Selasa, 27 Agustus 2013

TULISAN SAM RATULANGI PERTAMA BAGIAN 2

Dr Samrat: Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Kedua terakhir

11 april 2009 om 10:39
Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Kedua terakhir.


PROLOG
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh penerbit di Baarn, Holland.
KILAS BALIK yang menjadi dasar tulisan ini.
Setelah Sam Ratu Langie lulus Technische School di Batavia pada umur 18 tahun, ia mendapat pekerjaan pada Staats Spoorwegen (Jawatan Kereta Api) dan ditempatkan di daerah Kroya dalam rangka pembangunan rel kereta api. Ia mengalami diskriminasi ras karena ia adalah INLANDE dan bukan Hollander (ataupun Indo-Europeaan) dan diberikan penampungan di kampung-kampung. Hal ini, walaupun menyakiti hatinya, tidak dijadikan halangan, bahkan memberikan dorongan untuk mengobservasi perkembangan masyarakat disekitarnya. Antara lain ia dapat mengikuti dari dekat pertumbuhan sosial khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Serikat Dagang Islam yang kemudian beralih menjadi Serikat Islam.
Sebagai seseorang yang tidak dapat menerima ketidak-adilan dan yang selalu berpihak kepada yang lemah ia mengamati adanya kesalah-fahaman pemerintah kolonial terhadap gerakan hati-nurani dari masyarakat yang tertekan ini.

SERIKAT ISLAM
oleh
Gerungan S.S.J. RATULANGIE

BAARN
HOLLANDIA – DRUKKERIJ
1913

Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh
Dra. Konda Tilaar

Editor: Dr. M. Sugandi-Ratulangi (2009)



BAGIAN KEDUA (terakhir)


Ini sering kita lihat di Hindia; panggilan Jong-Java ke B.Oe. oleh orang lndo Eropa dijawab dengan pendirian Bond van Jong Indos yang sayangnya mati muda. Dari pihak rakyat Cina, kita lihat reaksi dalam serikat-serikat Cina. (saya tahu juga bahwa yang terakhir ini merupakan pantulan dari evolusi Cina sendiri), namun ini tidak meniadakan sebab-sebab di Hindia sendiri yang telah mendorongnya dan bahwa orang baru sesudah B.Oe. membuat propaganda yang kuat untuknya.

Juga suku-suku lain dan rakyat asli, tidak berdiam diri dan tergoncang oleh B.Oe, bersatu. orang Ambon, Minahasa, Melayu. Sepuluh tahun terakhir, di Hindia bergolaklah nafsu berserikat. Akhirnya kita menyaksikan bahwa pada waktu bersamaan bangkit Serikat Islam, lndische Partij (oleh inisiatif Hindia dan Indo) dan orang Minahasa yang berdiam di Batavia.

B.Oe. menetapkan sebagai syarat kepada anggotanya, kebangsaan Jawa; S.I. lebih jauh lagi menetapkan batas-batasnya lebih luas dan menuntut anggotanya harus Muslim. Dan sejauh S.I. berjuang untuk rakyat Muslim, sejauh itu ia segera berbenturan dengan yang bukan Muslim, yang kepentingannya kadang-kadang langsung bertolak-belakang dengan kepentingan yang disebut sebelumnya; maka situasi yang kita peroleh: Islam lawan bukan-Islam.

Lagipula, faktanya sudah mengandung antitesenya bahwa anggotanya hanyalah orang muslim belaka. “Orang tidak mengadakan propaganda,” katanya. “Karena itu S.I. bukan perserikatan agama”. Memang sulit diadakan propaganda untuk Islam di tanah Islam; lalu apakah propaganda suatu conditio sine qua non untuk serikat agama? Bukankah masih ada cara-cara lain untuk mengungkapkan ciri keagamaan?

Hal ini dapat kita lihat dengan jelas: dimana serikat itu beragitasi keluar, oleh situasi luar biasa dan suasana kini di kalangan kaum pribumi, aksinya terarah melawan orang non-Islam.
Bagaimana suasananya dapat kita simpulkan dan berbagai benturan antara orang Eropa dan Cina di satu pihak dan kaum S.I. di pihak lain. Lagipula, S.I. menganjurkan anggotanya untuk berpegang pada Kur’an.

Apabila S.I. berjuang secara sosial, mengapa tidak dikotbahkan boikot melawan benalu tengkulak-tengkulak Arab dan kaum kolportir. Rukankah putranya HADRAMAUTH sudah pasti penghisap darah besar bagi kehidupan hersarna pribumi, dan belum lagi disebut hakekat haji. Mengapa S.I. tidak berjuang rnematahkan pengaruh para haji ini? Pasti bukanlah demi kepentingan orang pribumi, individu-individu ini berkeliaran di desa-desa dan memiliki kehidupan yang enak bertumpu pada kepercayaan polos orang-orang desa itu? Tetapi memang sulit, karena kedua kategori ini Muslim juga dan perlu dilindungi oleh bendera S.I.

Bagaimana pun juga, hanya keadaan, - dari pihak-pihak yang bersangkutan yang satu Muslim dan yang lain tidak, - membuat kita tidak menolak kemungkinan bahwa dalam hal ini kita tetap berurusan dengan organisasi keagamaan.

Sekali lagi yang berikut ini: untuk memasuki organisasi. para calon harus mengangkat sumpah setia kepada Kur’an dan anggaran dasar organisasinya.

Sumpah ini tentu saja harus diangkat sesuai tuntutan dunia Muslim: di tangan seorang imam (rohaniwan).

Jadi sudah sulit sekali di Hindia memisahkan kerja sosial dan politik, dan kedua ini saling melebur satu ke dalam yang lain, sehingga tri-sila ini disempurnakan oleh fakta bahwa Kur’an tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.

Apabila orang Muslim ingin berpegang erat pada peraturan-peraturan Kur’an, maka setiap penganut agama lain adalah musuhnya. bahkan ia tak boleh mengakui raja yang bukan Muslim.
Dengan menerima nama Islam, para pendiri pasti harus bertanggung-jawab atas konsekuensi-konsekuensinya
<wbr> yang mengalir dari hal ini. Namun orang tidak boleh mengabaikan satu faktor besar: kesadaran diri masyarakat pribumi, dan dapat kita lihat juga dalam S.I. suatu gerakan nasional yang kuat; ini ungkapan suatu bangsa yang, setelah mencapai fase tertentu, ingin didengar apabila ada yang perlu diputuskan tentang dirinya.

Bukanlah tendensi nasional melalui agama kita temukan dalam S.I, melainkan rasa kebangsaan dengan agama. Inilah sebabnya saya berpendapat bahwa Serikat Islam dalam perkembangannya harus bersifat baik politik maupun agama: sekalipun para pemimpinnya memberi penjelasan yang lain, bagian terbesar para anggotanya memandang serikatnya bukan saja sebagai yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan sosial, melainkan juga (dan terutama) sebagai yang bertendensi agama.

Saya tak berkata, bahwa S.I. itu salah satu cabang dari Gerakan Pan Muslim. bahkan mengejar tujuannya. Namun kemungkinannya bukan tidak ada, bahwa organisasi ini sesudah waktu tertentu akan mengejar cita-cita yang lebih jauh dari yang kini dimilikinya, dan akan memperoleh warna internasional. Karena. bahwa orang Muslim dan Hindia-Belanda memang terbuka untuk Pan Islamisme, sekali ia berkenalan dengan gerakan besar ini, dan bahwa ia telah ditaklukkan bagi kerajaan Muslim yang akbar ini, kalau para promotor memalingkan pandangan mereka ke Hindia, - sudah ternyata dari suatu perkara hukum di Medan, dimana seorang Turki diadili, yang dengan alasan-alasan menyesatkan menarik uang dari kaum pribumi dengan menceriterakan bahwa Sultan Turki mengutusnya untuk mengabari kaum Muslim di Hindia-Belanda, agar dia membebaskan mereka dari beban Belanda, bila setiap orang membayarnya f.40,-. Banyak orang dengan cara itu tertipu, dan telah menyetor uangnya; dan deretan korban akan semakin panjang apabila Pemerintah tidak menemukan penipuan itu.

Adakah uang itu mengalir ke saku orang Turki itu, sekiranya orang tidak memilih di atas kekuasaan Belanda, kekuasaan sultan Turki? Hal ini telah terjadi pada orang Melayu, namun pada orang Jawa ini pun mungkin terjadi.

Selanjutnya saya tahu, dari raja-raja kerajaan Muslim kecil di Sulawesi Utara yang kebetulan pernah saya kenal, bahwa beberapa di antara mereka pernah berpikir (apakah sekarang masih demikian, saya tak tahu) untuk mengirim putera-putera mereka untuk pendidikan ke Turki, ke Istambul, karena pendidikan di hoofdenschool di Tondano menurut mereka tidak cukup dan karena pengaruh kristen terlalu mereka rasakan.

Menyangkut orang Jawa:, orang sebaiknya jangan merasa aman soal ini karena berpikir, bahwa ia sebenarnya bukan Muslim secara rohani, karena sekali lagi, orang Jawa tidak menyadari hal ini; a sendiri yakin bahwa ia Muslim sejati. Dan sekiranya ada yang meragukannya, para haji yang berkepentingan bahwa umatnya itu Muslim sejati, akan menjamin bahwa kekhawatiran ini tidak menjalar. Di kalangan keturunan orang buangan Jawa di Tondano, saya mengamati, bagaimana mereka menentang kepala-kepala distrik (kristen), begitu patuhnya mereka terhadap seorang Said yang juga dikucilkan, yang baru datang.

Bila kita lebih jauh meneliti tindakan-tindakan S.I. maka kita melihat bahwa mereka pun di jantung masyarakat pribumi, berjuang melawan kekurangan-kekurangan rakyat.
Perjuangan ini tidaklah baru, karena beberapa tahun lalu oleh murid-murid Landbouw en Veeartsenschool di Bogor didirikan suatu perserikatan bertujuan memerangi kejahatan-kejahatan rakyat. Serikatnya menyandang nama 7 M yang adalah huruf-huruf pertama kata-kata maling, madat, main, minurn, modon, mangan. Namun sesudah pendiriannya serikat ini sedikit sekali kabarnya. Selain surnpah waktu masuk, para anggota harus berikrar memerangi berbagai kejahatan dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain. Bahwa S.I. kuat memegang ikrar ini, dan bahwa ia terpandang oleh anggotanya, dapat disimpulkan dari kejadian-kejadiannya. Menurut koran-koran Hindia, kabarnya di daerah-daerah yang sudah dimasuki S.I., pencurian dan perampokan berkurang dari sebelumnya. Dan dengan bantuan S.I. Pemerintah berhasil memberi penerangan tentang berbagai kejahatan yang dilakukan, hal mana tidak mungkin sebelumnya. Karena itu begitu berbahaya untuk begitu saja menerima semua kejahatan-kejahatan yang oleh koran-koran Hindia dikenakan kepada S.I., karena sebagaimana seorang di antara mereka harus mengakui: sebenarnya hubungan dengan kerusuhan-kerusuhan tidak dapat dibuktikan samasekali bahwa S.I. yang melakukannya. Apa yang kita ketahui pasti, selalu bagus bunyinya. Tanpa segera mengingkari ungkapan ini harus juga kita akui bahwa, dimana S.I. langsung terlibat dalam pemberontakan, hal ini sering terpancing oleh kecurigaan yang dimiliki dan ditunjukkan Pemerintah dan penduduk Eropa terhadap SI. Dimana Pemerintah nenyambutnya secara terbuka, kita lihat dia senantiasa bersedia bekerja-sama dengan baik. Ketika pemerintah memintanya, cabang S.I. di Batavia, telah menyerahkan brosur-brosur, yang oleh komite Bandung dikirim kepadanya untuk disebarkan. Betapa mudah cabangnya berpura-pura mengatakan bahwa brosur-brosur tsb. sudah tersebar.
Di Bandung, tempat S.I. tidak menemukan perlawanan dari pihak Pemerintah, Ia beragitasi dengan sukses terhadap kehidupan concubinaat wanita-wanita pribumi dengan orang Eropah.
Bahwa dogma-dogma agama harus digunakan (kabarnya Kur’an melarang untuk hidup seperti itu dengan orang Kristen), dapat dimengerti. Bukankah harus ditemukan caranya untuk menyadarkan orang pribumi akan situasi yang tidak diinginkan seperti ini: tujuan menghalalkan cara.

Karena concubinaat di Hindia, - yang sering terjadi di kalangan orang Eropa yang tidak menikah - yang hampir menjadi suatu kebiasaan umum, telah kehilangan sengatnya. Betapa sedikitnya orang muda Eropa dan Indo-Eropa terutama di pedalaman, memiliki keteguhan moral yang mampu menolak kebiasaan bejad seperti ini.Untuk memperlihatkan kepada wanita pribumi kedudukannya yang miring sebagai concubine, orang terpaksa harus mengacu kepada ajaran agama, karena keberatan-keberatan etis oleh keadaan telah kehilangan segala daya meyakinkan.

Selanjutnya ini suatu bukti tambahan bahwa S.I. bukanlah tidak memiliki ciri-ciri agama, terutama bila kita melihat bahwa mis. di Priangan, menurut Pemimpin Redaksi Javabode kunjungan ke mesjid-mesjid sangat meningkat sesudah didirikannya S.I.
Apa yang paling utama terkesan di S.I. adalah solidaritas anggotanya; orang cenderung membandingkanya dengan suatu camora Italia, sekiranya ia tidak bekerja terbuka dan mengejar suatu tujuan luhur dan indah yang tak terbantahkan. Solidaritas semacam ini mungkin diperlihatkan kepada orang Eropa dengan cara tidak terlalu rnenyenangkan, namun tetap suatu bukti yang menggembirakan dari bangkitnya kemampuan bela-diri orang pribumi menentang kekuasaan rohani Cina dan Eropa, dan sekaligus suatu jaminan, agar orang Eropah mengurangi agresifitas dalam pembasmian fisik kaum pribumi. Sangatlah menentang rasa keadilan. dan bila orang adalah pribumi, sengsara dan terhina, untuk melihat bagaimana mis. opzichter Eropa dalam kesalahan sekecil apa pun menghukum seorang pekerja pribumi dengan ‘rammeling’ sambil mengetahui bahwa dia tak akan membela diri 1), dan tak seorang pun akan mengetahuinya. Jika keadaan memuncak, bila orang akhirnya telah melukai orang pribumi dalam perasaannya yang terdalam, dan dia akhirnya mengambil pisau, maka dalam koran-koran disebut bahwa politik etislah yang menanggung segala kesalahan, dan lembaga penyelamat: arbeids inspectie yang masih belum cukup keras tindakannya, diserang.

Seringkali berita-berita dari Hindia sampai kepada kami tentang asisten-asisten yang diserang kuli-kuli di perkebunan-perkebunan. Namun secara mutlak dapat dipastikan bahwa selalu dalam berita itu muncul kalimat ini: “tuan H baru 2 minggu (atau dua bulan, sebulan, dsb.) di sini”. Jadi suatu pemberitahuan bahwa yang diserang itu bagaimana pun baru saja di Hindia. Bukankah segera muncul pertanyaan, dan bukankah pertanyaan itu wajar: “:Tidakkah mungkin, bahwa bukan nafsu membunuhnya orang Jawa, melainkan kasarnya orang kulit putih yang tidak mengenal adat setempat, penyebab pembunuhan itu?”

Mengapa opzichter Indo jarang berkonflik dengan pekerja-pekerjanya; ia pun tahu bahkan lebih tahu menguasai rakyatnya, dan juga keras? Tidakkah kejadian-kejadian di Hindia suatu petunjuk, untuk tidak lagi memandang Deli dsb. sebagai tempat pembuangan bagi tenaga-tenaga Belanda yang berlebihan atau tak terpakai? Di Hindia cukup banyak orang muda Indo-Eropa atau pribumi yang dapat mengerjakan tugas seorang asisten perkebunan jauh lebih baik dari orang muda Belanda; mereka mengenal rakyat pribumi dan tahan terhadap iklim Hindia. Maka orang tidak perlu lagi di Deli menantikan penuh kecemasan datangnya SI. Namun sayang, warna kulit dan kelahiran mereka biasanya suatu halangan tak teratasi untuk jabatan-jabatan tsb.
Pertanyaan apakah Serikat Islam suatu ungkapan kehendak rakyat dan memenuhi suatu kebutuhan yang dirasakan, sudah terjawab lewat fakta-faktanya. Di seluruh Jawa anggota-anggota telah melapor untuk S.I., baik orang Madura dan Sunda, yang hampir tidak ada persamaannya dalam sifat-sifat rakyatnya, dan yang rasa kepentingan bersamanya sampai sekarang masih terpendam bahkan di bidang agama.

Namun kebersamaan ini dibangunkan pertama-tama oleh propaganda S.I. dan kedua oleh politik kristen yang terlalu kuat dari Pemerintah di tahun-tahun terakhir. Sebagai bukti untuk yang terakhir ini saya ingatkan, bagaimana sesudah “Zondagsrustcirculatie” di Hindia timbul suatu kemarahan baru yang tertekan di kalangan pegawai negeri Muslim, terutama di Perkereta-apian: “Mengapa” tanya mereka, “hari istirahat kami tidak dihormati, dan kami dipaksa merayakan hari Minggu bersama orang kristen.” Bahkan dalam koran melayu “Chabar Perniagaan” yang dimodali Cina: ketika itu, orang merujuk kepada sebuah artikel dan Peraturan Pemerintah yang menurutnya kepercayaan setiap orang harus dihormati Pemerintah.
Tindakan kristen melampaui batas apa saja dapat terjadi di Hindia, terbukti dari kejadian-kejadian berikut: “Seorang residen yang baru diangkat mengadakan perjalanan kelilingnya yang pertama di daerah kristen; secara kebetulan ia harus merayakan hari Minggu di tempat yang juga didiami orang Muslim, yang bahkan memiliki pemimpin rakyatnya (burgervader) sendiri. Sang residen pagi itu ingin ke gereja, kejadian besar itu diumumkan kepada para kepala-kepala daerah. Para kepala distrik lalu mengirim surat resmi kepada kepala-kepala desa agar masuk gereja berpakaian seragam. Kepala muslim kita pun berseragam lengkap, duduk mendengarkan penolong pendeta Minggu pagi itu.”

Bersamaan dengan rasa kebersamaan islam-jawa itu, masuk pula faham-faham antifeodal ke dalam rakyat Jawa. Tidak bisa tidak; saat bangkitanya proletariat. ide-ide baru ini harus memasuki rakyat: jiwa ini terungkap dalam S.I. sebagai kekuatan rakyat yang mendesak ke atas, yang jalannya masih dapat diubah pemimpin-pemimpinnya dalam hal-hal kecil, namun mengubahnya secara menyeluruh mereka tidak mampu.

Jika kita mengikuti laporan-laporan tentang penghitungan rakyat oleh S.I. di Kali-Wungu, kita semakin yakin, bahwa S.I. mengarah kepada demagogi. Sebagai pembicara terhormat rnuncullah tuan TJOKROAMINOTO, Redaktur koran S.I.: Oetoesan Hindia. yang ternyata seorang pembicara rakyat yang ulung, dan yang dalam pidatonya menyatakan dengan jelas warna demokratisnya S.I.

Dalam replik dan duplik antara dirinya dan seorang jaksa dari salah satu tempat di daerah itu, yang terakhir ini membela mati-matian lembaga-lembaga seusia berabad-abad melawan serangan-serangan yang semakin memenangkan demokrasi. yang menemukan wakil yang tiada tandingannya dalam tuan TJOKROAMINOTO. Bahwa para pemimpinnya sangat menyadari kekuatan yang mendukung mereka, dapat kita lihat dari kata-kata benikut dalam pidato tsb,: “Harapan kita bahwa otonitas yang sah membuat kita mengerti apabila terjadi kesalahan, sebab kita dengan senang hati akan menyesuaikan diri”.

Lewat surat terbuka dalam Oetoesan Hindia, redaksi berpaling kepada Pemerintah sambil mengungkapkan ketidak-puasannya tentang cara kerjanya pegawai Eropa (a.l. seorang asisten residen), dengan mengungkapkan harapan agar pemerintah memperingatkan pegawai-pegawai itu atas tidak pantasnya cara kerja mereka.

Betapa berwibawa gaya surat itu, nadanya begitu tegas sehingga kita dapat memandang dokumen itu sebagai koreksi terhadap kebijakan pemerintah. Sejauh ini untuk pertama kali, serikat pribumi berpaling dengan bertanya langsung kepada pejabat Pemerintah tertinggi,
Apa pula yang dapat dikatakan tentang seorang pemimpin cabang S.I. yang menolak seorang kontrolir B.B. untuk menyerahkan dua anggota S.I. yang sesudah membunuh, lari menyembunyikan diri ke rumahnya, sebelum mengadakan pembelaan dengan komite sentral.
Sekali lagi, bukanlah maksud para pemimpin, bahwa S.I. melawan Pemerintah sekalipun dalam suatu tindakan yang cukup beralasan, namun yang disebut di atas ini rnenggambarkan makna, hakekat, yang dikenakan orang pniburni kepada serikatnya. terutama kepada pemimpinnya. Sidang yang dipilih rakyat pribumi dan yang lahir darinya yang sebagai pelindung berhadapan dengan gubernemen Belanda. ini salah satu contoh dari banyak lainnya.

Dan peraturan-peraturan pemerintah dalam bulan-bulan terakhir, amat sangat bersifat sedemikian, sehingga mengesankan bagi orang pribumi bahwa S.I. sepantasnyalah melawan pemerintah; mereka hanya memperlemah posisinya terhadap rakyat. Ketentuan-ketentuan seperti di Besuki mis, bahwa apabila empat anggota S.1. terlihat bersarna-sama mereka segera dapat ditangkap, tak dapat tidak membuat orang tertawa belaka.

Mengapa ketakutan itu, kecurigaan dari orang Eropa? Di Besuki perkebunan tebu telah memiliki senjata-senjata. Itukah suatu pengakuan, suatu pengakuan terpaksa bahwa apabila memang kemarahan rakyat meletus, para kepala perkebunanlah jatuh sebagai korban-korban pertama? Sekali lagi adakah ini suatu pengakuan terpaksa, dan kebenaran fakta-fakta yang ditulis dalam “Het Boek Van Siman, den Javaan”?

Nah, ubahlah keadaan kerja wong tani, maka tak akan ada lagi alasan bagi pemilik-pemilik pabrik gula dan petani tabak untuk membentengi diri dalam rumah-rumahnya. Namun bukan cuma swasta, pemerintah pun - yang (lihat pidato mahkota Gubernur Jenderal) tahu bahwa S.I. menguasai seluruh keadaan, - memperlihatkan kecurigaan dan kekhawatiran terhadap S.I. yang bekerja tak rnenguntungkan prestisenya. Ketika putera mahkota Solo naik kapal di Tanjung Priok untuk berlayar ke Eropa, wakil-wakil S.I. ingin menyapanya sebagai pelindung serikat, Namun dihalangi polisi. Mengapa rakyat harus dilarang menjalankan penghormatan spontan ini? Mengapa perbuatan picik terhadap suatu kenyataan sederhana, sehingga tindakan ini membawa kepada salah tafsir?

Dan masa meyakini pendapat ini meskipun salah, karena tuan TJOKROAMINOTO menganggap perlu mengatakan dalam pidato yang sudah sering disebut-sebut: “Sumpah yang kami minta sebagai syarat, hanyalah suatu janji kesetiaan terhadap statuta; tak ada yang dituntut menentang pemerintah. Ada yang mengatakan bahwa S.I. mempunyai rahasia. Ah, ada saja rahasia-rahasia di luar organisasi. Kalau pimpinan merasa kekurangan tenaga untuk mempertahankan statuta, SI. akan minta bantuan pemerintah.” Apabila gambaran yang salah itu belum masuk, mengapa ahli pidato ini menekankan kesepakatan yang harus ada antara S.I. dan pemerintah? Jiwa serikat rupanya telah menyimpang jauh dari maksud para pendiri sehingga mereka rnenganggap perlu menguraikan pendirian mereka dalam suatu pernyataan hukum: mereka menjelaskan keyakinannya:

a. Bahwa sejarah kelahiran Serikat Islam tidak ada hubungannya dengan apa yang berkali-kali dikemukakan dalam koran-koran Hindia. seakan-akan dari pihak pemerintah diadakan tekanan pada berpindahnya orang Muslim ke agama Kristen;
b. bahwa mereka dalam lingkungannya tidak menemukan bahwa usaha-usaha yang dimaksud itu (jika ada) telah menyebabkan rasa tidak senang di kalangan pribumi.
c. bahwa kaum pribumi tidak dihalang-halangi dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama Muslimnya, dan secara hakiki juga tidak mau dihalangi, tetapi bahwa dapat dipastikan S.I. tidak didirikan sebagai pertahanan terhadap agama kristen atau terhadap agama-agama lain apa pun;
d. bahwa masalahnya lain samasekali, terutama untuk memperoleh hubungan-hubungan ekonomi yang lebih baik oleh kerjasama, sehingga orang Jawa, Madura, Sunda dan Melayu, masing-masing sesuai kemampuannya bekerjasama demi kemajuan yang dalam tahun-tahun lampau di Hindia tak dapat diingkari, juga untuk menarik keuntungan daripadanya.
e. bahwa bangsa-bangsa di Timur di tahun-tahun terakhir dimana-mana telah maju, sehingga juga sebagian besar kaum pribumi di Jawa terbangun dan memahami bahwa hanya dengan kerja-sama (semua terikat oleh satu ikatan) dapat diharapkan hasil-hasil kemajuan;
f. bahwa serikat mengenakan nama Islam karena para pendiri mengerti, bahwa ini paling berkesan dan dengan dernikian mencapai ‘ikatan yang diperlukan” sementara selain kepentingan materiil kaum pribumi (Muslim R.), serikat bertujuan meningkatkan kehidupan beragama di kalangan pribumi Muslim tanpa perlu bersikap bermusuhan.

Namun marilah kita tinjau lebih dekat pernyataan ini.
Dalam a dijelaskan bahwa sejarah kelahiran dsb. dsb. Betul, sebagaimana saya sudah kemukakan lebih dulu: bukan pendiriannya melainkan dibanjirinya serikat, harus dipandang sebagai reaksi atas semangat kepemerintahan.

Dalam b. orang berhati-hati dan menjelaskan bahwa mereka di lingkungannya tidak menemukan rasa tidak senang terhadap tekanan (jika memang ada) untuk membuat kaum pribumi beralih ke agama kristen. Bagaimana keadaan di luar lingkungan mereka, tidak disebut-sebut, Namun bila memang diadakan tekanan dalam hal itu. pastilah terdapat rasa tidak senang, hal mana memang sangat mudah difahami.

Dalam c. pernyataan yang pasti bahwa orang pribumi dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya tidak mau dihalangi, namun segera sesudahnya kepastian bahwa S.I. bukan pertahanan terhadap agama kristen.

Dalam d. juga upaya menenangkan dan pernyataan puas kepada pemerintah dengan mengemukakan kemakmuran rakyat dan diperkuat dalam e. yang juga menyatakan bahwa karena kemakmuran inilah, timbul kebangkitannya.

Dalam f. suatu penjelasan tentang motif-motif mengapa kata Islam diambil, dan pengingkaran bahwa tujuan-tujuan keagamaan menjadi dasarnya; namun hal ini segera dibantah oleh pemberitahuan pada akhirnya: bahwa tujuan yang dikejarnya adalah peningkatan hidup keagamaan orang Muslim tanpa fanatisme terhadap yang beragama lain.
Namun dengan demikian pertanyaan tidak terjawab: apabila tujuan utama serikatnya adalah perbaikan hubungan-hubungan sosial, kepentingan materiil kaum pribumi, mengapa dibuat antitese dalam pernyataan iman, sehingga bagian besar dari penduduk asli diasingkan?
Bagaimana menafsirkan pernyataan ini? Dengan mengujinya pada kejadian-kejadian, saya beranggapan bahwa para penanda-tangan mempunyai berbagai motif.

Pertama, karena khawatir bahwa kendali penguasa atas kekuatan-kekuatan terpendam yang dibangunkannya, perlahan-lahan akan terlepas, mereka berkehendak dengan pernyataan otentik jelas-jelas membatasi tanggung-jawabnya, dan jelas tidak rnau dimintai pertanggung-jawabannya atas kejadian-kejadian yang tidak langsung mengalir dari tujuan-tujuan tertulisnya.

Kedua: Pemerintah kini ingin mereka ampuni atas tuduhan bahwa SI. oleh anutan politik pemerintah yang menyebabkan turunnya nilai rohani organisasi dengan berubahnya arah politik hal ini harus dicegah: di atas segalanya, di bawah kekuasaan klerikal kristen atau liberal, S.I. harus dapat mempertahankan dirinya sebagai perwujudan kehendak rakyat terlepas dari semangat kepemerintahan.

Ketiga: memperlihatkan kepada kita S.I. dalam bentuknya yang paling murni, yaitu yang diterangi pencerahan cita-cita para pendiri. Namun, fakta-fakta jelas tampak bagi kita, dan realitas kita lihat menyimpang dari cita-citanya.

Akhirnya apa gunanya bagi kita maksud-maksud sejumlah pribadi, apabila massa lain pendapatnya? Dan, sebagaimana TJOKROAMINOTO sendiri akui dalam pidatonya bahwa para pemimpin tidak akan mampu mengarahkan serikat ke tujuan lain apabila dikehendakinya sendiri, demi pandangan yang benar, kita jangan terlalu memandang serius penjelasan sejumlah pemimpin. sekurang-kurangnya jangan memakai pernyataan ini sebagai suatu penilaian obyektif dan dengan demikian memandang lebih rendah gerakannya.

Karena dari pengakuan itu sendiri, dan pengakuan tentang ketidak-mampuan diri sendiri untuk menghalangi atau mernbalikkan kehendak rakyat, dapat ditarik kesimpulan, bahwa jiwa serikat tidak dapat dinilai menurut ide-ide sejumlah pemimpin, Namun menurut pengungkapan-pengungkapann<wbr>ya.

Masalah lain adalah pertanyaan: sejauh mana para pemimpin itu bersalah, bahwa mereka kini tidak lagi menguasai keseluruhan gerakan yang mereka awali itu, sehingga kadang-kadang para anggota telah kehilangan pandangan atas statuta, dan berbenturan dengan pemerintah.
Bila kita mengikuti kejadian-kejadiannya. kadang-kadang rupanya para pemimpin tidak bersalah; bahwa mereka sekurang-kurangnya baik dalam pidato maupun dalam tulisan mendesak para anggotanya agar menjaga ketenangan dan ketertihan dalam negeri, Namun sering tindakan gegabah para pegawai Pemerintah atau berpegangnya terlalu keras pada kebiasaan lama orang Eropa atau Cina, memancing perlawanan dari atau benturan dengan S.I.
Kita juga tidak boleh lupa, bahwa pers Hindia berdaya-upaya untuk menyoroti SI. secara negatif.

Bagaimana mis. tentang pembunuhan massal yang dalam bulan Agustus dilancarkan anggota S.I. di Batavia? Orang menjadi khawatir, dan Javabode dengan agitasi berlebihan, menulis tgl. 19 Agustus:

“Semangat kaum pribumi, dipanasi kegilaan agama, ingin mengungkapkan diri dalam menjalankan pembunuhan massal terhadap orang Eropa. Bedebah-bedebah yang berspekulasi atas fanatisme sesamanya, bersembunyi di balik S.I. itu ingin mengadakan pembunuhan-pembunuhan demi hasil jarahan. Para saudara harus didahulukan karena S.I. dan agama Kristen dan sesudah membicarakan ketentuan-ketentuan Pemerintah, disertai pernyataan bahwa sejumlah pasukan akan siap-siaga lengkap dengan senjata, menyusul pernyataan untuk menenangkan penduduk Batavia: “Jadi tidak ada alasan sedikit pun untuk khawatir, (sic.R). Orang jangan takut untuk kejadian yang akan datang. Bayangan-bayangan yang sudah terlontar sudah memancing ketetapan-ketetapan yang sangat ketat.”

Setelah begitu dihebohkan, sekurang-kurangnya dapat dinantikan adanya bentrokan-bentrokan antara militer dan S.I.

Namun, tak terjadi apa-apa, bahkan tak ditulis apa-apa lagi tentang hal itu. Seluruh ancaman ternyata khayalan belaka; orang berusaha mengumpulkan bahan untuk incrimineren S.I.
Tgl. 29 Maret y.l. oleh Pimpinan Pusat S.I. dalam suatu audiensi, diserahkan kepada Gubernur Jenderal statuta untuk rnemperoleh hak pendirian, yang ditolak Gubernur Jenderal. yang berpendapat bahwa sebelum diberi hak berdirinya. para pemimpin harus menunjukkan sungguh-sungguh mampu menguasai gerakannya.

Mungkin saja pendirian tentang hal ini yang diambil pemerintah dapat dibenarkan berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi dari sudut-pandang taktik tidak demikian.

Berdasarkan kenyataan bahwa organisasi ini suatu ungkapan dan jiwa rakyat, mestinya mereka sambut secara terbuka. Tidaklah dapat diingkari, bahwa penolakan ini menimbulkan kekecewaan di antara para anggota, dan dilihat sebagai sikap bermusuhan terhadap setiap emansipasi rakyat pribumi.

Semoga pada permohonan berikut Pemerintah berubah pendapat, sebab pemberian hak berdiri akan membawa dua akibat langsung: 1.kewibawaan moril para pemimpin diperkuat, yang memampukan mereka lebih kuat menuntut diturutinya statuta; 2. pemerintah tidak menunjukkan sikap bermusuhan dan juga tidak takut terhadap kebangkitan rakyat pribumi.

Jalan tengah untuk memberi hak berdiri kepada organisasi-organisasi lokal dan tidak kepada satu organisasi besar menurut saya akan memperlemah posisi pemerintah.

Seperti halnya setiap gerakan di negara-negara lain akan muncul pribadi-pribadi yang menginginkan lebih cepat jalannya keadaan. Orang-orang yang jiwanya mendahului masanya, namun tetap harus hadir untuk melempangkan jalan bagi massa, yang mengikutinya. Di antara pribadi-pribadi semacam itu saya masukkan orang-orang Jawa yang sudah banyak diperbincangkan seperti TJIPTO MANGOENKOESOEMO, dan R.M. SOEWARDI SOERJANINGRAT. Yang terakhir ini adalah Ketua S.I. di Bandung. Orang-orang terpandang dengan sikap kritis, memberontak terhadap pandangan-pandangan keliru dan hubungan-hubungan yang salah di negerinya.

Maka ketika pesta-pesta kemerdekaan Belanda dirayakan dengan begitu menyinggung perasaan orang pribumi, terbentuklah di Bandung suatu komite terdiri dari orang-orang pribumi yang menyebarkan brosur geincrimmeerde: “Jika saya orang Belanda....” Dapatlah dimengerti dan dimaafkan terhadap seorang anak bangsa yang tidak memiliki kemerdekaannya. Tulisan ini mestinya tidak boleh menjadi alasan bagi ditawannya kedua orang tsb. yang memiliki keberanian untuk berjuang demi cita-citanya. Lagipula dalam keseluruhan dokumen itu tak ada bekas ‘rassenhaat”. Justitie di Hindia yang mau memerangi ‘rassenhaatwekkende’ tulisan telah alpa dalam memusatkan perhatiannya terhadap artikel dalam Preangerbode: “Jika saya orang pribumi” Bodoh dan lebih menghina lagi dari lawannya, tulisan itu mencerminkan cara yang tak dapat dipercaya bagaimana orang Eropa rata-rata yang oleh pengaruh panasnya matahari tropis bertindak terhadap rakyat pribumi.

Terpaku pada kewibawaan Barat di masa ini, baginya segala yang sifatnya Hindia, rendah dan ia lupa (bahkan tidak tahu samasekali) bahwa Timur juga memiliki budaya yang sangat dihargai orang-orang Barat terhormat dan termasyur.

Dalam pamflet: “Bila saya pribumi” satu penghinaan ditumpukkan atas yang Iainnya dan berakhir dengan: “Apabila saya orang pribumi ... saya ingin menjadi orang Belanda.”
Perlakuan merendahkan yang sudah dikenakan pada orang pribumi, terlalu dikenal untuk dibicarakan lebih lanjut. Namun apabila seorang pribumi bereaksi mengamuk, ía disebut: “orang Jawa yang tidak matang, setengah masak” atau “anak tropen tanpa keseimbangan dalam pikiran dan perasaan”, sebagaimana dirumuskan redaksi Soerabaiasche Handelsblad.

Bagi saya lebih dapat dimengerti bahwa pengejaran itu dilembagakan karena jiwa lndische Partij berhembus dalam brosurnya. Kalau demikian, ini satu bukti lagi bahwa sekalipun resmi sudah dibubarkan., I.P. masih tetap ada. sekurang-kurangnya ikatan jiwa yang mengikat anggota-anggota partai sehingga pada suatu hari bangkit dalam bentuk yang lain.

Betapa kelirunya akibat hukuman itu, dapat kita baca dalam Expres. TJIPTO MANGOENKOESOEMO menulis:
“Ada rangsangan untuk menantang penguasa (Pemerintah) yang mengerahkan tenaganya sedemikian rupa untuk mengecilkan kami. Semakin kuat aksinya, seimbang pula kekuatan kita.”
Naif tak bertanggungjawablah para penguasa di Nederland untuk memandang TJIPTO dan SOEWARDI terpisah sama sekali dari massa rakyat Jawa, sebagai dua “true eyes” yang pikiran-pikirannya terlalu jauh terpisah dari orang Jawa biasa, untuk diperhitungkan. Hal ini juga dilihat sejumlah koran Hindia; Locomotief a.l. berkata: “Setiap permainan pemberontakan hanya akan bermuara pada sejumlah salvo. Atau bila menghendaki hasil paling baik, pada munculnya penguasa yang lain..” Kemungkinan ketiga tidak dibicarakannya: Bagaimana pun juga orang mengakui bahwa ide-ide TJIPTO dan SUWARDI, tersebar luas di berbagai kalangan. yang dapat menjadi alasan bagi suatu “permainan pemberontakan.”

Bukan, kita jangan melihat dalam kedua orang Jawa ini orang-orang sesat secara rohani di tengah hutan-rimba ide-ide Barat yang dimasuki berbagai orang Hindia yang bangkit, bukan, mereka adalah bentara-bentara yang diutus mendahului arak-arakan panjang yang akan datang. Apa tujuan akhirnya; kemana arah arak-arakan itu? Menurut saya ini tidak bisa diragukan lagi. Mungkin tidak disadari, perjuangan S.I. akhirnya akan dibimbing menurut arahan yang dikehendaki TJIPTO dan SUWARDI, betapa menghancurkan pun pandangan pers dan masyarakat.

Dalam koran Locomotief kita membaca: “Sungguh amat sangat disayangkan karena ini sangat merugikan penduduk pribumi. ini ikut merugikan suatu serikat yang murni dan berguna.”
Bahwa kedua idealis, sebab memang demikianlah mereka, lebih merugikan daripada menguntungkan diri mereka sendiri, sudah pasti. tetapi bahwa mereka telah merugikan kepentingan S.I. tidaklah jelas. Justeru oleh selingan yang kurang menyenangkan ini dalam kehidupan politik, mereka telah memberi pelajaran kepada pemimpin-pemimpin S.I. untuk berhati-hati. Bagaimana para pemimpin menanggapi isyarat ini baru kita tahu kemudian.
Namun bahwa evolusi S.I. kini sudah dibatasi, kenyataannya didiamkan. Saat-saat yang sulit akan dihadapi wakil-wakil penguasa Belanda di Hindia.: politik kolonial telah memasuki tahap yang baru. Di samping pandangan dan keinginannya, Pemerintah kini juga harus mempertimbangkan pandangan rakyat Hindia, yang diwakili pimpinan S.I. Pada pandangan pertama kesannya situasi tidak sehat berupa “adanya negara dalam negara”, pada tinjauan selanjutnya sebenarnya ini langkah besar maju menuju “Parlemen Hindia”, jadi sangat rasional.
Pada akhir usahanya, saya tak dapat tidak memberi sekedar pandangan atas aliran-aliran pada urnumnya yang muncul di Hindia.

Kini bukan pertanyaan lagi apakah Hindia matang untuk pemerintahan sendiri, soalnya hanya apakah Hindia berhak atas pemerintahan sendiri. Dan jawabannya tak bisa tidak ya; juga politisi Belanda yang punya wibawa beranggapan, bahwa satu-satunya kewajiban yang dipikul Belanda adalah: mendidik Hindia untuk berdiri sendiri sebagai bangsa. Jadi sekiranya hak otonomi bagi Hindia suatu fakta yang tak terbantahkan maka haruslah diperjuangkan setiap upaya yang mendorong hal tsb.

Dan begitu “disayangkan” bahwa pemerintah bersikap sangat tidak bersahabat terhadap lndische Partij; ketika ungkapan partai itu penuh gejolak, mestinya diredakan; karena dengan pembubaran I.P. telah diadakan pemilihan di kalangan pribumi dan Indo terhadap pemerintah. Terutama yang terakhir ini, merasa dilupakan oleh tanah air. Siapa yang meragukannya, carilah saja suatu karya ilmiah tentang “Masalah Indo.”

Bila professor SNOUCK HURGRONJE dalam serangkaian ceramah membahas masalah Islam, pantaslah orang memberi lebih banyak perhatian terhadap soal yang sama pentingnya: masalah Indo. Praktek telah membuktikan bahwa hal ini patut diperhatikan, bahwa sang Indo tak mesti disisihkan bagaikan jumlah yang boleh diabaikan dalam politik kolonial, dan bahwa dalam perlakuan keliru unsur Indo masih lebih berbahaya dari yang pribumi, karena sang Indo tidak memiliki kesabaran dan ketakwaan seperti yang dimiliki orang Jawa.

Dalam suatu artikel Gids berkatalah tuan VAN DEVENTER merujuk kepada masalah Islam: “Hendaknya Belanda diperingati dan bangun, sebelum terlambat”. Kata-kata ini ingin juga saya terapkan pada masalah Indo.

Bermimpi tentang suasana berpikir di Hindia kini, amat sangat optimis. Telah muncul semangat ketidak-puasan orang tidak puas dengan ketertiban yang ada, tidak puas dengan tanah air dan :kerusuhan serta permainan revolusi merupakan pendahuluan dari hal-hal yang akan datang, kecuali tangan besi membanting stir dan mengarahkan kapal politik kolonial ke pelabuhan yang aman.

Karena, sekalipun tuan NOTOSOEROTO menulis dalam salah satu tulisannya bahwa nada dasar dan perasaan kaum pribumi di Nederland itu: ‘bersimpati terhadap Belanda dan orang Belanda”, apa artinya jumlah kecil itu ketimbang jutaan di Hindia sana.

Selama situasi disana tidak diperbaiki, bukan saja untuk sejumlah kaum intelektual namun bagi semua orang yang terlahir dalam perjuangan hidup dan menggulati prasangka dan posisi hukum yang tak menguntungkan, selama itu tetap ada ketidakpuasan.

Bukanlah di Belanda harus terlaksana perbaikan terhadap penyakitnya, bukan saja upaya melancarkan aliran orang Hindia ke Belanda yang akan membelokkan bahaya (sebelum tercapai jumlah secukupnya disini, mungkin sudah terlambat), namun di Hindia sendiri orang harus mulai dengan perubahan mendasar yang menuntut kepatutan.

Disana, bahan bakar harus dijauhi dari apinya; orang harus membasmi hal-hal yang bisa menjadi penyebab arak-arakan yang diumumkan dua bentara agar dapat lewat bagaikan mimpi buruk yang menakutkan bagi rakyat Hindia dan Belanda.

Bahwa kelak akan tiba waktunya bahwa Hindia berdiri sendiri sebagai bangsa, sudah pasti. Sejarah tak dapat membuktikan adanya satu bangsa pun yang dikuasai secara abadi.

Semoga perpisahan yang tak terelakkan itu bersahabat sifatnya, agar sesudahnya tetap berlangsung jalinan unsur-unsur budaya yang nyaman antara Hindia dan Belanda yang berabad-abad lamanya pernah dipersatukan oleh sejarah.

AMSTERDAM, November 1913.


DAFTAR KATA-KATA BAHASA ASING

Kata-kata Bahasa Hal.
adie Jawa kepala 8
arae ayes Latin 25
arbeids inspectie Belanda dinas pekerjaan umum 17
bataviaasch niewuwshlad Belanda harian batavia 1,6
bond van jong Indo’s Belanda nama serikat orang indo 6.7
Burgerij Belanda rakyat biasa 6
camora Italia 16
concubide Belanda pasangan hidup bersamadi luar perkawinan 16
concuhinaat Belanda hidup di luar perkawinan 16
conditio sine qua non Latin syarat mutlak 13
demagogis Belanda agitatif 11
expres Belanda nama harian di hindia belanda 1
gids Belanda nama hmedia di belanda 26
hoofdeiischool Belanda sekolah pemimpin 14
incriminasi Belanda inkriminasi 23
indischie partij Belanda partai hindia 2.7
inlander Belanda orang pribumi 7
inlands Belanda bersifat pribumi 7
Javabode Belanda nama media di jawa 16
Justitie Belanda pengadilan 24
klerk Belanda tenaga tata usaha 8
kolperteur Belanda penjaja 13
landbouw en veeartsenschool Belanda sekolah pertanian dan peternakan 15
locomotife Belanda nama harian 25
monster Belanda monster 10
opzichter Belanda mandor 7.16
praticulieren Belanda kaum swasta 1
preangerbode Belanda nama media di jawa barat 24
proletariaat Belanda proletariat 6
rammeling Belanda pukulan 16
rate of wages Inggris skala gaji 8
regent Belanda bupati 5
regenten vereeniging Belanda persatuan bupati 6
semoehoen Belanda ya 8
soerabaiash handelsblad Belanda nama media di surabaya 25
stovia Belanda sekolah tinggi kedokteran 3
traktement Belanda traktemen 8
unicum Belanda keunikan 11
wong Belanda orang 19
zendeling Belanda utusan 9
zending Belanda perutusan 9
zendingsgenootschap Belanda misi 9
zondagsrustchirculatie Belanda peraturan hari minggu 17


===================================================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"
===================================================================

=============================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"

TULISAN SAM RATULANGI PERTAMA DI BELANDA

Dr Samrat: Serikat Islam (Tulisan Sam Ratu Langie pada umur 23 tahun di tahun 1913 di Holland) Bagian Pertama



PROLOG
Tulisan ini aslinya dalam bahasa Belanda dan diterbitkan oleh penerbit di Baarn, Holland.

KILAS BALIK yang menjadi dasar tulisan ini.
Setelah Sam Ratu Langie lulus Technische School di Batavia pada umur 18 tahun, ia mendapat pekerjaan beberapa tahun pada Staats Spoorwegen (Jawatan Kereta Api) dan ditempatkan di daerah Kroya dan sekitarnya dalam rangka pembangunan rel kereta api.
Ia mengalami diskriminasi ras karena ia adalah INLANDER (istilah untuk pribumi dengan konotasi negatip) dan bukan Hollander (ataupun Indo-Europeaan) dan diberikan penampungan di kampung-kampung. Hal ini, walaupun menyakiti hatinya, tidak dijadikan halangan, bahkan memberikan dorongan untuk mengobservasi perkembangan masyarakat disekitarnya. Antara lain ia dapat mengikuti dari dekat pertumbuhan sosial khususnya yang berkaitan dengan perkembangan Serikat Dagang Islam yang kemudian beralih menjadi Serikat Islam.
Sebagai seseorang yang tidak dapat menerima ketidak-adilan dan yang selalu berpihak kepada yang lemah ia mengamati adanya kesalah-fahaman pemerintah kolonial terhadap gerakan hati-nurani dari masyarakat yang tertekan ini.

SERIKAT ISLAM

oleh

Gerungan S.S.J. RATULANGIE


diterbitkan di
BAARN
HOLLANDIA – DRUKKERIJ
1913

Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh
Dra. Konda Tilaar
Editor: Dr. M. Sugandi-Ratulangi (2009)

BAGIAN PERTAMA

"Kita berdiri pada titik-balik sejarah Kolonial.
Jaman kini memprihatinkan."

Dalam pidatonya yang diadakan pada audiensi 1 September y.b.l.(editor: 1912) sebagai jawaban Tuan Jacobs, penyambung-lidah kelompok ke-12 dan para ‘praticulieren’, Gubernur Jendral Idenburg mulai dengan kata-kata:

“Kekuatan-kekuatan terlelap bangun, keinginan-keinginan tersembunyi menjadi nyata. Dimana-mana ada penyadaran diri, dan akibatnya orang mempertanyakan buah-buah budaya Barat kita.”

Memang, orang hanya perlu membaca koran-koran Hindia, untuk mengakui dasar kata-kata ini : perserikatan-perserikatan muncul, benturan-benturan terjadi antara berbagai bangsa atau antara bagian-bagian masyarakat Hindia yang terpisah oleh hukum, dan akibatnya yang tak terelakkan, muncullah konflik-konflik antara rakyat dan penguasa.

Yang berada paling depan dalam “bangunnya kekuatan-kekuatan yang terlelap” itu pastilah organisasi Serikat Islam, baik oleh jumlah penganut yang diperolehnya, maupun oleh cakupan tujuan luas yang dikejarnya: yaitu perbaikan keadaan ekonomi masyarakat pribumi dan peningkatan hidup beragamanya. Namun orang terutama patut berhati-hati dalam menilai fakta-fakta berita yang membanjiri kita dari Hindia. Sulit mencatat dengan tepat kejadian-kejadian yang merugikan atau yang menguntungkan S.I., karena pers Eropa di Hindia tak mungkin tidak memihak sama sekali. Kepentingan pertamanya sedikit banyak adalah menentang aliran-aliran politik di dunia pribumi Hindia-Belanda; lewat sensor peraturan percetakan pers Hindia yang ketat, kebanyakan di antara mereka ini terbawa bersikap kurang lunak terhadap serikat-serikat politik di sana. Bukankah hal ini suatu kenyataan dalam perlawanan Partai Hindia; orang tak berhenti sebelum lembaga yang dianggap membahayakan Negara dan kekuatan Eropa itu dibinasakan. Seluruh pers Eropa mempersatukan diri demikian eratnya, sekalipun dalam keadaan lebih tenang mereka sering bertengkar, untuk mematikan Expres yang baru saja terbit di Bandung.

Hal ini tidak mengherankan kita, karena “pers agung” yang dikuasai orang Eropa (kecuali Bataviaasch Nieuwsblad), merasa kehilangan dasarnya karena propaganda I.P. melalui Expres. Sekalipun begitu, juga bagi pers Eropa, kebenaran tidak selalu dapat diingkari atau ditutupi dan fakta-faktanya memang terlalu jelas. Itu sebabnya kami sangat terkesan oleh pertentangan semu dari berita-berita yang dikandung koran-koran Hindia tentang gerakan-gerakan disana. Sekiranya kita mendalami hakekat masalahnya, dapatlah kita mengembalikan semuanya kepada satu sebab, yang saya sebut saja: jiwa baru, yang telah merasuki masyarakat Hindia, sebagai lawan dari makna yang begitu gemar digunakan jurnalistik Hindia sebagai sanggahan: jiwa DOUWES DEKKER. Sebab, bahwa di Hindia kita berurusan dengan jiwa rakyat, terbukti dan kejadian-kejadian dan juga kini disadari Pemerintah, sebagaimana ternyata dari kutipan kata-kata Gubernur Jenderal itu.

Lagipula, terlalu naif untuk mengira bahwa seorang saja mampu memasukkan ide-ide yang baru sama sekali, apabila massa itu sendiri tidak sudah memiliki suatu predisposisi untuk menerimanya.

Bila orang ingin menyanggah saya, bahwa ‘kekuatan kata-kata’ itu faktor besar, dan memperlihatkan kepadaku contoh-contoh dari sejarah purba dimana satu orang dapat menguasai kumpulan rakyat, dapatlah saya katakan bahwa tiada cara yang lebih sederhana daripada mengirim seorang orator ke Hindia untuk meyakinkan rakyat akan hal yang berlawanan dengan apa yang mereka pikirkan kini disana, - sebagaimana dapat kita simpulkan dari fakta-faktanya - untuk mencegah badai. Sengaja saya berhenti sejenak pada pembicaraan Indische Partij sebelumnya. Karena saya sendiri yakin bahwa serikat ini dan Serikat Islam dua organisasi yang tak mungkin terpisahkan satu dari yang lain. Antara kedua organisasi ini terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas terlihat jika dipandang lebih dalam. Keduanya itu hasil dari keadaan-keadaan yang sama; bahwa yang satu mengusung ‘islam” dalam benderanya hanyalah bukti, bahwa yang lain berpijak pada dasar-dasar yang lebih liberal. Namun satu di antara kedua organisasi ini adalah hasil dari yang lain kalau saja pemikiran ini tidak terlalu gila dan terlampau gegabah, saya akan memprotesnya.

Apa saja alasan-alasannya, yang membuat ide-ide baru itu muncul di segala lapisan masyarakat, sulit digambarkan secara singkat. Lagipula. apabila kita harus melacak semua faktor yang langsung dan tidak langsung telah mengarahkan jalannya keadaan, kita harus kembali ke jaman sejarah lampau, bahkan lebih jauh lagi sekiranya kita mengikuti rangkaian kejadian dan sebab-musababnya.

Cukuplah yang berikut ini. Ketika hubungannya terbina, ketika penduduk pribumi diposisikan secara kurang menguntungkan terhadap orang asing, ketika itu orang sudah dapat meramalkan bahwa suatu saat cepat atau lambat, pada lanjutan perkembangan jiwa kaum pribumi, kerusuhan-kerusuhan sekarang ini akan menjadi kenyataan. Masyarakat pribumi kini tak dapat lagi bergerak dalam kerangka undang-undang yang usang; ia mengejar ruang gerak lebih luas, dan dalam keadaan berlanjut yang sangat lazim seperti ini tak bisa tidak ia akan berbenturan dengan lembaga-lembaga usang, dan kelompok-kelompok penduduk yang menikmati keuntungan lebih banyak, bila hubungan-hubungan seperti itu dipertahankan. Dan hal ini dapat kita lihat dalam halaman-halaman berikut ini: bahwa partai anti revolusioner di Hindia harus dicari di antara orang Eropa asli dan kaum bangsawan pribumi.

Marilah sekarang kita ikuti kejadian-kejadian yang pertama-tama mengungkapkan “keinginan-keinginan terselu-bung” itu, agar dengan memandang cetusan-cetusannya itu, kita dapat memperoleh gambaran tentang hakekatnya. Pertama kali orang menjadi agak sadar tentang hal ini ketika tujuh delapan tahun lalu oleh mahasiswa STOVIA (Sekolah Kedokteran di Weltevreden) ide-ide baru dilontarkan ke dunia, yang menemukan perwujudannya dalam “Boedi Oetomo” yang bagaikan sengatan listrik menyambar lapisan-lapisan atas masyarakat. Setelah dipandang penuh kecurigaan, gerakan ini melalui ketekunan para pendirinya segera memenangkan kepercayaan golongan Priyai dan Pemerintah. Bagaimana pun orang kemudian dalam perumusan tujuannya mengedepankan perbaikan ekonomi dan pendidikan, untuk menutup-nutupi hakekat Boedi Oetomo yang sebenarnya, kenyataannya tak teringkari: gerakan ini muncul dari kesadaran diri orang Jawa dan merupakan endapannya. Kehidupan Hindia telah memasuki era baru, dan sudah berlalu bahwa ia menyerah kepada keadaan berdasarkan pikiran: dura lex, sed lex, bahwa rasa nasionalisme sudah berbicara, bahkan nasionalisme yang ketat, dapat kita simpulkan dari fakta bahwa hanyalah orang Jawa yang dapat memasuki organisasi ini sebagai anggota. Maka serikat itu dengan tepatnya menamakan diri “Jong Javanen Bond”. Harapan-harapan tinggi, yang dimiliki terhadap Boedi Oetomo, sedikit banyak meleset, ketika pejabat-pejabat tinggi pemerintah pribumi menduduki jabatan dalam Pemerintah pusat. Orang lalu mengkhawatirkan suatu tekanan dari atas, yaitu pengaruh Pemerintah, yang bekerja agresif terhadap kehidupan berserikat. Kekhawatiran tsb, ternyata bukannya tak ada dasarnya: di bawah pimpinan pengurus yang mundur tahun ini, organisasi ini hanya menjadi suatu bayangan lemah dari ide para pendirinya. Karena, di samping atau sebelum menjadi pengurus oraganisasi nasionalis ini mereka itu abdi Gubernemen. Dan bahwa antara Gubernemen dan B.Oe. tak selalu ada kedamaian merupakan suatu akibat tak terelakkan dari keadaannya. Orang dapat saja berdalih sebanyak-banyaknya, suatu organisasi seperti B.Oe. dalam keputusannya harus terarah menentang jiwa pemerintah yang ada. Karena akhirnya syarat-syarat berdirinya yang pertama, justeru adalah kekosongan dalam kehidupan bersama, yang tidak dapat atau tidak mau diisi Pemerintah. Apabila hubungan sosial sesuai dengan kehendak rakyat Hindia, organisasi seperti itu tak punya dasar, bahkan tidak pernah dilahirkan. Kedudukan hukum yang tak sama antara orang Eropa dan orang pribumi, yang sering tak menguntungkan yang disebut terakhir, merupakan batu sandungan pertama bagi banyak kaum pribumi yang sudah sadar akan pembedaan itu. Pada titik ini B.Oe. saja sudah berlawanan dengan Pemerintah, sekurang-kurangnya di masa itu. Masalah ini mungkin di masa depan tidak lagi memberi alasan untuk saling berbenturan, karena apabila kita menganggap ucapan dalam Pidato mahkota Hindia sebagai suatu janji, akan terjadi suatu awal dalam persamaan masalah hukum. Namun sekalipun hal ini dibereskan sepenuhnya, masih saja ada kasus-kasus yang menempatkan kepentingan Pemerintah jauh berseberangan dengan perjuangan B.Oe.

Namun, kekosongan ini mungkin juga terjadi oleh kekurangan intern, oleh kekurangan yang lekat pada masyarakat pribumi sendiri yang sebenarnya dapat saja ditiadakan. Hal ini dapat saya akui sepenuhnya, dan saya tahu juga bahwa B.Oe. sampai sekarang hanya bekerja ke arah itu, namun hal ini sama sekali tidak meniadakan kemungkinan tentang apa yang saya sebut di atas ini.

Orang juga menunjuk kepada kemungkinan, agar melalui penggabungan tsb., orang dapat melawan masuknya semakin jauh ke pedalaman; orang Cina, yang menguasai perdagangan kecil dan industri kecil, dan dengan ketrampilan melebihi ketrampilan pekerja Jawa, hampir menggeser mereka dari pasar kerja, sehingga dengan demikian dapat menguasai perjuangan di bidang sosial ekonomi.

Namun, bagaimanakah semestinya sikap seorang pegawai pemerintah dalam hal ini? Bukankah ia berada antara dua titik api, apabila ia mau mendengar suara hatinya?

Masalah nasional menuntut agar ia menjauhi kaum Cina sekuat tenaganya, namun sebagai abdi negara seharusnya ia bersikap netral, karena sebagai warga masyarakat yang tertib dan jujur mereka mencari nafkahnya.

Bahwa pukulan politik akhirnya harus dijatuhkan, disadari oleh sejumlah orang. Saya ingat ump. bahwa dalam masa pendiriannya, orang penuh kekhawatiran rnenyelidiki kalau-kalau organisasinya berpolitik atau tidak. Orang begitu khawatir terhadap apa saja yang berbau politik, karena organisasi-organisasi politik itu dilarang.

Lama orang timbang-menimbang, ketika seorang muda Jawa naik panggung, lalu mengambil keputusan dengan kata-kata: “B.Oe. akan menjadi serikat sosial, tapi demi tercapainya tujuan, jika perlu akan menggunakan cara-cara politik.” Dengan demikian tercapailah perdamaian: jadi bukan oraganisasi politik!

Sampai sekarang memang, B.Oe. senantiasa bekerja di bidang sosial dengan mendirikan toko-toko koperasi, sekolah-sekolah, dst. Tapi kalau begitu, apakah aksi yang dilancarkan B.Oe. dapat dikembalikan kepada perjuangan kelas yang biasa? Pasti bukanlah demikian, karena B.Oe. bukan organisasi dari suatu kelas kaum pribumi, melainkan mencakup keseluruhan kehidupan pribumi. Lagipula, dapatkah digambarkan dengan tajam pemisahannya: mana batas antara perjuangan kelas dan propaganda politik?

Terutama di Hindia dengan hubungan-hubungan yang aneh, dimana rendah dirinya orang pribumi dijunjung sebagai dalil tak terbantahkan, setiap langkah maju bagi kontingen pribumi, berarti mundurnya wibawa moral bangsa kulit putih; dan setiap perbaikan sosial orang pribumi, membuka perspektif dari konsekuensi politis.

Meskipun anggota-anggota B.Oe. semata-mata harus dicari di antara kaum terpelajar, program kerjanya seperti yang sudah kita lihat, menyebar ke seluruh rakyat; terutama diusahakan perlindungan terhadap mereka yang lemah morilnya dengan meningkatkan taraf moral rakyat. Namun dimana satu golongan rakyat itu memperkuat diri, di situ bagian-bagian lainnya harus dipersulit dalam pekerjaannya, sekalipun hanya dengan persaingan. Dan karena orang perorangan berkonsentrasi ke dalam satu badan, yang kriteria keanggotaannya adalah kebangsaan dan bukan kelas, dengan sendirinya aksi B.Oe. dibatasi dan dapatlah kita lihat dengan jelas, pertentangan antar suku. Demi rasa kemanusiaan, pemerintah harus menghadapinya dengan netral, mengapa begitu sulit keanggotaan pimpinan dari serikat yang nasionalis ini, dapat digabungkan dengan suatu jabatan dalam pemerintahan luar negeri. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, hal ini juga disadari DOUWES DEKKER, ketika itu redaktur surat kabar tsb., dan saya menemukan bagian kalimat berikut ini: “Kesalahan pertama yang dibuat perserikatan yang muda itu adalah memilih regent Karanganyar menjadi ketua.”
Penulis bukan menolaknya karena regent itu tidak siap untuk tugas tsb., sebaliknya pegawai Pemerintah tsb terkenal karena sifat-sifatnya yang baik sekali, dan berasal dari rakyat (ia sebelumnya guru), andaikan saja ia tidak memiliki prasangka-prasangka bangsawan kuno dan lebih memahami kebutuhan rakyat. Tetapi dalam prinsipnya penulis menentang masuknya pegawai tinggi pemerintah ke dalam B.Oe. Dalam hal ini ia tidak salah; karena betapa kemudian pegawai-pegawai Pemerintah yang lebih tinggi, meminta sampai memalukan pendapat residen yang bersangkutan dulu, sebelum mereka berurusan dengan B.Oe.; bagaimana kemudian ternyata “Regenten vereeniging” mengembangkan diri sebagai kelompok reaksioner dalam masyarakat pribumi.

Dan ini kembali dapat dijelaskan dengan baik; karena apabila ide baru ini diterima dimana-mana, tamatlah hak-hak istimewa kaum bangsawan; hilanglah rasa hormat yang hampir kekanak-kanakan, - yang dimiliki rakyat terhadap pemimpin-pemimpinnya, yang membuat mereka ini hidup cukup nyaman, - untuk diganti dengan rasa sederajat. Tidak mengherankan bahwa kaum bangsawan penuh keprihatinan memandang majunya proletariaat, perlahan tapi pasti.

Perjuangan ini sama dengan yang diperlihatkan Eropa pada bangkitnya burgerij dalam abad pertengahan, bedanya rakyat di Hindia sering masih mendapat dukungan Pemerintah. Karena itu gerakan yang sedang mereorganisir diri di Jawa sedikit-banyak mendapat perlawanan dari anggota-anggota bangsawan, termasuk kaum berada.

Sesudah B.Oe., banyak perserikatan lokal didirikan, namun kebanyakan lebur ke dalam organisasi besar atau menjadi cabang-cabangnya.

Bersama semua tanda-tanda perluasan kekuatan rakyat pribumi, tak bisa tidak, orang Indo-Eropa, si “Indo” terancam akan terjepit. Di satu pihak orang Eropa asli, di pihak lain orang pribumi, kedua kekuasaan itu dapat menjepitnya apabila ia sendiri tidak bertindak ekspansif pada waktunya, dan memasang kuda-kuda.

Sebagai pengimbang B.Oe, oleh kaum muda Indo-eropa didirikan “Bond van Jong Indo’s”. Sayang, di bawah pimpinan yang sangat buruk. serikat itu dipimpin orang-orang muda yang berdarah panas, yang dalam dokumen-dokumen propaganda lebih banyak mengumbar kata-kata bualan daripada memperlihatkan pemahaman dan sikap taktis. Temperamen blasteran mempermainkan serikat itu sehingga cepat mati akibat kelebihan vitalitas. Setelah diumumkan dengan hebohnya, 5 tahun lamanya orang tidak mendengar apa-apa lagi, sampai belum lama lalu muncul kembali, dalam bentuk Indische Partij yang dimurnikan dan dibersihkan. Azas-azas dari Bond van Jong Indo’s dan dari Indische Partij berbeda; yang pertama tidak mengijinkan keanggotaan orang pribumi, yang disebut terakhir, mengijinkannya. Namun apa saja bukti akhirnya? Tidak lain dari penyesuaian diri yang terakhir ini terhadap situasi. atau lebih tepat dikatakan, mereka belajar dari praktek Indo-Bond.

Azas penggabungan para Indo dilepaskan, dengan tepat, maka terwujudlah gagasan agung: tak ada pembedaan dalam hal kebangsaan, tiada pembedaan antara kulit putih, cokelat dan kuning.
Apa pun yang dapat orang bebankan kepada lndische Partij, di atas segala tuduhan, tak terbantahkan oleh keluhuran hakekatnya, adalah prinsipnya yang patut diterirna demi peri kemanusiaan: yaitu kesatuan di Hindia.

Dalam rapat-rapat B.Oe. dan organisasi-organisasi kecil lainnya, gagasan tentang kebersamaan itu disebarkan di tengah rakyat Hindia, hal mana juga didorong pers pribumi. Yang ini (pers pribumi di Jawa) harus kita bagi dua: yang pentama dipimpin orang Jawa dan berorientasi Jawa; sedangkan yang kedua di bawah pimpinan orang Minahasa atau Ambon (seperti Khabar Perniagaan dan Warna Warta) dan digerakkan dengan modal Cina.

Dengan sendirinya, jenis koran terakhir ini tidak terlalu rajin ikutserta dalam membangun suku Jawa namun menyerahkan hal ini kepada yang pertama.

Suku Jawa dibangunkan; mereka didorong menjadi lebih ekonomis; penganiayaan orang pribumi oleh orang Eropa (yang sering terjadi oleh opzichter Eropa di perkebunan atau dalam karya-karya pemerintah) dikecam keras. Orang tidak segan-segan bersusah-.payah dan menempuh segala upaya. untuk membangun perasaan dalam diri orang pribumi bahwa ia lebih dari sekedar ‘kuda beban”. Yang turut-serta memajukan penyadaran diri ini adalah fakta bahwa sejumlah dokter pribumi di Eropa meraih gelar kedokteran Belanda, dan sehubungan dengan ini dapat dibaca dalam koran-koran pribumi, artikel-artikel dengan tendensi: lihatlah, kita juga bisa, bukan’. Siapa mis. tidak mengenal narna MAS ASMAOEN? Sangatlah menarik contoh berikut ini; Seorang wartawan lndo duduk dalam sebuah bendi ketika sang kusir mengejutkannya dengan kata-kata: “Toean, apakah Mas Asmaoen sudah doktor?” sang Indo tidak tahu siapa yang dimaksud.

Sebelumnya, seorang muda pribumi tidak berani bergerak di kalangan rekan-rekan Eropanya, takut akan perlakuan yang tidak begitu baik. Betapa beberapa tahun lalu kata Inlander diucapkan dengan penghinaan tak terbatas.. Dari masa itu masih tersisa ungkapan: “Sungguh inlands”.untuk segala hal yang buruk. Berbohong itu inlands, mencuri itu inlands, semua sifat jahat itu inlands, semua sifat baik itu Eropa, sekurang-kurangnya di Hindia. Betapa asing pun bunyinya untuk telinga Eropa, hal ini memang benar. Dan atas azas inilah, dipandang-entengnya orang pribumi secara a priori itu, didasarkan ketentuan yang pada lembaga-lembaga Pemerintah disebut “cabang-cabang dinas”, - kaum pribumi mempunyai suatu traktemen yang kira-kira setengah dari yang dipunyai rekan Eropa sepekerjaannya dengan syarat-syarat yang sama. Yang saya maksudkan disini terutama Perkereta-apian Negara, namun ada lebih banyak lagi, yang menjalankan sistem memalukan tentang ‘rate of wages’ yang ganda itu. Dapat dimengerti bahwa hal seperti itu mengakibatkan komplikasi yang paling gila; jika ump. seorang pribumi mendapat bawahan orang eropa yang lebih muda yang traktemennya dua kali sebanyak traktemen dirinya. Atas dasar apa dapat dibenarkan bahwa seorang dokter pribumi dalam dinas Gubernemen untuk perjalanannya mendapat ganti-rugi f. 2,- sehari. sedangkan seorang klerk atau kondektur, kalau orang Eropa atau disamakan dengan orang Eropa, f.5,-?!.
Betapa rendahnya pendapatan para guru pribumi dibandingkan dengan klerk Eropa dsb., yang pada umumnya lebih rendah tingkat perkembangan moril dan intelektualnya. Keadaan semacam ini pasti tidak memupuk rasa puas di kalangan masyarakat pribumi yang intelektual pada umumnya. Orang jangan terkecoh oleh pikiran bahwa orang pribumi menyerah dalam hal ini dengan ketakwaan yang menjadi sifatnya, dan jangan lupa, bahwa orang pribumi intelektual ini dengan senangnya didengar oleh rakyat, oleh massa, yang merekam kata-kata mereka bagaikan ramalan-ramalan. Orang mesti mengamati kehidupan di desa dan kampung untuk dapat menyadari daya cakup para guru pribumi dan kaum terdidik Iainnya yang terpancar dari mereka terhadap rakyat. Ketika tinggal selama beberapa minggu di salah satu stasiun kecil di Perkereta-apian Priangan, saya melihat setiap malam bahwa ada heberapa orang pria dari desa mendatangi kepala stasiun untuk bercakap-cakap. Namun percakapannya terutama terdiri dari berbicaranya sang kepala stasiun tanpa hentinya dan yang lain hanya berkata “semoehoen” belaka. Dan pria ini masih berdiri di luar hubungan desa; ia bukan guru dan bukan kepala atau ‘adjie’. Betapa mudahnya ketidak-puasan ini beralih kepada rakyat. Dan kejadian-kejadian yang baru saja, membuktikan bahwa hal itu terjadi.

Orang dapat merasakan pada umumnya di dunia pribumi bahwa pertandingan dimulai dengan suatu rintangan disebabkan posisi kurang menguntungkan terhadap orang kulit putih. Kesadaran ini meresapi segala lapisan masyarakat dan mempersiapkan rakyat untuk kerjasama nasional Jawa.

Pada saat yang tepat diperdengarkanlah jeritan di Solo, panggilan untuk berhimpun dibawah bendera Serikat Dagang Islam. Penyebab langsung dilahirkannya serikat itu sudah diketahi: orang mau menjalin suatu ikatan melawan perdagangan kecil Cina. Kata Islam menarik dunia Islam, pada saat yang tepat ketika tersebar kerusuhan dan ketidak-puasan.

Namun kini terjadi suatu keanehan, suatu pertanyaan yang harus dijawab. Kebetulankah bahwa awal politik pengkristenan berlangsung pada saat yang sama dengan bersatunya unsur Islam, ataukah yang terakhir ini suatu akibat dari yang pertama? Dalam pendirian dan dalam propaganda tidak mungkin dapat kita temukan apa yang merujuk kepada agitasi melawan politik dari rejim sebelumnya, namun arus kuat para anggota untuk perserikatan ini pastilah juga suatu reaksi islam terhadap gencarnya kristianisasi, yang mengancam juga daerah-daerah Islam, namun yang kini ditiadakan, demikian harapan kita. Bagaimana pengkristenan semacam itu mencapai justru hal sebaliknya dari yang dituju, terbukti dari kata-kata seorang Jawa yang berdiam di Nederland berikut ini: “Kami berterimakasih kepada IDENBURG atas pemerintahan kristennya, karena dia telah membangunkan kami dan membuat kami merasa bahwa kami, orang Islam, bersatu.” Suatu permainan kata yang sama sekali tidak kosong, di Hindia dikenakan pada S.I. Nama ‘S.I.’ mestinya diartikan: “Salahnya Idenburg”.

Di salah satu tempat di Jawa, dengan lingkungan islam, didirikan sekolah kristen yang oleh Pemerintah disubsidi, d.k.l. ditunjang dengan pembayaran pajak juga oleh kaum islam. Ketika di tempat yang sama dimintakan subsidi untuk sekolah Islam, permohonan itu ditolak. Mestikah orang Jawa dengan ini tidak merasa, bahwa agamanya dianak-tirikan? Tiada yang lebih berbahaya daripada menimang diri sendiri hingga tertidur dengan kata-kata Dr. FOKKER, Indolog Amsterdam: “Dimana-mana Islam menderita bangkroet” jadi di Hindia juga demikian. Tidak, Islam di Hindia tidak akan menderita bangkrut, Islam yang tanpa kekerasan tapi dengan perkembangan berangsur-angsur menapaki jalannya menuju lebih dari 30.000.000 penganutnya. (prof. SNOUCK HURORONJE, Nederland en de Islam). Dan hasil apa telah diberi karya zending sejak satu abad? Dalam 1814 oleh zendeling BRUECKNER dari Nederlandse Zendingsgenootschap disebarkan Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa rendah dan bahasa Melayu sebanyak beberapa ribu, suatu bukti bahwa ketika itu Zending sudah bekerja keras. Dan hasilnya, bahwa jumlah orang pribumi kristen dalam tahun 1902 terdiri dari 19000 orang, termasuk tentara Ambon dan Manado (v. DEVENTER, Overzicht van den economischen toestand van de Inl. bevolking op Java en Madoera). yaitu satu banding 500 orang Islam. Bukankah ini bukti suatu kekalahan dari zending? Dan bila kita mengikuti tanda-tanda jaman, maka urusan zending bahkan di Minahasa, bentengnya zending, tidak seberapa baik posisinya.
Orang Jawa itu, hakekatnya Budhis, animis? Mungkin saja, namun hal itu tidak mereka ketahui. Mereka yakin, bahwa mereka Muslim sejati. Mereka samasekali tidak menyadari bahwa seluruh kehidupan rohaninya lebih condong ke kerohanian Budhis daripada ke kerohanian Islam. Hal ini terbukti dari prakteknya: ziarah ke Mekah yang setiap tahun terlaksana oleh jutaan orang, sesungguhnya tidak akan terjadi kalau bukan sentimen keagamaan membuat mereka demikian. Dan, kemana pun suatu pengelompokan terjadi dengan warna Islam, kesanalah mereka bergerak.

Itu sebabnya saya berkata, bahwa memperlakukan kekristenan lebih baik dari Islam merupakan suatu langkah kelewat berani pada papan percaturan politik. Dengan cara demikian. orang Islam akhirnya ditantang. yang akibatnya tidak menguntungkan.

Jumlah anggota di Solo dalam waktu singkat menanjak sedemikian rupa, sehingga Pemerintah demi kelancarannya rnenganggap penting untuk membubarkan serikat itu. Namun, dengan demikian jiwa rakyat tidak musnah dan di Surabaya muncul di bawah nama yang diubah; kata “dagang” dihilangkan dan serikat baru itu bernama Serikat Islam. Sekali menerima dorongan, gerakan itu berkembang, dan seperti dikatakan suatu koran Hindia: “Bagaikan monster berkepala banyak muncullah S.I. dimana-mana.”

Memang, bagaikan jamur muncullah cabang-cabang, kendati usaha-usaha Pemerintah untuk membinasakan akar-akarnya. Di Parungkuda, sebuah halte pada jalur kereta-api di Priangan, kereta-api kereta-api tak mampu memuat orang-orang yang mau ke Bogor untuk mendaftarkan diri di tempat yang ada cabang S.I.-nya. Bulan Juli y.l. jumlah anggotanya sudah melampaui 500.000 tersebar di seluruh Jawa, dan masih terus bertambah. Gerakan itu juga telah benpindah ke Sumatra; bagaimana pun di Palembang sudah berdiri sebuah cabang S.I. Apakah akan berkembang terus menyusuri pantai Timur Sumatra sampai ke Aceh yang penuh pergolakan, akan ditentukan masa depan. Hal ini bukan tidak mungkin: di antara pengontrak-pengontrak Deli mudah sekali terdapat seorang penganut S.I. yang mau membuat propagnda untuk serikatnya.

Atas pertanyaan, apa hubungan antara Boedi Oetomo dan Serikat Islam, harus saya jawab kembali: hubungan sebab-akibat. Namun bukan hanya dalam sebab-sebabnya, namun juga dalam akibat-akibatnya, dalam arah kerjanya ditemukan titik-titik persamaan antara kedua serikat ini; keduanya berjuang ke arah perbaikan sosial bagi orang pribumi pada umumnya, namun kalau B.Oe. mencakup sebagai anggotanya kelas-kelas terdidik (priayi, guru, pedagang), S.I. meliputi keseluruhan masyarakat pribumi. Jadi kita dapat memandang B.Oe. sebagai perintis. pembuka jalan bagi SI. dan sangatlah mungkin, saya hampir mau katakan: pastilah bahwa kedua serikat itu dalam waktu dekat akan saling lebur menjadi satu Bond Jawa-nasional (atau Hindia-nasional). B.Oe. otaknya, SI. daya rakyatnya, merupakan kombinasi yang sempurna. Bahwa hal ini juga disadari pemimpin-pemimpin gerakan Jawa, telah dibuktikan TJIPTO MANGOENKOESOEMO, yang dalam salah satu artikel-artikelnya memperjuangkan a.l.: (saya mengutip di luar kepala): :“Daripada memperlakukan organisasi rakyat yang muda itu (SI.) penuh kecurigaan, patutlah kita mencermati perkembangannya agar pada waktunya dapat membanting stir, apabila terancam penyelewengan.”

Lapisan-lapisan terdidik rupanya telah mendengarkan kata-kata ini, dan tidak hanya telah mengikuti S.I. dalam perkembangannya, tetapi ikutserta secara aktif, dan memasukinya sebagai anggota serikat. Bahkan bangsawan tertinggi pun memasuki serikat itu, dan kami temukan dalam S.I. suatu pertemuan yang menguntungkan dari bangsawan dan rakyat, sungguh suatu unicum dalam masyarakat Jawa dengan tradisinya yang bertahan berabad-abad lamanya hingga terbentuk hukum-hukum yang tak tergoyahkan. Putera mahkota Solo adalah pelindung serikat dan rupanya telah mendorong kaum bangsawan untuk mengenakan S.I. Apakah kerjasama kaum bangsawan pribumi dengan S.I. merupakan langkah tergesa-gesa, dan orang menyadari telah membuat tindakan berani dan telah menghancurkan diri sendiri apabila ternyata serikat ini memang akan sukses? Rupa-rupanya demikian. dan hanya dilihat dari sisi ini, dapat diterangkan bahwa Soesoehoenan dari Solo mengeluarkan suatu larangan bagi bawahannya untuk menjadi anggota S.I., padahal sebelumnya senikat sudah mengharapkan perkenanan tahta Solo.

Bagaimana pun juga, hal ini hanya membuktikan pendirian saya, bahwa setiap aliran baru dalam masyarakat Jawa akan menemukan perlawanan dari kaum bangsawan negeri itu, terutama sejauh gerakan ini memiliki karakter demagogis. yang rnenyebabkan hak-hak yang dinikmati kaum bangsawan berabad-abad lamanya harus dibinasakan. Kaum bangsawan akan senantiasa menjadi partai reaksioner apabila suatu waktu perang politik dan kelas pecah di Hindia, sekalipun ada juga partai-partai yang berhaluan lain; suatu pantulan sejati dari perjuangan di Eropa.

Sudah berkali-kali diajukan pertanyaan apakah S.I. suatu organisasi agama, dan oleh kebanyakan ini diingkari. Dalam salah satu pembicaraan malam harinya, Mr. DOUWES DEKKER yang sebenarnya tahu tentang keadaan Hindia, menyinggung masalah ini dalam arti tsb. Namun seperti kebanyakan orang, ia telah menempatkan dirinya sepihak, dengan menguji serikat ini dengan suatu esai umum tanpa memperhatikan keadaannya, Kita hanya perlu meninjau situasinya selayang pandang untuk meyakini hal yang sebaliknya.

Rakyat Hindia-Belanda dapat kita bagi seperlunya ke dalam dua kelompok : Kaum muslimin sejumlah kira-kira 30.000.000 dan yang bukan Muslim (orang Kristen, orang kafir, orang Budhis, dsb.) kira-kira 7.000.000. S.I. bermaksud membawa kelompok pertama ke dalam satu badan; namun ungkapan kebersamaan semacam ini di kalangan rakyat islam, mau tak mau menumbuhkan perlawanan di kelompok-kelompok lain.

Editor: BAGIAN KEDUA telah di-upload dan dapat dibaca diwebsite ini
=============================================
"Tabea Waya!
Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan, kisah dan kedudukan kaumnya di sepanjang masa!
Minahasa adalah bangsa yang basar!
Karena itu hargai akang torang pe Dotu-dotu deng samua yang dorang kase tinggal for torang!
Pakatuan wo pakalawiren!
Sa esa cita sumerar cita, sa cita sumerar esa cita! Kalu torang bersatu torang musti bapencar, biar lei torang bapencar torang tetap satu!
I Yayat U Santi!"

Senin, 05 Agustus 2013

MIT0LOGI & HISTORI LELUHUR MINAHASA: Pendekatan Diakronik (Suatu Tinjauan Kritis)

Oleh: Albert WS Kusen
Bert Supit, penulis buku,  Minahasa: Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986), dalam pengantar diskusi ‘Strategi Budaya demi Pakalawiren dan Pakatuan’ (2007),  antara lain menyatakan, bahwa “kita sebagai Tou-Minahasa selain mendalami dan memahami kondisi budaya masa kini,  kita kiranya diharuskan juga membina tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai-nilai perjuangan yang bermanfaat dalam kehidupan berbangsa sehari-hari.  Dalam Manifesto Kawanua (MK) di Jakarta Tahun 2004 lalu, menggarisbawahi ‘manusia Kawanua menghargai dan memaksimalkan pemanfaatan semua artefak dan sistem nilai budaya peninggalan generasi pendahulu sebagai cermin pengenalan akan jati diri kita yang menjadi modal dasar kepribadian khas bagi pengembangan strategi kebudayaan menuju manusia Kawanua yang unggul dan bahagia.

MK tersebut  dipersembahkan kepada setiap Tou-Minahasa di manapun ia berada agar dapat menjadi penunjuk jalan bagi kokohnya eksistensi dan pre-eminensi kita dalam alam modernisasi masa kini di bumi nusantara maupun di dunia. Sebagai implikasinya, di bawah ini akan dikemukakan makna dimensi-dimensi histori maupun mitologi Tou-Minahasa”.

Isu Teoritis 
Pembentukan ilmu-ilmu sosial dan institusi-institusinya terjadi dan berkembang di Asia dan Afrika pada mulanya dilakukan oleh sarjana-sarjana dan pemegang kekuasaan di masa penjajahan sejak abad ke 18, dan juga oleh orang Eropa lainnya secara langsung maupun tidak. Tinjauan atas persoalan ketidaktepatan pada tataran filosofis, teoritik, empiris, dan terapan merupakan konsekuensi dari pertemuan antara teori dan cara Barat di satu pihak dengan kenyataan setempat (nasional maupun regional/lokal) di pihak lain (Alatas 2003:3).

Sebagaimana asal-usul leluhur suatu etnik, khususnya Etnik  Minahasa, deskripsi ‘etnografinya’ (mitologi-histori)  sejak abad ke 18 cenderung didominasi oleh  penulis asing (Graflaand, Schwarz, Riedel, Palm, Adam, Wilken, etc.) yang sudah sejak lama dijadikan referensi atau sumber data penulis-penulis lokal  ketika mereka mengekspresikannya  dalam wacana (tulisan-lisan) sejarah dan kebudayaan tentang Minahasa ditambah dengan pengalaman dan/atau catatan dokumen lainnya yang dapat dipercaya validilitasnya.

Untuk maksud tersebut, maka secara konseptual diperlukan kontstruksi teori dalam mengola secara kritis sumber-sember data tersebut yang dijadikan referensi oleh penulis-penulis lokal (budayawan – sejarahwan) terkesan tidak dilatarbelakangi oleh tradisi akademik, khususnya antropologi yang lazim menggunakan konstruksi teori ketika mendeskripsikan teks tulisan suatu etnografi. Karena sebagaimana dinamika  antropologi (mungkin juga arkeologi atau ilmu sejarah) sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu sosial, setelah fase ke empat (1930-an) telah mengalami perkembangan yang pesat,  yang sampai pada era sekarang ini tahun 2000-an dikembangkan lagi oleh kalangan post-modernist anthropological Philosophy, mengenai ‘refleksitas’ (Salzman 2002). Implikasi teoritisnya, bahwa dalam mengkaji (rekonstruksi) asal usul orang Minahasa ditelaah secara antropologis, di mana salah satu pendekatannya adalah ‘deskriptif integrasi’, atau secara ‘diakronik’ (lihat Koentjaraningrat 1981; Keesing 1986; Harris 1991). Jadi, pendekatan akademiknya, sama sekali berbeda dengan humaniora (ilmu-ilmu sejarah, sastra dan filsafat).

Seperti diketahui bahwa pendekatan diakronik bertujuan untuk mencari pengertian sejarah tentang asal-usul dan perkembangan dari suatu daerah atau etnik, kemudian  mengintegrasikan dalam konteks-konteks ruang dan waktu. Di sini, penulis mencoba menyajikan data yang bersumber dari teks-teks yang ada (buku, makalah, catatan, dan ungkapan-ungkapan lisan) mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Minahasa dalam konteks sejarah, gejala sosial dan kebudayaannya masa kini. Kecuali itu, dalam mengklarifikasi  ruang dan waktunya, juga memperhatikan temuan arkeologi - fosil-fosil atau artefak-artefak yang pernah terdapat di Minahasa maupun yang terdapat pada masyarakat atau etnik sekitarnya. Semua data atau informasi dikumpulkan secara integratif diolah menjadi satu.

Hasil kajian,  relatif dapat diinterpretasi makna identitas leluhur orang Minahasa yang selama ini dipandang secara beragam baik oleh kaum awam maupun oleh mereka yang dianggap sebagai penulis lokal (native), dikenal sebagai budayawan, sejarawan yang telah menulis tentang Minahasa (Watuseke, Wuntu, Supit, Sinolungan, Lapian,  Kotambunan, Sendouw, Mambu, Wenas, Umboh, Gosal).

Menelusuri Dimensi-Dimensi Mitologi dan Histori Leluhur Minahasa
Difusi. Berdasarkan telaah diakronik (perbandingan data pra-sejarah),  diperkirakan di tanah Minahasa sudah ada manusia,  sekitar lebih dari 7000 tahun sebelum masehi (SM). Rentang waktu ini dapat dipertimbangkan kesahihannya,  karena   didukung oleh adanya temuan fosil dari arkeolog asal Australia bernama Peter Bellwood, mengenai  sisa-sisa makanan manusia purba orang Minahasa, seperti anoa, babi hutan, monyet, tikus, burung penyu dan ular,  dan juga kapak  batu terletak  didekat danau Tondano, tepatnya di desa Paso.  Secara arkeologis,  fosil-fosil ini sudah berusia sekitar tahun tersebut.

Mengenai kapak batu di Sulawesi Utara (Minahasa), terdiri dari tiga jenis kapak batu (segi empat, tangga, dan lonjong). Kapak batu bulat lonjong yang di Minahasa (desa Paso), berumur sekitar masa 5000 tahun yang lalu. Sama seperti yang ditemukan di luar Indonesia, antara lain dari Filipina, Jepang dan Yunan (Cina Selatan). Dalam kaitan dengan temuan kapak batu bulat lonjong yang ditemukan di Minahasa tersebut, tentunya perlu dilihat dengan menggunakan pendekatan teori difusi yang sering digunakan oleh ahli antropologi dalam mengkaji asal-usul persebaran kebudayaan (fisik maupun non-fisik) dari satu tempat ke tempat lainnya.

Seorang arkeolog yang bernama Fritz Wagner memberikan analisis, bahwa kebudayaan di kepulauan Indonesia berasal dari wilayah Yunan di Cina Selatan yang menyebar ke kepulauan Indonesia sekitar tahun 4500-3000 BC. Hal ini, secara teoritis menunjukka bahwa asal usul kapak tersebut kemungkinan bisa  datang atau dibawa dari wilayah Yunan, Vietnam Utara,   melalui P. Formosa Taiwan, kemudian ke Filipina sampai akhirnya ke Minahasa, yang kemudian membentuk masyarakat etnik Melayu-Tua (lihat Wenas 2007:28).

Dengan demikian, berdasarkan ruang dan rentang waktu yang disimpulkan oleh para arkeolog berdasarkan hasil temuan-temuan fosil di atas, maka wilayah Minahasa atau tepatnya di kawasan danau Tondano (desa Paso) mulai didiami manusia yang makan kerang air tawar mulai 5000 sampai 3000 atau 1000 tahun tahun SM. Dengan demikian, secara diakronik (didukung data arkeologi), di kawasan danau Tondano inilah merupakan tempat pemukiman pertama dan terlama dihuni oleh leluhur Minahasa. Alasan teoritisnya, adalah bahwa sejak ditemukan fosil makanan orang purba dan kapak batu di kawasan tersebut, belum diperoleh data arkeologi adanya temuan fosil tersebut di tempat lain di wilayah daratan Minahasa.

Untuk maksud tersebut dapatlah dipertanyakan dan/atau dikaji lagi kebenaran  atas asumsi sosok  Lumimu’ut adalah makhluk manusia pertama yang pertama kali yang ada di Tanah Minahasa.  Apakah   Lumimu’ut lebih dahulu ada setelah manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano (fosil manusia purba), seperti apa yang telah dinyatakan di atas, diperkirakan mereka hidup sekitar tahun 7000-5000 BC? Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa asumsi-asumsi mengenai asal-usul Lumimu’ut berdasarkan perspektif  difusi ada hubungannya dengan temuan para arkeolog di atas, yakni mereka datang dari daratan Asia kemudian bermigrasi ke Jepang, P. Formosa, Filipina dan akhirnya sampai ke Minahasa. Untuk maksud tersebut, tidaklah berlebihan  saya akan coba untuk merekonstruksi sedemikian rupa asal-usul Lumimu’ut, bahwa berdasarkan  ciri-ciri fisik atau  ras, tergolong ras mongoloid-tua (mata sipit, kulit kuning lansat), dapat  diasumsikan berasal dari beberapa tempat, seperti yang dikemukakan di bawah ini.

1)  Dari daratan Asia Mongolia, bermigrasi ke Jepang, masuk P. Formosa (Taiwan), Filipina,  dan terdampar di pesisir barat Minahasa,  kemudian turunannya mengembara  ke pedalaman pegunungan Wulur Mahatus dan menyebar di daratan Minahasa, termasuk manusia-manusia yang mendiami kawasan danau Tondano tersebut?
2)   Dari daratan Cina Selatan (Yunnan), langsung ke Filipina, masuk Kalimantan (suku Dayak), dan bermigrasi ke Sulawesi (Minahasa)?

Sebagai catatan,  oleh karena secara akademik isu migrasi leluhur Minahasa (Lumimu’ut) yang ungkapkan di atas  belum dapat dipastikan kebenarannya, maka perlu direkonstruksi sedemikian rupa asumsi-asumsi historis maupun mitologisnya dengan menelusuri latar belakang Lumimu’ut yang dipercaya sebagai perempuan perkasa (Dewi Bumi), adalah manusia pertama yang menginjak kakinya di bumu Malesung.  Untuk jelasnya simak pengungkapannya dalam versi mitologis maupun historis  di bawah ini

Reinterpretasi Dimensi  Mitologi Leluhur Minahasa
Seperti diketahui bahwa interpretasi asal usul sosok Lumimu’ut sebagai orang pertama di Tanah Minahasa dalam koteks mitologis, berdasarkan wacana lisan (cerita rakyat dari mulut ke mulut),  Lumimu’ut adalah seorang putri raja dari negeri seberang. Mungkin karena sang raja (ayah dari Lumimu’ut) tidak menginginkan anak perempuan sebagai pewaris tahta kerajaan, maka dikeluarkan titah atau perintah kepada pengawalnya untuk membuang bayi Lumimu’ut tersebut ke tengah laut. Ternyata di tengah laut bayi Lumimu’ut tidak dibiarkan sendirian, namun  mungkin karena sang pengawal ini merasa iba terhadap bayi,  diantar bayi tersebut sampai  ke pesisir daratan Minahasa.

Kehadiran tokoh Karema sebagai penentu berlanjutnya kisah Lumimu’ut ini, adalah sebagai dewi bintang (lihat Wenas 2007), yang dikenal dengan bintang berekor (komet helly). Turun ke bumi  kemudian berwujud menjadi makhluk bumi (manusia),  karena merasa tertarik  melihat Lumimu’ut yang sendirian di pesisir daratan Minahasa tersebut. Maka proses selanjutnya dipeliharalah Lumimu’ut sebagai seorang gadis yang cantik. Singkat cerita, akhirnya melalui ‘perantaraanKarema mendayagunakan alat reproduksi Lumimu’ut supaya hamil, kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki yang dinamakan To’ar (mitos dewa langit).

Setelah Toar beranjak menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa (tuama), timbul inisiatif dari  Karema untuk mencarikan  jodoh agar  Toar maupun Lumimu’ut dapat memiliki keturunan.   Karema pun membuat kesepakatan dengan Toar dan Lumimu’ut agar masing-masing mengembara (Toar ke utara’ dan Lumimu’ut ke selatan) untuk mencari jodoh sebagai pasangan hidup masing-masing. Dibuatlah aturan main, dengan cara mengambil dua buah potong tongkat bentuknya sebangun dan sejajar, kemudian diserahkan kepada mereka. Alasan  dibuatnya aturan ini, untuk meyakinkan agar orang lain yang ditemukan adalah bukan dari antara mereka sendiri.  Dengan kata lain, bahwa  apabila ditemukan seseorang (lawan jenis) membawa tongkat bentuknya berbeda, maka yang bersangkutan diperkenankan untuk dijadikan sebagai istri atau suami.

Singkat cerita, akhirnya To’ar bertemu dengan seorang perempuan yang membawa tongkat bentuknya berbeda dengan miliknya. Maka, sesuai dengan  aturan yang digariskan oleh Karema dijadikanlah perempuan tersebut sebagai  istrinya,  yang tak lain adalah Lumimu’ut. Termasuk juga dalam versi mitologis ini, adalah cerita asal usul Karema dan Toar-Lumimu’ut yang diungkapkan dalam bentuk syair lagu, yang berjudul asli “De Zang Van Karema” (‘Nyanyian Dewi Karema’). Dapat dikatakan bahwa hampir semua sub-etnik Minahasa, terutama ke-empat sub-etniknya, yaitu Toulour, Tombulu, Tountemboan, Tonsea mengetahui syair lagu ini. Pernah dinyanyikan pada upacara ‘Mangorai’ yang dinilai oleh penulis H. Van Kol (1903:160) bahwa syair dalam nyanyian ini paling lengkap dan estetika tata-bahasanya paling indah, ditemukan di wilayah sub-etnik Tombulu (syair-syairnya lihat lampiran bab ini). Kisah mitologis mengenai Karema¸Lumimu’ut dan Toar di atas, hampir ada kesamaan dengan kisah mitologi Yunani tentang Odipus-Complex  (percintaan antara ibu dan anak laki-laki); dan cerita legenda masyarakat Sunda, yang dikenal dengan sangkuriang.
 
Reinterpretasi  Dimensi Histori Leluhur Minahasa
Dalam konteks akademik, bagaimanapun juga  versi mitologi yang dimaksud di atas, tidak dapat dijadikan sebagai pengetahuan ilmiah atau  secara akal sehat (misalnya, Karema adalah wujud dari bintang berekor yang turun ke bumi), maka tidaklah berlebihan pada seksi ini saya akan coba menyajikan dalam versi historis, diperkirakan sekitar abad ke empat masehi. Bahwa sesungguhnya Karema itu bukanlah dewi bintang berekor yang turun dari langit, tetapi dia adalah seorang perempuan separuh baya berperan sebagai pemimpin dayang-dayang istana.

Berkenaan dengan adanya perintah raja kepada pengawalnya untuk membuang/membunuh bayi Lumimu’ut, Karema  ditugaskan oleh ratu (ibu Lumimu’ut) agar secara diam-diam mendampingi sang pengawal merawat bayi Lumimu’ut. Sang ratu tidak berdaya mencegah keputusan raja karena sesuai dengan adat atau peraturan keluarga kerajaan, bahwa apabila anak pertama lahir bayi perempuan, maka anak tersebut dibunuh atau dibuang ke tengah laut. Seperi cerita di atas, sang pengawal pun bersama dengan Karema mengantar bayi Lumimu’ut sampai ke suatu tempat di Minahasa. Perkiraan penulis, tempat pertama yang dituju  mungkin di pesisir kawasan pantai timur Minahasa. Akhirnya sang pengawal menyerahkan bayi Lumimu’ut kepada Karema untuk memeliharanya.

Sesuai dengan namanya, Karema mungkin  keturunan  suku bangsa Mongol, sedangkan orang tua Lumimu’ut adalah pangeran atau raja yang berasal dari kerajaan-kerajaan kuno di daratan Cina Selatan (Yunnan). Untuk itu, apabila dihubungkan dengan adat pembuangan/ pembunuhan bayi perempuan (infanticide) yang pernah menjadi tradisi bangsa Jepang kuno dan suku-suku bangsa lain yang ada di daratan Tiongkok (lihat Singarimbun 1985), maka boleh jadi Lumimu’ut ini berasal dari negeri yang melaksanakan tradisi tersebut (Jepang). Tafsiran ini juga didukung oleh  penjelasan dari ahli bahasa Adriani, bahwa ‘Toar’ (tou + ari = manusia karunia dewa), dalam bahasa Minahasa   tou= manusia, dalam bahasa Jepang ‘hito’ (sito)= orang atau manusia. Selanjutnya, menurut Kruyt bahwa waruga (kuburan kono orang/dotu Minahasa) ada kesamaan dengan keranda-keranda (steenhouwere) yang ada di Jepang, Formosa, Filipina (Luzon) dan napu-napu di Sulawesi Tengah (lihat Umboh 1985:24).

Kecuali itu, ada juga yang menghubungkan dengan melihat ciri atau gaya berkuda orang Minahasa mirip dengan gaya berkuda bangsa Jepang, atau bangsa Mongol yang terkenal dengan pasukan berkudanya dan  pemberani dalam berperang. Mungkin melalui Karema mensosialisasikan  bagaimana kehebatan  berkuda pasukan Jenghis-Khan yang melegenda itu. Berdasarkan kisah historisnya pernah menaklukkan hampir semua kerajaan di Asia (Cina, India, Persia), dan sebagian Eropa (Rusia, Spanyol, Italia dan Jerman). Kesempatan ini penulis akan mengemukakan asumsi-asumsi migrasi leluhur orang Minahasa, adalah sebagai berikut.

Argumentasi linguistik yang menolak pendapat asal-usul Lumimu’ut tersebut (tidak ada kesamaan bahasa antara orang Minahasa dengan bangsa Cina, Mongol dan Jepang), secara teoritis  tidak mendasar karena Lumimu’ut ketika itu masih bayi so pasti tidak dapat mewariskan wacana (lisan maupun tulisan) bahasa/dialek dari negeri asal yang bersangkutan.

Kisah Karema, Lumimuut dan Toar. Dalam konteks historis, berdasarkan wacana tulisan (karya sastra budaya Minahasa)  dalam  Mewoh, dkk (2000), diceritakan bahwa pada era kejayaan bangsa Mongol (700 AC), Genhis Khan (Tamujin) merupakan sosok jenderal yang paling ditakuti di seluruh kawasan Asia Tengah, bahkan kawasan Persia, Arab, dan sebagian Eropah. Pada suatu ketika, pasukan berkudanya diarahkan  menyerang kerajaan Shin atau Tionghwan (Cina). Akan tetapi, karena tembok cina begitu kokoh, menyebabkan pasukannya melakukan tindakan penyusupan ke seberang tembok. Salah satu prajurit Mongol, yang gagah berani, dan memiliki kecerdasan menguasai bahasa Han,  berhasil masuk ke istana raja tanpa dicurigai. Tanpa disadarinya, ada seorang perempuan tua yang  juga berasal dari Mongol, selalu mengikutinya. Ternyata sang prajurit Mongol itu adalah cucu satu-satunya perempuan tua itu yang berusaha untuk melindunginya demi kelangsunan tururannya.  Karena semua anaknya sudah mati di medan perang, salah satiunya adalah  ayah dari prajurit Mongol tersebut.

Di dalam istana raja, pemuda Mongol ini bertemu dengan seorang putri bernama Lu Ming  yang sedang dirudung susah, karena sang putri akan dijodohkan dengan salah satu putra dari keluarga kerajaan lain. Akhirnya pemuda Mongol ini mampu menghibur sang putri yang bermuara pada percintaan. Sang raja pun murkah mendengar kabar bahwa putrinya telah menjalin cinta dengan pemuda Mongol tersebut, apalagi diketahui sang putri sudah hamil. Sebagai konsekuensinya, sang pemuda dan sang putri diberi hukuman berat oleh sang raja, keduanya dijatuhi hukum mati. Tapi karena istri raja/ratu keberatan atas vonis mati sang putri, diganti dengan hukuman sang putri di buang ke luar istana melalui lautan, sedangkan sang pemuda tetap menemui ajalnya di tiang gantungan.

Dengan menggunakan perahu rakit, dibuanglah sang putri ke tengah laut. Perempuan tua yang menyadari bahwa bayi yang dikandung sang putri adalah keturunan satu-satunya, berusaha melindungi sang putri di lautan dengan menggunakan perahu rakit. Perempuan tua itu mengikuti perahu rakit yang membawa sang putri dari belakang. Tiba-tiba di tengah lautan, perahu rakit mereka saling bertabrakan karena dihantam gelombang badai. Keduanya pingsan. Perahu rakit mereka dibawa arus dan terdampar di suatu daratan.  Setelah siuman, betapa gembiranya perempuan tua itu,  melihat sang putri yang sedang pingsan masih bernafas. Tanpa membuang waktu, diangkatlah sang putri dibawa ke tengah hutan. Setelah sadar, sang putri terkejut melihat perempuan tua di depannya. Akhirnya, setelah perempuan itu menceritakan kejadian di tengah laut sampai terdampar di daratan, sang putri pun sadar bahwa perempuan itu yang menolongnya.

Selama di hutan, perempuan tua itu merawat sang putri begitu penuh dengan kasih sayang. Selain merawat sang putri  yang sedang hamil, mencari makanan, membuat pakaian dari kulit kayu, tetapi juga melindunginya dari ancaman hewan liar yang ada di hutan. Bagi sang putri perempuan tua itu sudah dianggap sebagai orang tuanya. Apalagi keberadaan perempuan tua ini dilihat oleh sang putri memiliki  kesaktian, arif dan baik hati.  Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak menceritakan hubungannya dengan pemuda Mongol yang tak lain adalah cucunya.

Oleh karena hubungan antara perempuan itu dengan sang putri sudah seperti anak dan ibu, dibuatlah perjanjian atau sumpah dalam suatu upacara yang diatur oleh perempuan itu, sehubungan dengan bayi yang akan dilahirkan sang putri. Sumpahnya adalah, apabila yang lahir bayi perempuan, maka sang putri akan mengabdikan sepanjang hidupnya kepada  perempuan tua itu; tetaoi, apabila yang lahir bayi laki-laki, maka sang putri senantiasa harus taat atas segala perintah dari perempuan itu. Upacara sumpah ini ditandai dengan batang pohon tawa’ang yang ditanncapkan ke tanah.
Sang putri yang dahulu bernama Lu Ming diganti oleh perempuan tua itu menjadi Lumimuut, dianalogikan seperti peluh yang berasal dari batu karang. Secara simbolik, peluh menunjukkan sifat pekerja keras, sedang batu karang menunjukkan kekuatan, ketegaran yang mudah goyah oleh kemelut apa pun.

Perempuan tua itu sendiri, namanya disebut Karema, dianalogikan sebagi orang yang mendahului, atau lebih awal dari ayah yang mula-mula. Artinya, bayi yang akan dilahirkan sang putri adalah anak dari cucunya perempuan tua itu. Setelah Lumimu’ut melahirkan, lahir bayi laki-laki dinamakan Toar yang dianalogikan seperti tu’ur atau inti dari pohon.

Arti lain dari Toar adalah pusat angin (Tuar), dianalogikan angin mempunyai sifat abadi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, yang senantuasa bertumbuh dan meyebar. Lahirnya Toar sebagai bayi laki-laki, konsekuensinya Lumimuut harus mentaati sumpahnya, yakni harus mentaati apa yang dimaui Karema. Setelah sembilan bulan purnama, sang bayi lepas menyusui, diajaklah Luminuut ke tempat di mana pohon tawa’ang itu ditancapkan. Kemudian, Lumimuut diperintahkan untuk meninggalkan sang bayi,  mencabut pohon tawa’ang dan membawanya ke mana saja yang dia tuju. Karena dengan membawa pohon tawa’ang Lumimuut akan bertemu dengan seorang laki-laki yang akan menjadi suaminya.

Demikian juga dengan Toar, seiring dengan waktu selama hidupnya dirawat, dididik, dan dibesarkan oleh Karema. Setelah menjadi sosok pemuda tampan, Karema menginginkan supaya mencari pasangan hidup. Sebagaimana yang dialami Lumimuut harus mengembara mencari pasangan hidup di mana saja, demikian juga Toar harus membawa batang pohon tawa’ang sebagai tanda sumpah. Apabila bertemu dengan perempuan yang membawa pohon tawa’ang yang berbeda ukuran panjangnya, perempuan itulah jodohnya.

Dalam pengembaraan melintasi sungai dan hutan, akhirnya Lumimuut dan Toar bertemu di pegunungan yang bernama Wulur Mahatus. Berdasarkan sumpah yang ditetapkan oleh Karema, berjodohlah Toar dan Lumimuut sebagai pasangan suami istri, dikarenakan pohon tawa’ang  yang dibawanya berbeda.

Refleksi: Tinjauan Kritis
Berkenaan dengan kisah migrasi/perjalanan Lumimu’ut sampai ke tempat tujuan tanah Minahasa, penting  untuk diwacanai melalui  suatu tinjauan kritis (critical review) atas cerita yang pernah diungkapkan oleh penulis-penulis asing maupun penulis lokal lainnya (lihat Sinolungan 1992).  Dapat ditegaskan bahwa terdapat kelemahan mendasar berkenaan dengan isu historic-linguistic-nya, khususnya kasus Lumimu’ut datang bermigrasi ke Minahasa berwujud sebagai seorang putri raja/gadis cantik (dewasa) bersama rombomgan yang melarikan dari tempat asalnya; versi cerita lain, Lumimu’ut  dibuang oleh ayahnya/raja,  karena ketahuan bercinta dengan lelaki yang bukan pilihan sang ayah/raja. Tentunya sebagai seorang gadis (diperkirakan berusia 17-20 tahun) secara linguistik sudah dapat berbahasa lisan maupun tulisan.

Yang menjadi permasalahan adalah, bahasa apa yang digunakan oleh Lumimu’ut dan rombongannya itu?
Kalau dikatakan mereka berasal dari wilayah Cina Selatan Yunan, Jepang atau Mongol, maka  logikanya bahasa (lisan-tulisan) yang digunakan oleh Lumimu’ut adalah kedua bahasa tersebut? Jika demikian, maka  bahasa yang dimaksudkan ini diwariskan ke anak, cucu, dan turunan-turunan Toar-Lumimu’ut? Pertanyaannya, adakah situs tulisan atau huruf Cina atau Jepang tertera di batu yang ada di Watu Pinawetengan? Atau setidaknya terdapat kosa kata Cina atau Mongol dalam teks-teks lisan maupun tulisan dalam bahasa/dialek pada ke empat sub-etnik orang Minahasa (Tombulu, Tonsea, Toulour, dan Tountemboan)?

Akan tetapi, bagi orang Minahasa,  menyangkut identitas asal-usulnya sejauh ini tidak mempersoalkan latar belakang asal-usulnya, apakah historis atau mitologis. Yang penting, sebagaimana adat Minahasa tempo doeloe, siapa pun manusia yang bermukim di tanah malesung, harus menyatakan secara terbuka bahwa yang bersakutan adalah turunan Toar-Lumimu’ut. Diinformasikan oleh Swarzh (1890) barangsiapa mengingkari asal-usul turunannya bukan dari Toar-Lumimu’ut, sangsi hukumnya adalah ‘potong kepala’ di batu pinabetengan.
-------------------------------------------------------
Hill Street, 15 November 2010