diterima oleh Hengkeng U Naung dan nanti dilaporkan kepada Baginda Raja Batahi…”

Kasuang sampai sekarang masih merupakan salah satu nama tempat di perbatasan Tomohon-Tondano. Menurut beberapa informasi, tombak ‘perjanjian damai’ Hengkengnaung ini masih tertancap di tempat semula.(JOHN.F.SUOTH-KANSIL)

FILSAFAT MINAHASA

.."Filsafat Minahasa, Adakah? (sebuah pengantar untuk ’ber-filsafat’ Minahasa)


Secara umum yang kita kenal mengenai istilah ”filsafat” diartikan sebagai usaha mencari kebenaran sedalam-dalamnya. Berasal dari kata Yunani: ”philosophia”. Terdiri dari kata ”philo”, yang berarti ”cinta” dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan ”sophia” mempunyai arti ”hikmah”, ”kebijaksanaan”, dan ”kebenaran”. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).

Selama ini yang dikenal adalah filsafat Barat, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran filosofi yang dirumuskan mulai dari filsuf-filsuf alam Yunani klasik, kemudian Sokrates, Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf Barat modern. Akal, atau rasio menjadi pusat atau instrumen utama dalam pencarian dan perumusan kebenaran-kebenaran tersebut. Berikut, dikenal juga filsafat Timur, yang menunjuk pada pemikiran-pemikiran metafisis, religius dan etika China, India, dan Islam. Akal dan intuisi menjadi instrumen dalam usaha menggali dan merumuskan kebenaran dalam filsafat Timur.

”Filsafat” dalam pengertian filsafat Barat tersebut telah cukup mendominasi studi-studi tentang filsafat sejagad. Kriteria mengenai sesuatu disebut filsafat atau tidak, kerap mengacu dari rumusan atau definisi istilah tersebut. Dengan dijadikannya pemikiran-pemikiran filsafat Barat, mulai dari para filsuf klasik hingga filsuf-filsuf Barat modern sebagai standard untuk penggalian dan perumusan filsafat, maka yang terjadi adalah dominasi pengetahuan. Secara tradisional, kita, ketika belajar filsafat kompetensinya hanya sampai di mengetahui nama, dan sejarah para filsuf serta rumusan-rumusan pemikiran-pemikiran filsafatnya. Kita hanya belajar tentang ”filsafat”, bukan belajar ’tahu berfilsafat”. Dan dengannya, seolah-seolah, pengetahuan atau kegiatan berpikir kritis, dan radikal itu hanya milik peradaban Barat. Padahal, jauh sebelum peradaban Barat maju dan berkembang yang antara lain ditopang oleh pemikiran-pemikiran filosofi klasik Yunani, di Timur, misalnya China dan India telah berkembang peradaban yang maju, yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran kritis, radikal dan religius. Pemikiran-pemikiran para arifin China dan India disebut sebagai filsafat Timur, meski para orientalis sempat memperdebatkan dan meragukannya. Ini karena para orientalis mengacu dari standard filsafat Barat, yang akan menganggap sebuah konsepsi filsafat jika memenuhi syarat antara lain rasional, kritis, logis dan sistematis. Sementara, pemikiran-pemikiran kritis dan radikal peradaban Timur berkembang bersama aktivitas beragama dan tata hidupnya.

****

Barangkali yang universal dari apa yang disebut ”filsafat” yang dirumuskan di di Barat itu adalah tentang usaha pencarian kebenaran. Soal instrumen, motodologi apalagi isinya tidak terutama harus mengacu dari apa yang dirumuskan oleh filsafat Barat tersebut. Sebab keyakinan kita bahwa Minahasa adalah juga sebuah peradaban yang ditopang oleh pemikiran-pemikiran tentang kebenaran yang dirumuskan secara radikal dan kritis. Mitologi Lumimuut-Toar, sebagai sebuah mitos misalnya, tentu lahir dari usaha untuk menjelaskan asal-usul orang Minahasa yang di dalamnya juga mengungkap kebenaran-kebenaran hidup.
Kita tidak perlu membayangkan, bahwa yang disebut filsafat Minahasa adalah sesuatu yang sudah disebut sebagai filsafat atau sudah tersusun secara sistematis seperti rumusan-rumusan filsafat yang kita kenal selama ini di buku-buku tentang filsafat. Filsafat Minahasa terkandung dalam mitologi, simbol-simbol, nilai dalam tata cara hidup, juga pemikiran-pemikian agama tuanya.

Sebagai bukti, pemimpin Minahasa di zaman dulu disebut sebagai ”tonaas” yang artinya ”orang kuat” atau juga ”orang berilmu, berintelektual”, tou ngaasan. Intelektualitas dalam diri para ’tonaas” Minahasa itu menunjuk pada kemampuan dalam hal wawasan, pengetahuan tentang alam dan kerja, serta memiliki kecakapan menata hidup komunitas. Walian, sebagai pemimpin ritual atau yang berurusan dengan keagamaan, juga dipilih dari orang-orang yang memiliki pengetahuan metafisis karena dialah yang berperan sebagai mediator antara manusia dengan Opo Empung, makhluk adikodratinya orang Minahasa.
Dengan adanya para tonaas dan walian tersebut, Fredy Wowor, teman kita selalu berkata, bahwa peradaban Minahasa dulu dipimpin oleh para filsuf. Artinya, peradaban ini tidak semata-mata hanya dibangun dari naluri untuk berkembang saja, tapi dari proses penalaran rasio yang seimbang dengan refleksi dari intuisi untuk selalu berusaha menemukan jawaban-jawaban atas tantangan hidup. Hasil dari proses itu adalah sistem nilai pengetahuan. Sampai di satu masa, entah kapan itu, sistem Mapalus ditemukan. Dalam mapalus ini, dalam sistem kerja bersamanya yang memadukan kekuatan bersama untuk tujuan bersama, kita menemukan nilai pengetahuan, nilai kebenaran tentang hidup yang sesungguhnya. ”Kebenaran” mapalus ada dalam konsepsi mengenai keterpaduan kekuatan alam dengan kekuatan kolektif manusia. Maka, mapalus, misalnya selain megnenai sistem kerja, dia adalah juga sistem nilai filosofi Tou Minahasa. Itulah antara lain sistem filsafat Minahasa.

Di dalam sistem Mapalus ini kita menemukan kecerdasan pada tou ngaasan Minahasa menggali makna sedalam-dalamnya tentang hakekat hidup. Belakangan, kita mengenal pemikiran filosofi, yang konon dikembangkan oleh Om Sam Ratulangi, yaitu, ”Si Tou Timou Tumou Tou”, manusia hidup untuk menghidupan (sesama) manusia. Atau versi Girot Wuntu, disebut: ”Si Tou Timou, Tumo’u To’u, yang berarti, ”Orang hidup harus belajar sampai tahu”. Ventje Sumual bahkan menelorkan konsep filosofi, ”baku beking pande”. Lepas dari perbedaan arti tersebut, tapi prinsip-prinsip ini sebenarnya mengungkapkan usaha pencarian kebenaran oleh tou Minahasa yang bermakna kehidupan. Jika filsafat Barat seolah-seolah melampaui yang fisik atau metafisis, filsafat Minahasa justru sebaliknya, rumusan filosofinya kongkrit dan fungsional. Filsafat Minahasa bertumpuh pada kesadaran kolektif, hidup bersama dalam kesetaraan.

***

Kerja kita selanjutnya adalah menyusun metode, dan denganya berlanjut dengan perumusan-perumusan yang diawali dengan kerja penggalian dan selanjutnya adalah pengembangan serta dokumentasi. Di mana nilai-nilai filosofi Minahasa terkandung? Jelas, dia adalah mutiara-mutiara pengetahuan dan kehidupan yang tersemai dalam sistem nilai budaya Minahasa. Dan nilai-nilai itu selalu hidup, karena dia fungsional.
Akhirnya, catatan ini hanya pengantar atau mungkin lebih tepat sebagai rangsangan untuk kita merumuskan bagaimana dan apa ”ber-filsafat” Minahasa itu.

Tomohon,
9/8/2010

Denni Pinontoan.

Senin, 09 September 2013

PAESA IN DEKEN.

Paesa In Deken

Pemerang Manado 1880
© Het Geheugen van Nederland

Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.

Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: " Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: " Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.

Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.

Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.

Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:

"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."

Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.

Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.

Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.

Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga ( Pa'eren Telu):

Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .

Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.

Dr. Riedel menulis:

"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah ini, para Paendon Tua, di pilih oleh para Awu. "