Selasa, 30 Juli 2013

PEMBERIAN NAMA PADA TOU MINAHASA

Silsilah dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan, matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.
Sesuai adat istiadat dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum dimakamkan.
Juga adat dan kebiasaan dari zaman Malesung, para orang tua memberi nama pada turunannya atau anak-anaknya dengan berbagai arti antara lain : nama Dewa, Bintang, Gunung, hasil Nujuman [Penglihatan atau Mimpi], Kejadian Alam maupun Musim, nama kayu/pohon, juga kata majemuk yang memakai sisipan atau imbuhan yang mengartikan suatu hal atau suatu kejadian.
Masyarakat Minahasa tidak mengenal / memakai  “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.
Pencantuman nama bapak dibelakang nama sendiri mula-mula hanya “bersifat keterangan” bahwa yang bersangkutan adalah anak dari nama tersebut, pada saat itu sudah banyak terjadi perkawinan antara masyarakat setempat dengan pendatang dari Eropa.
Pencantuman nama orang tua [Bapak] ini mulai terjadi sekitar akhir abad tujuh belas terutama
di-Wilayah Walak yang lebih dahulu mengenal atau berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa.
Wilayah-wilayah tersebut ialah : Ares, Kalabat Atas [Maumbi], Kalabat Bawah, Manado, Bantik, Tombariri, Kakaskasen dan Tonsea tetapi “Pencantuman nama orang tua” ini belum menjadi kebiasaan umum, juga para pemuka / pimpinan masyarakat belum terbiasa dengan hal ini
[ cat : sekitar tahun 1670 ada 23 Walak di Minahasa ].
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri Baru / Titiwungen ].
Ditahun 1851 barulah kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya pajak [Belasting] oleh Residen saat itu  [ Residen Scherius ] yang diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa
[ Penerapan kode sipil ].
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].  
“Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.
Nama Keluarga atau Fam Mamahit awalnya nama dari Ukung Tu’a Mamahit [Tu’a im walak / Kepala Walak Remboken] salah satu anak dari Mioyo dan istrinya Rumawen, mereka berasal dari Walak Remboken – Minahasa.
Mamahit lahir pada sekitar tahun 1750 dan kawin dengan Mawi’ikit mereka dikaruniai tujuh orang anak, lima laki-laki dan dua perempuan.
.
Makassar, 18 Juni 2003

W L J Mamahit

1 komentar:

  1. Saya F.A.Nixon mamahit sangat bangga sebagai org minahasa mempunyai fam yg turun temurun

    BalasHapus