Rabu, 31 Juli 2013

CITA-CITA MINAHASA

Tabea samua,bagimana menurut ngoni....MASIH ADAKAH SAM RATULANGI YG VISIONER pa tong pe pemimpin bangsa minahasa bahkan mampu meletakan BANGSA MINAHASA BUKAN SAJA SAMA DENGAN BANGSA LAENG MAR LEBE DAR BANGSA LAENG?

"Jadi, tugas kami adalah bagaimana menjamin kelanjutan eksistensi Bangsa Minahasa sambil sedapat mungkin memperkecil penetrasi asing."
(Dr. Sam Ratulangi, Cita-Cita Minahasa, Indische Vereniging 28 Maart 1914 di Den Haag)

Selasa, 30 Juli 2013

PEMBERIAN NAMA PADA TOU MINAHASA

Silsilah dalam masyarakat Minahasa sudah dikenal dari jaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
Para Walian [Pimpinan agama adat suku] selain ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan, matahari dan mengamati bintang-bintang tertentu untuk menentukan musim menanam mereka juga dapat menghafal silsilah sampai puluhan generasi dan menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur yang ada.
Sesuai adat istiadat dari zaman Malesung, silsilah ini akan dituturkan pada saat ada perkabungan, para Tua-tua adat atau Paendon Tua [Tua-tua dalam keluarga] akan menuturkan silsilah dari orang yang meninggal sebelum dimakamkan.
Juga adat dan kebiasaan dari zaman Malesung, para orang tua memberi nama pada turunannya atau anak-anaknya dengan berbagai arti antara lain : nama Dewa, Bintang, Gunung, hasil Nujuman [Penglihatan atau Mimpi], Kejadian Alam maupun Musim, nama kayu/pohon, juga kata majemuk yang memakai sisipan atau imbuhan yang mengartikan suatu hal atau suatu kejadian.
Masyarakat Minahasa tidak mengenal / memakai  “Nama Keluarga” atau “Fam”, setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa barulah mereka mengenal hal ini.
“Nama Keluarga” atau “Fam” [Bhs. Belanda : Familie naam] dalam masyarakat Minahasa kini, tidak terlepas dengan silsilah-silsilah dan nama-nama yang ada dari zaman dahulu.
Pencantuman nama bapak dibelakang nama sendiri mula-mula hanya “bersifat keterangan” bahwa yang bersangkutan adalah anak dari nama tersebut, pada saat itu sudah banyak terjadi perkawinan antara masyarakat setempat dengan pendatang dari Eropa.
Pencantuman nama orang tua [Bapak] ini mulai terjadi sekitar akhir abad tujuh belas terutama
di-Wilayah Walak yang lebih dahulu mengenal atau berhubungan dengan bangsa-bangsa Eropa.
Wilayah-wilayah tersebut ialah : Ares, Kalabat Atas [Maumbi], Kalabat Bawah, Manado, Bantik, Tombariri, Kakaskasen dan Tonsea tetapi “Pencantuman nama orang tua” ini belum menjadi kebiasaan umum, juga para pemuka / pimpinan masyarakat belum terbiasa dengan hal ini
[ cat : sekitar tahun 1670 ada 23 Walak di Minahasa ].
Memasuki pertengahan abad delapan belas kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini sudah mulai terjadi di seluruh Walak Minahasa walaupun juga belum menjadi kebiasaan umum [ cat : sekitar tahun 1770 sudah ada 24 Walak di Minahasa dengan adanya Walak Negeri Baru / Titiwungen ].
Ditahun 1851 barulah kebiasaan “Pencantuman nama orang tua” ini menjadi kebiasaan umum bahkan diharuskan dan menjadi “Nama Keluarga” akibat diberlakukannya pajak [Belasting] oleh Residen saat itu  [ Residen Scherius ] yang diatasnamakan kepala keluarga dan lelaki dewasa
[ Penerapan kode sipil ].
Ini pertama kali pajak diberlakukan di Minahasa yang dinamakan “Pajak Hasil” dari sinilah masyarakat Minahasa secara resmi memakai “Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” dan dilindungi oleh Undang-undang adat sipil [ Wetboek Van Civile Zaken tahun 1915 ].  
“Nama Keluarga” atau “Nama Turunan” bersifat tetap / permanen, tidak dengan mudah diganti dan tidak dengan sembarangan dipakai karena menyangkut hubungan darah atau hubungan keluarga dengan nama turunan tersebut.
Nama Keluarga atau Fam Mamahit awalnya nama dari Ukung Tu’a Mamahit [Tu’a im walak / Kepala Walak Remboken] salah satu anak dari Mioyo dan istrinya Rumawen, mereka berasal dari Walak Remboken – Minahasa.
Mamahit lahir pada sekitar tahun 1750 dan kawin dengan Mawi’ikit mereka dikaruniai tujuh orang anak, lima laki-laki dan dua perempuan.
.
Makassar, 18 Juni 2003

W L J Mamahit

SI PISOK PADA JAMANNYA

Sarang Burung Pulau Lembe  1750 — 1905

           Sebelum kedatangan bangsa Portugis di Minahasa tahun 1512, sarang burung pisok (walet) di pulau-pulau pantai Minahasa telah jadi barang dagang pelaut Cina yang ditukarkan dengan barang porselen.
Karena beras dan sarang burung Pisok menjadi barang dagangan utama Minahasa maka padi dan burung pisok sering muncul pada syair lagu-lagu maengket .

           Catatan tertulis pertama mengenai produksi sarang burung Pisok Minahasa dibuat gubernur VOC - Belanda Padtbrugge ketika datang membuat kontrak kerja sama dengan Minhasa tahun 1679
sebagai berikut ;
"....... vogelnestjes vallen omtrent Manadoschen hoeck, Lembeh, Datahans en endere eilanden made er jaarlijks thien picols gepluckt werden."
Terjemahan bebasnya adalah bahwa sarang burung di Minahasa terdapat di pulau Lembe, pulau dekat Ratahan, tanjung Torawitan menghasilkan sepuluh pikul [ 625 kg ] setahun .

           Ketika Tololiu Supit menjadi Kepala Walak, karena istrinya keturunan Dotulong, dia menuntut pembahagian keuntungan penjualan sarang burung pulau Lembeh .
Terjadilah sengketa antara dinasti Supit Tomohon Tombulu dengan dinasti Dotulong Kema Tonsea. Sengketa itu tercermin pada isi surat gubernur VOC - Belanda di Ternate tanggal 11 Mei tahun 1750 kepada Xaverius Dotulong kepala walak Kema-Tonsea, antara lain sebagai berikut ;   "....... dikabarkan bagi sahabat bertanya djikalau bagaimana Kema dengan orang Tomohon akan berdamai atau tidak, agar Kema dengan Tomohon badame dengan segera-segera supaya kami Companija akan suka-suka mendengar. Hukum Kema sudah bersuka menerima kain dari Companija buat baik pada negeri sabla, tapi beta dengar katanya kain tiada sampe [ diberikan pada orang Tomohon ]. Jikalau dapat orang Bantik datang di Batu puti boleh tangkap dan ikat bawa pada Commandant di Manado, karena barangkali dia orang mau mencuri sarang burung. Lagi jikalau sudah ada sarang burung biar Hukum Kema antar kamari [ ke- Ternate ] dalam ini bulan. Tertanda Gubernur Ternate G.R. De Cock."

           Antara tahun 1765 - 1785, harga sarang burung pisok naik satu pond dua ringgit hingga terjadi perebutan pulau Lembe diantara keluarga dinasti Tonsea.
Xaverius Dotulong mengirim surat kepada gubernur Belanda di Maluku Hermanus Munnik untuk mensahkan bahwa pulau Lembe bukan "Kalakeran" tapi miliknya sendiri berdasarkan warisan, surat tanggal 3 Februari 1770 antara lain berbunyi ; "....... Beta dengan senang hati menyatakan jang bahuwa pulai lembe sudah dari dulu beta empunya dotu sudah empunya, tete Wenas Lumanau serahkan serakan sama beta punya bapak Runtukahu yang sudah bawah kiriman sarang burung kepada kompeni. Maka bapa beta telah menduduki pulou lembe sampai mati, dan sakarang beta menduduki pulau lembe hingga pada anak-anaku. Tjuma itulah permintaan kepada paduka tuan yang mulia kiranya permintaan beta disetujui."

           Permintaan Xaverius Dotulong untuk memiliki pulau lembe sebagai hak waris disetujui Gubernur Belanda Hermanus Munnik dengan suratnya tanggal 17 April 1770 sebagai berikut ; "........ oleh karena ukung kema Xaverius Dotulong telah menyatakan kepada kami bahwa pulau lembe milik mereka sejak dahulu. Maka dengan demikian kepada ukung Kema Dotulong dan temurunnya mengijinkan hak buat sendiri mengambil hasil-hasil dipulau lembe mengesahkan pemilikan pulau itu kepadanya pada kesempatan pengambilan sarang burung dengan izin yang terartur dari dari pemerintah Hindia Belanda."

           Tetapi karena pulau Lembe milik Pakasaan Tonsea maka anak-anak bekas dari kepala walak yang karena perkawinannya sudah menjadi penduduk Manado, Bantik, Ares, Negeri Baru - tidak menyetujui pengakuan gubernur Hermanus Munnik tersebut .

           Tahun 1776 terjadi serangan bajak laut dari Mangindanau Philipina Selatan di Kema yang juga tertarik sarang burung yang ada di pulau Lembe, anak-anak Xaverius Dotulong yakni Watok, Supit dan Rumondor berhasil mempertahankan Kema. Sehingga residen Belanda Wendholt datang di Benteng Manado tahun 1779 menyerahkan surat kepada Hukum Kema Xaverius Dotulong untuk memiliki sendiri pulau Lembe dan melarang orang lain mengambil sarang burung di pulau itu .
Dan untuk keluarga-keluarga Tonsea di walak Manado, Ares, Negeri Baru, Kalabat Atas, Kalabat Bawah, mendapat hadiah kain "Salempuris" warna coklat biru tua dari Belanda .

           Tapi antara tahun 1896 - 1908 sengketa pulau Lembe muncul lagi yakni dari cucu-cucu Xaverius Dotulong yang menggunakan jabatan mereka minta hak atas produksi pulau Lembe, antara lain J.A. Worotikan - Hukum Kedua Manado, F.H. Dotulong - Majoor Sonder, A.L. Waworuntu - ex Majoor Sonder, J.A. Lasut - Majoor Ares Manado, Herman Wenas - Majoor Tomohon .
Hanya Karena harga sarang burung merosot di periode setelah tahun 1900-an, maka sengketa pulau Lembe itu berakhir dan dilupakan.

           Sengketa sarang burung Pisok [ walet ] di pulau Lembe satu dua abad lampau di Minahasa menunjukkan antara lain penyebab perang antar walak Minahasa dimasa lampau.
Dimana dinasti-dinasti Minahasa yang berasal dari satu Dotu tapi bertempat tinggal di distrik [ Walak ] yang berbeda, menggunakan jabatan pemerintahan dan jabatan kepala adat.
Karena seorang Ukung Hukum Besar, Hukum Kedua, Hukum Tua - otomatis menjadi kepala taranak [ ethnik ] dan kepala adat, memungkinkan seorang Kepala Walak Sonder Tontemboan menuntut hak waris kepada Kepala Walak Tonsea atas tanah warisan di Tonsea dengan latar belakang ekonomi .
Oleh :

Jessy Wenas

NASIONALISME BANGSA MINAHASA

Perkembangan Nasionalisme
Bangsa Minahasa Mulai Jaman Kolonial Sampai Sekarang

Kontribusi pikiran suatu sistem federal bagi Negara Republik Indonesia dari kacamata Minahasa.

Tulisan ini merupakan analisa dari Buku desertasi PhD David E.F. Henley: 'Nationalism and Regionalism' ; Artikel Gerry van Klinken : 'Christianity and Ethnicity in Indonesia', Ratulangi's Intelectuality ; Dan dua buku mutakhir : 'Guns Germs & Steel' oleh Jarod Diamond dan 'The World is Flat' oleh Thomas L Friedman.

Sejarah karakter egaliter dan demokratis serta patriotisme dan nasionalisme bangsa Minahasa sesuai dengan catatan-catatan yang ada, sudah ber-langsung beberapa abad lama-nya jauh sebelum kekuasaan kolonial memasuki kepulauan Nusantara. Dari struktur sosial dan pemerintahan Minahasa, Wanua-Wanua (Desa) di Mina-hasa mempunyai karakter struk-tur pemerintahan ibarat 'Repu-blik Wanua' yang sangat man-diri (merdeka). Selanjutnya, ada dua catatan sejarah abad ke 17 tentang Patriotisme Minahasa sebagai satu bangsa dalam seja-rah peperangan yang dilakukan oleh bangsa Minahasa dengan bangsa Spanyol di tahun 1667 dengan kemenangan Minahasa, dan pertempuran antara bangsa Minahasa dan bangsa Bolaang Mongondow yang terkenal di-dekat Tompaso dengan hasil kemenangan bangsa Minahasa pada tahun 1679.

Perang bangsa Minahasa melawan Spanyol di tahun 1667 yang berakhir dengan kekalahan Spanyol tersebut adalah juga berkat deplomasi bangsa Mina-hasa dengan bangsa Belanda yang pada waktu itu berada di Maluku. Dari hasil kekalahan Spanyol terhadap Minahasa maka pada tanggal 10 Januari 1679 diadakanlah suatu perjan-jian antara dua bangsa yakni bangsa Minahasa dan bangsa Belanda (VOC). Dari perjanjian tersebut, bangsa Minahasa se-benarnya tidak pernah me-ngakui bahwa Minahasa pernah dijajah oleh bangsa Belanda. Kedua bangsa adalah sejajar dan sama derajat. Oleh sebab itu perlakuan Belanda terhadap Minahasa kurang lebih bero-rientasi kepada perjanjian tahun 1679 di mana a.l. aspek pendi-dikan rakyat sangat menonjol. Patriotisme bangsa Minahasa dijaman kolonial diperoleh juga dari catatan-catatan sejarah yakni Perang Tondano (Mina-hasa) dengan Belanda di tahun 1801.


I. Ada beberapa ungkapan pemikiran tokoh-tokoh Mina-hasa jaman kolonial tentang
   cita-cita Minahasa dalam bentuk Nasionalisme Bangsa Minahasa di jaman kolonial,
   antara Lain adalah:
1. J.U. Mangowal pada tanggal 15 Desember 1915 yang diter-bitkan oleh Nafiri Minahasa pada tahun 1916 dalam kesem-patan peresmian Cabang Mana-do dari organisasi PERSERIKATAN MINAHASA yang berdiri di tahun 1909 oleh orang-orang Minahasa di Jawa mengatakan, "Minahasa, bangsaku! Jangan-lah engkau kecewa oleh karena keletihan, kemalangan, maupun penindasan. Lihatlah apa yang berlangsung di Eropa di mana tiap orang mencintai bangsanya sehingga bila ia mati di medan pertempuran ia seakan-akan ingin mengatkaan: Ambilah tubuh saya yang fana ini, saya berjuang sampai mati untuk tanahku dan bangsaku.(bersambung) Kemajuan Minahasa yang sedang kita alami sekarang akan merupakan suatu kenangan yang indah untuk turun - temurun orang Minahasa dan akan merupakan suatu kebesaran yang abadi untuk tanah Minahasa dan bangsa Minahasa."

2. Mengomentari tentang berdirinya PERSERIKATAN MINAHASA di tahun 1909, DR. G.S.S.J. Ratulangi dan F. Laoh di tahun 1917 memberikan komentar tentang Idealisme Nasionalisme Minahasa sbb: "Semua yang menyangkut perasaan dan berpikir tentang idealisme Nasional Minahasa sudah terkonsentrasi dalam organisasi Perserikatan Minahasa yang didirikan pada tahun 1909".

3. Dr. Sam Ratulangi, dalam Harian Pikiran (Manado) 31 Mei 1930 menyatakan berdirinya Organisasi Politik 'Persatuan Minahasa' di tahun 1927 sbb: "Maksud utama dari PERSATUAN MINAHASA adalah menjaga keselamatan dan kesejahteraan Bangsa Minahasa. Tidak ada gunanya bagi kita untuk mengingkarinya karena maksud dan tujuannya adalah baik. Kita tak dapat katakan bahwa sikap tersebut adalah "Egois" karena sikap tersebut adalah bagian mutlak dari Jatidiri Manusia. Semua orang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri tanpa membahayakan kepentingan masyarakat umum dalam proses tersebut. Sejalan dengan itu, tiap bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri tanpa membahayakan kepentingan bangsa lain. Untuk ini, Persatuan Minahasa harus berikan perhatian utamanya kepada situasi lokal yakni TANAH MINAHASA dan BANGSA MINAHASA. Karena biarpun Bangsa Minahasa sekarang ini telah tersebar di seluruh Nusantara (Indonesia), kita selalu tetap terikat dengan tanah lahir kita dalam ikatan spiritual".
II. GERAKAN PEMIKIRAN NASIONALISME ETNIS MINAHASA.
1. Nasionalisme Regional (Etnis) yang berkembang pada permulaan abad ke 20 sering di gambarkan sebagai salah satu komponen dari bertumbuhnya Gerakan Nasionalisme Indonesia. Tetapi perkembangan nasionalisme Minahasa, adalah juga sebagai ungkapan 'sentimen premordial etnis'. Premordialisme etnis yang dijaman sekarang ditanggapi secara negatif oleh orang-orang 'ultra nasionalis' atau 'pan-nasionalis', sebenarnya adalah sesuatu sifat manusia atau kelompok (etnis) manusia yang sangat alamiah dan oleh sebab itu logis. Karena kenyataan etnis Minahasa sangat terkait dengan ciptaan Tuhan terhadap manusia dan kelompok manusia yang mempunyai sifat-sifat yan sama dengan hak azasi manusia dan hak azasi etnis.

Namun demikian, di Minahasa Nasionalisme Lokal yang disebut Nasionalisme Etnis Minahasa yang bersumber secara eksklusif etnis Minahasa adalah suatu perkembangan nasionalisme yang spesifik otonom yang disebabkan oleh berbagai faktor proses modernisasi barat, sama seperti modernisasi barat yang mendukung Nasionalisme Indonesia. Hanya saja perkembangan nasionalisme Minahasa telah berlangsung dalam skala yang lebih kecil tetapi ternyata dimulaikan lebih awal dari proses Nasionalisme Indonesia.

Penelitian dan analisa tentang Nasionalisme Regional / Etnis Minahasa oleh David Henley berlangsung dalam suatu periode relatif pendek hingga tahun 1942 dengan memperhatikan faktor-faktor : - Sifat karakter prakolonial Minahasa yang mengandung karakter pluralisme, demokratis egaliter, terbuka dan bersemangat tinggi (patriotis). - Transformasi Minahasa oleh perdagangan koffie, kopra dan cengkih; perkembangan pesat agama Kristen dan Pendidikan modern di Minahasa yang luas. - Lahirnya Dewan Perwakilan Rakyat Lokal (Minahasa Raad) yang pertama diseluruh Nusantara (1919). - Kedudukan khusus orang Minahasa jaman kolonial dibandingkan dengan orang-orang Indonesia lainnya. - Pergumulan banyak orang Minahasa sampai tahun 1942 untuk berjuang berdirinya Negara Indonesia dengan bentuk Federal, bahkan Commonwealth (Persemakmuran) dimana tiap kelompok nasional etnis (bangsa) termasuk Bangsa Minahasa, tetap akan memperoleh status otonomi sempurna.


2. PERAN PEMIMPIN-PEMIMPIN KRISTEN DALAM GERAKAN NASIONALISME MINAHASA

Agama Kristen berkembang sangat cepat di Minahasa. Dalam jangka waktu relatif sangat pendek seluruh penduduk tanah Minahasa sudah menerima agama Kristen menjadi agamanya. Karena itu juga Dewan Pekabaran Injil di Belanda dalam salah satu laporannya mengatakan bahwa Pekabaran Injil di Minahasa adalah 'Mahkota Pekabaran Injil' dari Zending Nederland. Berdasarkan kenyataan geografis, budaya maupun bahasa dan asal usul orang Minahasa maka sejak awal baik pimpinan Zending Protestan di Belanda maupun Guru - guru dan Pendeta - Pendeta pribumi Minahasa telah berpikir berdirinya Gereja Minahasa yang otonom terlepas dari ikatan organisasi Zending Belanda, Gereja Belanda maupun lepas dari Pemerintahan Kolonial Belanda.
Kesadaran tentang perasaan nasionalisme orang Kristen Minahasa sudah dimulaikan sejak 1875 - 1882 waktu Indische Kerk mengambil alih peran pekerjaan Zending di Minahasa.

W. Sumampow dan J. Walintukan adalah dua pelopor guru Zending di tahun 1892 yang menentang secara terang-terangan kontrol Indische Kerk terhadap sekolah - sekolah Zending. Mereka diberhentikan dari jabatan guru Zending karena mereka memaksakan untuk mengangkat Pendeta-Pendeta orang Minahasa.

Tulang punggung dari suatu gerakan untuk berdirinya Gereja Minahasa yang berdiri sendiri berada dalam jajaran guru-guru Zending yang bekerja di desa-desa Minahasa. Ditahun 1910 suatu asosiasi guru-guru Zending yang dinamakan Pangkal Setia dan dipimpin oleh A.M. Pangkey dan J.U. Mangowal didirikan.
Pangkal Setia bukanlah suatu organisasi guru yang berorientasi politik. Pangkal Setia menganut sikap yang diajarkan Zending yakni : Oposisi Loyal.
Oposisi loyal yang diajarkan Zending tersebut berorientasi kepada pendirian bahwa orang Kristen harus menyuarakan kenabiannya dalam hal kebenaran dan keadilan. Dan dalam kedua hal ini Zending sering tidak sejalan dengan Pemerintahan kolonial.

Harian Zending 'Tjahaja Siang' hampir saja dibreidel oleh Pemerintahan Kolonial oleh karena kritikannya dan pada tahun 1920 sewaktu seluruh staf redaksi dipegang oleh orang Minahasa maka Harian tersebut menjadi lebih kritis dan menjadi trompet politis orang Minahasa.

Pada tahun 1932 Pangkal Setia mengadakan koalisi dengan gerakan Nasionalisme yang sekuler yakni dengan organisasi Persatuan Minahasa

Gerakan Nasionalisme yang berkembang diantara guru-guru Zending dan para Pendeta asal Minahasa mengalami kulminasi dengan berdirinya KGPM ditahun 1933 dan GMIM di tahun 1934.

Pemimpin-pemimpin (B.W Lapian dan A.Z.R Wenas) kedua gereja tersebut dengan bangga tetap mempergunakan istilah Bangsa Minahasa dan Tanah Air Minahasa sebagai orientasi pengungkapan pendirian Nasionalisme mereka yang identik dengan pemimpin - pemimpin (Ratulangi cs.) politik masyarakat Minahasa pada waktu itu. Bahwa sesuai dengan kenyataan, dua lembaga Gereja KGPM dan GMIM hingga sekarang adalah satu-satunya lembaga yang tetap ada dengan mempertahankan identitas ke-Minahasa-annya.


3. PERSATUAN MINAHASA, 1927

Gerakan Nasionalisme Federal Minahasa. Apakah Nasionalisme Minahasa berada di luar Wawasan Nasional Indonesia? Jawabnya: Ya dan Tidak. Pada permulaan, aspirasi nasionalisme Minahasa sangat berorientasi kepada pemikiran Minahasa sebagai satu negara yang merdeka, namun dalam perkembangannya sebelum tahun 1942 tersebut kaum intelektual Minahasa mengambil sikap bahwa apapun masa depan politik mereka, tanah air dan bangsa Minahasa akan menjadi bagian dari suatu Indonesia yang lebih luas. Kebanyakan kaum intelegensia Minahasa menerima kenyataan yang ideal akan Indonesia Merdeka, sehingga Ratulangi, Maramis, Laoh, Palar, Mononutu dll turut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Tetapi gambaran Indonesia yang mereka pikirkan adalah suatu gambaran yang berlainan dengan apa yang dipikirkan dan diproklamasikan oleh Soekarno.

Bagi sebagian besar kaum intelektual Minahasa, Nasionalisme Persatuan Indonesia berdasarkan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa dengan falsafah integralisme Jawa (Soekarno dan Soepomo) dan wawasan 'imperialisme' kerajaan Mojopahit, adalah sesuatu yang asing bagi sebagian besar orang Minahasa. Bagi kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, Negara Indonesia adalah suatu projek perjuangan politik yang tidak didukung oleh kenyataaan sejarah maupun budaya bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia. Negara Indonesia adalah kenyataan politik berdasarkan wawasan geografis jajahan Belanda. Oleh sebab itu apa yang disebut bangsa Indonesia bagi kaum intelektual Minahasa adalah sesuatu yang abstrak; sehingga bagi mereka Negara Indonesia yang merdeka harus merupakan suatu Federasi dari bermacam - macam bangsa yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia, dimana tiap bangsa akan mempertahankan identitas/otonomi politik maupun budaya sendiri. Dibawah ini saya kutip ungkapan Sam Ratulangi yang dimuat dalam harian 'Fikiran' Manado tgl. 31 Mei 1930 dan 'Nationale Comentaren' tgl. 26 Nopember 1938 kontrak politik bangsa Indonesia sbb: "Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politik. Kenyataan ini didasarkan kepada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut. - Namun dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus mengakui dan menghormati hak azasi dari setiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut". Demikianlah interpretasi Ratulangi tentang Persatuan dan Nasionalisme Indonesia.

Pemikiran dan pendirian status Otonomi luas (sempurna) Minahasa dalam sistem Federal Indonesia mengandung suatu perasaan kepedulian yang kuat akan nasib tanah dan bangsa Minahasa yang berorientasi kepada kenyatan masyarakat Minahasa sebagai satu bangsa yang alamiah yakni :
- yang asal usulnya sama
- yang berdiam dalam suatu daerah yang batas-batas geografis jelas
- yang disatukan oleh satu idealisme sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama yang    sama.
Semua unsur- tersebut diatas menunjukkan bahwa Minahasa memenuhi syarat-syarat yang mutlak, untuk dapat menyebut dirinya sebagai suatu negara yang berdaulat.

Selanjutnya, dalam sebuah artikel berjudul 'Christianity and Ethnicity in Indonesia; The Intelectual Biography of Sam Ratulangi' yang dibawakan dalam satu simposium di Universitas Frankfurt pada bulan Desember 2003 oleh Gerry van Klinken dari KITVL di Leiden, Nederland; a.l. ia katakan bahwa pemikiran intelektual Nasionalisme Etnis Minahasa; Ratulangi memperolehnya dari penggalian budaya asli Minahasa yang ia hubungkan dengan falsafah semangat 'Bushido' Jepang oleh Nitobe dan semangat falsafah 'kebenaran pragmatis' Eropa (1907) oleh William James. Ratulangi menurut Gerry van Klinken sangat menekankan bahwa Nasionalisme Minahasa ada hubungan yang erat sekali dengan budaya asli Minahasa maupun agama Kristen yang datang ke Minahasa bersamaan dengan budaya modernisasi Eropa. Jadi, Kekristenan dan Budaya asli Minahasa sudah merupakan satu kesatuan yang membentuk Nasionalisme Etnis Minahasa. Dan Ratulangi dengan sangat cemerlang telah menguraikan pikirannya itu dalam berbagai pertem uan mahasiswa-mahasiswa jamannya di Nederland yang turut didengar pula oleh dua orang senior intelektual Ratulangi yaitu van Deventer dan Abendanon. Dan oleh sebab itu, menurut analisa Gerry van Klinken, Ratulangi sejak tahun 1922 sampai ia meninggal di tahun 1949 sangat konsisten dengan pemikiran sistem federal untuk Republik Indonesia dimana Nasionalisme Minahasa dapat terakomodir. Ratulangi sangat yakin bahwa Nasionalisme Indonesia harus dibangun dari akarnya, yakni nasionalisme yang bertumbuh dari Nasionalisme Bangsa-Bangsa Etnis yang sangat plural yang mendiami seluruh kepulauan Nusantara. Ratulangi sangat yakin bahwa Indonesia Merdeka akan menjadi satu negara yang besar dan kokoh bila ia dibangun atas pondasi nasionalisme bangsa-bangsa etnis yang demokratis dengan identitas budayanya masing-masing.

Namun demikian menghadapi gerakan politik nasionalisme Indonesia yang lebih luas maka kaum intelektual Minahasa yang dipelopori oleh Ratulangi cs, mengambil sikap yang pragmatis dan akomodatif tentang realisme politis, dengan terbentuknya suatu negara Republik Indonesia sebagai nasib perjuangan bersama melawan kolonialisme dari seluruh bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepulauan nusantara Indonesia.

Waktu diadakan perdebatan penyusunan UUD 1945 Ratulangi tidak ikut sebagai anggota BPUPKI. Ia sadar bahwa arus membentuk negara kesatuan RI yang dipelopori oleh Soekarno, Moh. Jamin dan Soepomo terlalu kuat. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945, Ratulangi yang didukung oleh AA Maramis, J. Latuharhari (Maluku), I Ketut Puja (Bali), Andi Pangerang Peta Rani (Makasar) dan Tajuddin Noor (Kalimantan) serta mahasiswa-mahasiswa asal Minahasa dalam sidang pertama PPKI untuk menetapkan UUD RI, dengan tegas menolak Piagam Jakarta (Syariat Islam) dalam UUD RI tersebut dengan 'ancaman' bahwa Indonesia Timur tidak akan ikut dalam Republik Indonesia, bahkan akan membentuk Negara Indonesia Timur yang berdaulat dengan sistem federal. 'Ancaman' tersebut akhirnya membuahkan pencaputan 'Piagam Jakarta', dan beberapa pasal yang berorientasi Islam juga mengalami perobahan. Sikap Ratulangi dkk yang tegas tersebut ternyata mempunyai implikasi yang panjang sampai sekarang.

Ternyata bahwa pemikiran sistem federal bagi Indonesia dimana Minahasa akan mempunyai status negara bagian, terus diperjuangkan oleh kelompok federalis di Minahasa. Delegasi KKM (Komite Ketatanegaraan Minahasa yang terdiri dari Prof. Dr. Warouw, Prof. Dr. Engelen, Mr. Ingkiriwang, Ranti, Dengah dan Rampen bertolak ke Nederland untuk berjuang di Konperensi Meja Bundar supaya Minahasa diakui sebagai satu negara bagian dalam RIS yang akan dibentuk. Mereka gagal dalam usaha tersebut.

Dalam menerima suatu kenyataan berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka Ratulangi cs tetap teguh dalam pendirian bentuk negara Federal dengan Otonomi yang seluas-luasnya berdasarkan atas idealisme sosial, politik, budaya dan agama. Karena bagi mereka (Ratulangi cs.) Minahasa tetap merupakan suatu Vaderland ketimbang suatu Propinsi; suatu TANAH AIR ketimbang suatu daerah. Dan pemikiran federal Ratulangi tersebut ia telah ulangi dalam satu wawancara dengan seorang wartawan Belanda diakhir hidupnya pada tahun 1949. Berkatalah Ratulangi waktu itu:
"Saya adalah seorang federalis. Saya bercita-cita adanya suatu struktur pemerintahan yang demokratis dan adil bagi Indonesia Merdeka yang ikut saya perjuangkan, agar satuan-satuan daerah yang membentuk Republik Indonesia secara politis psychologis dan ekonomis memiliki suatu daya hidup yang kokoh (Belanda: Levenskrachtig)".


Epiloog

Setelah 60 tahun Indonesia merdeka dengan menganut sistem Negara Kesatuan yang berakibat jauh tertinggal dibanding dengan negara tetangga Malaysia yang sudah sangat maju; dan banyak lagi masalah yang tak terselesaikan di Indonesia, saya mengajak para pembaca merenungkan apa yang ditulis tentang kemajuan Eropa/A.S dibandingkan dengan Cina; kemudian kemajuan India dan Malaysia sebagai dua negara federal yang sukses muncul di abad ke 20 yang diuraikan dalam dua buku terlaris didunia pada awal abad ke 21. Kedua buku itu adalah: 'GUNS, GERMS and STEEL' oleh Jared Diamond dan 'THE WORLD is FLAT' oleh Thomas L Friedman. Dari sebuah kutipan yang sangat singkat dari kedua buku yang tebalnya masing-masing sekitar 500 halaman, saya kutip satu paragraf yang Jared Diamond mau katakan tentang kemajuan Eropa dibanding dengan Cina sbb:

"China led Europe in technology at least untill the 15th century and might do so again in the future. But why did Europe developed so fast, and not China. I suggested that the underlying reason behind Europe's overtaking China was something deeper than the proximate factors suggested by most historians (e.g. China's Confusionism versus Europe's Judeo-Christian tradition, the rise of western science, the rise of western mercantilism an capitalism etc.). Behind these and other proximate factors, I saw an Optimal Fragmentation Principal, and that is : ultimate geographic factors that led to China becoming unified early and mostly remaining unified thereafter, while Europe remained constantly fragmented. Europe's fragmentation did, and China's unity didn't foster the advance of technology, science and capitalism by fostering competition between states and providing inovators with alternative sources of support and heavens from persecution".

Tentang kemajuan India, Thomas L Friedman berkata sbb: "Why has India progress rapidly in the last 50 years while it has about 150 million Muslims, the second largest Muslim country after Indonesia. The answer is context. And in particular the secular, free market, democratic context of India, heavily influenced by a tradition of non-violence and Hindu tolerance. India has progressed rapidly because of its brainy, computer wizard and outsourcing character. It has a pride and strong self-identy character. The French Revolution, the American Revolution, the Indian Federal democracy, are all based on social contracts whose dominant features is that authority comes from the bottom up, and people can and do feel self-empowered to improve their lot. People living in such contexts tend to spend their time focusing on what to do next, not on whom to blame next". "A South Asian Muslim friend of mine once told me this story: His Indian Muslim family split in 1948, with half going to Pakistan and half staying in India. When he got older, he asked his father one day why the Indian half of the family seemed to be doing better than the Pakistani half. His father said to him, 'Son, when a Muslim grows up in India and he sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day, I will be that man". And when a Muslim grows up in Pakistan and sees a man living in a big mansion high on a hill, he says, "Father, one day I will kill that man".' When you have a pathway to be the Man or the Woman, you tend to focus on the path and on achieving your dreams. When you have no pathway, you tend to focus on your wrath and on nursing your memories." Demikian dua paragraph dari Thomas L. Friedman, wartawan terkenal The New York Times dalam bukunya 'The World is Flat'.

Dari kedua contoh uraian diatas, berdasarkan suatu penelitian dan analisa kontemporer yang sangat dapat dipercaya oleh penulis-penulis ternama didunia tsb. (Jared Diamond and Thomas L. Friedman), dapat kita ambil sari dan maknanya, bahwa perobahan yang diperlukan Negara Indonesia dan orang Indonesia sekarang ini adalah suatu perobahan yang sangat mendasar, yaitu perobahan karakter budaya identitas manusia Indonesia yang harus berorientasi sekaligus kepada perobahan sistem negara yang lebih demokratis (federal) dan bersumber dari budaya jatidiri pluralisme bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia dengan masing-masing bangsa (etnis) mempunyai jatidiri dan hargadiri. Negara Kesatuan RI yang sampai sekarang ingin dipertahankan terus adalah suatu Kesatuan Bangsa dan Negara yang semu, hasil buatan elit manusia Indonesia yang tidak 'rasional' dan 'alamiah'. Kesatuan Negara RI yang kita warisi dari orientasi pemikiran kekuasaan kolonial Belanda adalah kesatuan bangsa dan negar a yang sudah gagal karena tidak didukung dan dijiwai oleh budaya dan karakter bangsa-bangsa etnis yang mendiami kepualauan nusantara sejak berabad-abad. Perobahan dan pembaharuan secara komprehensif dan menyeluruh diperlukan bangsa dan negara Indonesia sekarang ini, sehingga seperti yang berlangsung di Eropa, India, Malaysia dan (China), bahwa manusia akan lebih banyak memperhatikan perbuatan yang nyata dengan persaingan yang sehat serta kreatif, dan tidak saja terus menerus bersungut-sungut sambil mempersalahkan orang lain. Perobahan karakter manusia Indonesia harus dibarengi dengan memberikan jalan (pathway) perobahan struktur dan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia kearah sistem jalan (pathway) federal. Tidak ada jalan lain. Semoga!



Hari Kebangkitan Nasional 21 Mei 2006

Tanah Minahasa

Dr. B.A. Supit.

Minggu, 28 Juli 2013

HENK NGANTUNG GUBERNUR JAKARTA RAYA


Henk Ngantung, aktivis Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta antara 1964-1965.
Henk Ngantung, aktivis Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta antara 1964-1965.
Dalam sejarahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak hanya pernah dipimpin oleh gubernur yang berasal dari kalangan militer, politisi maupun birokrat karir. Provinsi yang menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata juga pernah dipimpin oleh seorang seniman pelukis. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat.  Sang seniman itu bernama Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau akrab dipanggil Henk Ngantung.
Pelukis Berbakat
Henk Ngantung lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 1 Maret 1921. Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan mulai memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu guru  melukisnya adalah pelukis  terkenal  asal Austria, Rudolf Wengkart. Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau  ketika ia berumur 15 tahun. Hal ini menunjukkan besarnya bakat seni lukis yang ada dalam dirinya.
Ia pun  mulai berkenalan dengan pelukis-pelukis profesional seperti Luigi Nobili dan  Affandi yang bergabung dalam Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia  (PERSAGI),  sebuah organisasi  seni  rupa yang bertendensi nasionalis.
Menjelang penyerbuan Jepang ke Indonesia,  Henk  hijrah ke Jakarta dan rutin mengikuti pameran lukis  terutama sejak  lembaga  Bataviasche van Kunstkringen  berdiri. Selain mengikuti pameran bersama kawan-kawannya, Henk juga sering  mengadakan pameran tunggal. Salah satunya adalah pameran tunggal di hotel Des Indes, Jakarta, tahun 1948. Kelak, lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.
Henk juga  dikenal  sebagai pelukis yang mengilustrasikan  berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini  dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville. Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.
Selepas revolusi kemerdekaan, Henk tetap bergerak di bidang seni lukis dengan menjadi guru pembimbing pelajaran seni bagi beberapa mahasiswa tanpa dibayar.  Disamping itu, ia juga sering berpartisipasi pada misi-misi kebudayaan dan pameran lukis di luar negeri.
Henk juga tetap aktif memajukan dunia seni bersama dengan para seniman lainnya.  Ia turut mendirikan ‘Gelanggang’ bersama dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani.  Kiprahnya di bidang seni itu  juga yang membuat Henk dipercaya  menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok pada tahun 1955 hingga 1958.
Selain itu, bakat seni lukis-nya itu juga mengantarkan beliau pada jabatan Ketua Seksi Dekorasi dalam Panitia Negara Penerimaan Kepala-Kepala Negara Asing  pada tahun 1957. Kiprahnya di bidang seni itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi  anggota Dewan Pertimbangan Agung mewakili Golongan Karya Seniman pada masa Demokrasi Terpimpin.
Gubernur Dan Lekra
Pada  tahun 1960, Henk  dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil Gubernur (Wagub) mendampingi  Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Soemarno.  Penunjukan dirinya sebagai  Wagub tersebut diprotes oleh para anggota Dewan Kota. Mereka menganggap Henk tidak layak menduduki jabatan itu. Namun Bung Karno tetap teguh pada keputusannya, karena ia menginginkan Jakarta  tumbuh sebagai kota seni dan budaya; dan Henk dianggapnya sesuai dengan kualifikasi itu.
Meski ada sebagian pihak yang memprotesnya, namun pengangkatan Henk sebagai Wagub DKI didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini disebabkan  ketika itu Henk telah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PKI. Bahkan ia pun pernah menjabat Wakil Sekjen Lekra.
Menyikapi hal ini, istri Henk, Evelyn Mamesah berujar, “Bergabungnya pak Henk ke Lekra  semata-mata karena kecintaannya terhadap seni.” Sementara menurut Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga  yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.
Pada masa Henk menjabat sebagai Wagub DKI itulah, ia merancang monumen dan simbol yang  hingga kini menjadi ciri khas  kota Jakarta, seperti  Tugu Selamat Datang dan lambang DKI Jakarta. Khusus untuk pembangunan Tugu Selamat Datang itu sendiri,  tak terlepas  dari digelarnya pesta olahraga Asian Games pada tahun 1962. Ketika itu, pemerintahan Bung Karno ingin ‘memoles’ kota Jakarta agar menjadi kota yang layak bagi digelarnya sebuah event internasional. Apalagi, event tersebut juga menjadi show a force  bagi Indonesia sebagai sebuah Negara yang anti neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dengan tindakan kongkret menolak keikutsertaan Taiwan dan Israel dalam event tersebut karena kedua negara itu dianggap representasi  kekuatan nekolim.
Maka pemerintah  pun membangun  sebuah hotel  kelas internasional dengan fasilitas yang bagus  untuk tamu-tamu negara yang menjadi peserta Asian Games. Hotel  itulah yang kemudian dinamakan  Hotel Indonesia (kini menjadi  Hotel Kempinski). Bukan hanya hotel, Bung Karno ingin  pula membangun sebuah monumen tepat di depan  hotel tersebut sebagai sebuah simbol   penyambutan bagi  para tamu negara
Ternyata, Henk  telah  memiliki konsep tentang  simbol tersebut jauh sebelum digelarnya event itu. Henk telah  memiliki lukisan sketsa sepasang pemuda-pemudi yang sedang melambaikan tangannya, seperti sedang  menyambut kedatangan tamu.  Sehingga ketika Bung Karno meminta untuk dibangunkan sebuah tugu penyambutan di depan Hotel Indonesia, Henk segera mengajukan konsep tersebut. Dan Bung Karno pun sepakat.
Maka dibangunlah sebuah tugu  berdasarkan konsep karya Henk, dan tugu yang tetap kokoh berdiri hingga kini tersebut dinamakan Tugu Selamat Datang. Sebagai tambahan, pematung yang merealisasikan konsep Henk menjadi sebuah patung  di tugu tersebut adalah Edhie Sunarso, seorang pematung muda berbakat pada masa itu.
Pada tahun 1964, Henk  diangkat sebagai  Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soemarno yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri oleh Bung Karno.  Namun, masa jabatannya sangat singkat, yakni 1 tahun. Hal ini dikarenakan meletusnya  peristiwa  Gerakan Satu Oktober (Gestok)  tahun 1965.
Tragedi Gestok 1965 membuat alur hidup Henk dan keluarga berubah drastis. Kedekatannya dengan Bung Karno serta keanggotaannya di Lekra membuat Henk digolongkan sebagai  pejabat ‘kiri’ yang harus disingkirkan oleh  pihak penguasa militer pasca Gestok.
Seperti halnya beberapa Gubernur dari provinsi lainnya di Indonesia yang diberhentikan, bahkan ada yang diculik hanya karena kedekatannya dengan Bung Karno serta didukung PKI, begitu pun nasib Henk.  Ia diberhentikan dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta  setelah peristiwa Gestok. Namun, pemberhentian itu bukanlah akhir dari penderitaan Henk sekeluarga.
Stigma PKI yang cukup ‘mematikan’ pada era Orde Baru membuat Henk tidak mendapatkan uang pensiun dan hak-hak sipil selayaknya warga negara lainnya.  Tatkala kesehatannya memburuk dan matanya hampir  buta karena penyakit  glaukoma, Henk tetap  tidak mudah untuk menjalani pengobatan karena pihak rumah sakit enggan berurusan dengan Henk yang ‘PKI’.
Tak hanya itu, ketika anak-anak Henk ingin kuliah dan bekerja pun dipersulit dengan stigma ‘anak PKI’. Hingga akhir hayatnya di tahun 1991, Henk tidak memperoleh penghargaan selayaknya mantan pejabat negara yang telah berjasa bagi Jakarta dan Republik ini. Begitulah nasib sang Gubernur-Seniman yang terlupakan.
Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20130707/henk-ngantung-seniman-dan-gubernur-yang-terlupakan.html#ixzz2aNxthk2f
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

KEBAKTIAN RAKYAT INDONESIA SULAWESI

Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi
Usai membacakan naskah Sumpah Pemuda, Sofie Kornelia Pandean ditangkap Belanda. Dia dijebloskan ke sel. Ketika akan dibebaskan, dia menolak.
Saat itu, paman SK Pandean yang merupakan jaksa, berusaha membebaskan perempuan kelahiran Paniki Bawah 28 Agustus 1911 tersebut.
"Tapi Ibu saya tak mau keluar. Ia bilang, sahabatnya juga harus dibebaskan. Setelah semua sahabatnya dibebaskan, barulah ibu saya ikut keluar dari tahanan itu," ujarnya.
Setelah kejadian tersebut, Menurut Meity, almarhumah tak tinggal diam. Pada umur 21, tepatnya sekitar tahun 1932, SK Pandean berangkat menuju ke tanah Jawa Tengah.
Di sana wanita tersebut masuk dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dan tinggal dengan Mandagi yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Pengadilan Semarang.
"Di sana ia banyak membantu pergerakan perjuangan di bawah tangan, dan masuk dalam perjuangan bambu runcing dan juga di PMI," ucap Meity.
Tahun 1935, setelah pemberontakan Permesta, SK Pandean pulang ke Manado bersama suaminya Frans Rudolf Oey, yang merupakan keturunan Tionghoa. Di Manado, ia dipercaya sebagai penasihat para Gubernur Sulut.
Tepatnya tanggal 6 Januari 1997, wanita yang telah berjasa tersebut menghembsukan napas terakhirnya di usia 85 tahun. SK Pandean dimakamkan di samping rumahnya di Jalan AA Maramis Nomor 179. Menurut Meity, ibunya memang ingin dimakamkan di samping rumah.
Semasa hidup, SK Pandean pernah menjabat Letnan BKR Kompi V, Batalyon 15 Resimen I, Magelang, Jateng. Kemudian Pimpinan Wanita KRIS, ditugaskan untuk menjenguk Presiden RI, Ir Soekarno dan HA Salim ketika dibuang ke Bangka tahun 1949. Tahun 1958, ia dianuhgerahi Satya Lencana Aksi Militer kedua oleh Menteri Pertahanan Juanda.
"Dan tahun 1959 dianugerahi Tanda Jasa Pahlawan (Gerilya) oleh Presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, Soekarno. Selanjutnya pada 1966, dianugerahi Bintang Gerilya oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto pada 29 Agustus 1966," ujarnya.

TRADISI RUMAGES ATAU PENGUCAPAN SYUKUR.

Perayaan Pengucapan Syukur : TRADISI RUMAGES YANG BERTRANSFORMASI

15 juli 2013 om 18:27
Ragey deng Nasi jaha
Ragey deng Nasi jaha




Perayaan Pengucapan Syukur 
TRADISI RUMAGES YANG BERTRANSFORMASI 


Perayaan Pengucapan Syukur telah menjadi tradisi yang melekat pada orang Minahasa. Setiap tahun, masyarakat di berbagai tempat di Minahasa, merayakan syukur atas berkat Tuhan yang dikaruniakan bagi umat-Nya. Bahkan, tradisi ini ikut dibawah orang-orang Minahasa ke daerah perantauan mereka. Namun, tahukah kita sejak kapan tradisi Pengucapan Syukur ini dimulai ?


Foso Rumages
Menurut penuturan para orang tua,tradisi ini berasal dari tradisi Rumages. Rumages merupakan bahasa tua tou (orang) Minahasa yang berasal dari kata rages, yang berarti persembahan yang diberikan dengan keutuhan atau ketulusan hati untuk Empung Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar). Menurut praktisi budaya yang juga merupakan seorang parapsikolog, Rinto Taroreh, tradisi ini telah dilakukan sejak ‘zaman leluhur’, sebagai wujud syukur atas berkat-Nya yang telah dikaruniakan bagi umat.


“Sejak dulu, usai melaksanakanpanen, terutama panen padi, para leluhur biasa melaksanakan foso (ritual)rumages um banua atau ucapan syukur atas penan. Semua masyarakat merayakannya.Disamping  sebagai wujud syukur terhadapOpo Wananatas, juga merupakan upaya untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya,di dalamnya juga ada wujud penghormatan terhadap leluhur,” terang Taroreh.


Dijelaskannya, biasanya dalam pelaksanaan foso ‘rumages um banua’, ada beberapa bentuk persembahan yang diberikan. “Biasa ada yang untuk rerumetaan (persembahan khusus bagi Tuhan) dan ada yang ja se weteng (persembahan sebagai simbol penghormatan bagi leluhur).Biasanya, padi hasil panen perdana, dimasak di dalam bambu dan dikhususkan untuk Opo Wananatas. Sebagian lagi dimasak dan disediakan untuk persembahan sebagai wujud hormat bagi leluhur atau weteng,” kata Taroreh.


Taroreh juga menuturkan, untuk raragesan, persembahannya dalam bentuk binatang seperti ayam. “Itu harus ayam terbaik. Puncak ritual dibuat sebelum matahari terbit. Itu simbol bahwa kerja selanjutnya akan ada semangat baru. Pas pe buka pagi, mereka akan mengundang masyarakat lain dari luar wanua atau roong (desa) atau masyarakat yang kebetulan singgah di kampung mereka. Itu merupakan wujud kasih terhadap sesama,” ungkapnya.




Tradisi Tua Yang Bertrasformasi
Budayawan dan Sejarawan, DR IvanKaunang SS M Hum menjelaskan, tradisi Rumages itu kemudian mengalami trasformasi di kemudian hari, terutama ketika kekristenan masuk ke tanah Minahasa. “Pengucapan syukur itu bertrasformasi dari tradisi tua Minahasa, dan menjadi lebih kental ketika Kristen masuk. Dari perspektif kebudayaan, tradisiitu memang mengikuti perkembangan zaman. Beda generasi, beda juga wujud ekspresinya,” tegas dosen Pascasarjana UNSRAT ini.


Kaunang menilai, dalam prosesber trasformasi ini, ada sesuatu yang hilang dari perayaan pengucapan syukur itu.“Budaya leluri atau tutur itu terputus sehingga makna sesungguhnya dari pengucapan syukur banyak yang tidak dipahami oleh generasi kemudian. Konsekwensi lain, mulai diadopsinya tradisi dari luar seperti, disko, miras produksi luar, dan sebagainya. Persoalan lain, karena terjadi interaksi, pemerintah mulai ambil alih perayaan ini. Dahulu itu dilaksanakan sesuai musim panen tapi sekarang, itu tinggal diatur pemerintah dengan gereja. Ini ada hubungan dengan relasi kuasa. Mereka kemudian mengatur, bagaimana agar tidak saling bertabrakan. Dahulu, dalam tradisi ada tonaas yang akan mengatur musim tanam tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya.




Pengucapan Syukur dan Maengket
Budayawan muda Minahasa, FredyWowor menegaskan, tradisi pengucapan syukur sebenarnya terkait dengan caraberpikir tou Minahasa. “Aktivitas itu bagi tou Minahasa merupakan siklus hidup. Di siklus ini ada fase menanam benih, memelihara sampai panen. Disaat panen mereka mengucap sykur, sekaligus sebagai fase awal untuk menanam yang baru.Ketika ada interaksi dengan Barat, kalau dalam konteks Sonder, di masa itu penginjil Graafland mulai mentransformasikan tradisi rumages ke tradisi Kristen, 1800-an akhir. Ketika sudah ada gereja, mereka mulai mengarahkan umat membawa persembahan syukur itu ke gereja,” papar dosen Fakultas Ilmu Budaya UNSRAT asal Sonder ini.


Pegiat Mawale Kultural Center ini juga menjelaskan, tradisi pengucapan syukur  sangat berhubungan dengan tarian Maengket. “Disaat pengucapan syukur, ada usaha pagelaran seni budaya seperti Maengket.Pengucapan syukur memang identik dengan ekspresi bahwa mereka diberkati, sebagai wujud syukur kepada Tuhan, karena itu mereka mewujudkan pemberian yangterbaik bagi Tuhan. Ini sebenarnya mau menjelaskan bagaimana tou Minahasa sejak zaman leluhur, sangat menyatu dengan alam dan menyatu dengan Tuhan,” tandasnya.


Tu bajual deng ba bli satu kampung
Tu bajual deng ba bli satu kampung




Dimensi Lain Dalam Pengucapan Syukur
Sementara, Teolog yang juga pegiatMawale Cultural Center, Denni Pinontoan M.Teol menegaskan, pengucapan syukur merupakan tradisi yang sangat teologis dan harus dipertahankan. “Ini ajang bakudapa keluarga. Seorang mahasiswa STT Jakarta, Naftali Soriton dalam penelitiannya menyatakan bahwa itu tradisi tua di Minahasa. Hanya memang dia sekarang telah bertrasformasi, terutama ketika Kristen masuk,” kata dosen Fakutas Teologi UKITini.


Ia menilai, pengucapan sukur kini juga telah mengandung dimensi politik. “Pergeseran terutama, ada dimensi politik. Di era pilkada (pemilihan kepala daerah) misalnya, ini jadi sarana kampanye. Tahun 80-an sampai 90-an, perayaan ini masih disesuaikan dengan waktu panen, siklus kerja atau siklus pertanian sehingga perayaan di tiap daerah tidak sama. Waktu itu terasa susana hangat ketika berkumpul dengan keluarga. Ketika pemerintah interfensi, semakin berkurang kelurga yang datang. Karena di tempat lain banyak yang merayakan diwaktu yang sama,” ungkap Pinontoan.


Terkait dengan penilaian bahwa pengucapan syukur identik dengan pemborosan, menurut Pinontoan hal tersebut perlu dilakukan penelitian. “Dari segi ekonomi mungkin ada yang nilai pemborosan, tapi saya kira perlu ada penelitian dulu dari para ahli ekonomi.  Tapi menurut saya, itu tak ada relasi yangkuat. Karena masyarakat merayakan itu berdasarkan perencanaan. Apa dengan merayaakan pengucapan sykur, warga sudah tidak bisa menyekolahkan anak? Makanyakita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” katanya.


Jurnalis independen ini juga menilai, perayaan pengucapan syukur ada multiplayer effect. “Di saat itu muncul penjual-penjual seperti ‘paku utang’, tikus, kelelawar. Artinya moment itu memberi kerja bagi tukang berburu atau mereka yang memiliki keterampilan tertentu.Jadi mereka diuntungkan. Penggunaan gula aren, beras pulo, jadi tinggi, harga naik dan itu menguntungkan petani. Modalnya berputar di dalam atau perputaran uang terjadi ke dalam. Karena saat pengucapan, yang ramai itu pasar-pasar tradisional sebab masyarakat terkonsentrasi menyediakan makanan. Kalau perayaannatal atau tahun baru, orang lebih banyak ke mal-mal. Mungkin ada kasus ‘bautang’ tapi itu tidak dominan. Tidak karena itu kemudian memiskinkan masyarakat,” terang Pinontoan.


Ia juga menegaskan, perayaan pengucapan syukur merupakan pesta rakyat, dimana orang mengekspresikan rasa syukur. “Di era kini, intensitas kerja tinggi, orang butuh waktu senggang, waktu refreshing, rekreasi.  Di zaman para filsuf, waktu seperti itu mereka gunakan untuk berefleksi, melakukan pencaharian kembali sehingga memperoleh inspirasi baru. Makanya, perayaan pengucapan syukur sangat positif dan tentu teologis,” imbuhnya. (media sulut/rikson karundeng)

BEDAH BUKU

Resensi buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) oleh J.G.F. Riedel diterbitkan di Batavia tahun 1862.
Resensi buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa) oleh J.G.F. Riedel diterbitkan di Batavia tahun 1862.
Buku setebal 55 halaman ini dikarang oleh Johan Gerhard Frederich Riedel. Ia adalah anak tertua dari penginjil J.F. Riedel yang datang di Tanah Minahasa bersama-sama dengan J.G. Schwarz pada tahun 1831. Latar belakang J.G.F. Riedel ini dapat menjadi salah satu catatan tersendiri bagi para pembaca buku ini. Ia lahir di Tondano pada tahun 1832. Ia juga besar di Tanah Minahasa sehingga tidak perlu heran bila ia mengerti betul tentang daerah ini. Setelah dewasa ia menjadi Controleur Minahasa kemudian menjadi Assistant Resident di Gorontalo, terakhir menjadi Resident Ambon.

Buku sejarah ini menjadi sumber utama dari buku-buku dan tulisan pada masa itu sampai sekarang. Dapat disimpulkan bahwa buku ini bersumber dari penuturan tua-tua kampung dari masa kecilnya sampai pada waktu ia menjadi pejabat penting di Minahasa dan Keresidenan Manado pada umumnya.

Buku ini dapat anda simak tanpa harus menggunakan kamus bahasa karena ditulis dalam bahasa Melayu Abad ke-19, yaitu lingua-franca di pelosok Nusantara saat itu, sehingga masih dapat anda pahami. Coba baca judul bab pertamanya: “Deri Pada Permulaan Bangsa-bangsa Minahasa Sampej Pada Harij Pembahagijan Fosoh Atawa Pahawetengan Nuwuh Itu”. Buku ini lebih merupakan ringkasan sejarah Minahasa karena isi buku ini banyak mencatat tentang peristiwa daerah-daerah (walak dan sebagainya) dengan nama-nama pelakunya.
Isi buku ini dibagi ke dalam tiga bagian, pertama dari permulaan bangsa Minahasa sampai pada masa pembagian foso atau pahawetengan nuwu di Batu Pinawetengan, kedua dari pembagian foso sampai pada masa permulaan peperangan orang Bolaang Mongondow dan ketiga dari permulaan peperangan orang Bolaang Mongondow sampai pada masa kedatangan orang kulit putih yaitu sampai masa Belanda.

Data Buku
Judul buku : Inilah Pintu Gerbang Pengatahuwan Itu (Hhikajatnja Tuwah Tanah Minahasa)
Penulis : J.G.F. Riedel
Tahun : 1862
Jumlah halaman : 55 halaman.



(Bodewyn Grey Talumewo)
 

MENTRI TOU MINAHASA DI JAMANNYA

NOSTALGIA MENTERI ASAL MINAHASA
Oleh
Bodewyn Grey Talumewo




Pada masa kepemimpinan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI banyak orang Minahasa yang menjadi menteri. Hampir di seluruh kabinet yang gonta-ganti personil itu ada orang Minahasa. Rata-rata setiap kabinet ada dua orang Minahasa. Itu dulu, masa Orde Lama. Nah, dulu banyak orang Minahasa yang menjadi menteri, kenapa sekarang? Apakah orang Minahasa kalah kualitasnya dengan sukubangsa Indonesia yang lainnya? Apakah orang Minahasa sengaja digasak dan digusur dari kepemimpinan Indonesia? Mungkinkah karena masa lalu yang kotor – antek-antek Belanda? Ataukah ada alasan lainnya? Anggap saja tidak ada alasan lainnya itu.

Setiap menjelang penyusunan kabinet yang baru, pasti akan beredar bisik-bisik (baca: harapan) di kalangan Kawanua (Tou Minahasa) bahwa si A atau si Jenderal B pasti akan duduk dalam jajaran kabinet menteri yang akan segera diumumkan. Namun, waktu senantiasa berlalu. Harapan orang Minahasa yang menjadi kenyataan gigi jare. Hal ini dialami selama masa Orde Baru. Pernah ada seseorang Minahasa yang “mujur” menjadi menteri, Drs. Theo L. Sambuaga. Ya, hanya dia.

Selama 31 tahun kepemimpinan Soeharto dengan Orde Baru-nya (1966-1997), tak satu pun orang Minahasa yang menjadi menteri. Padahal, hanya dalam 21 tahun pertama RI (1945-1966), 10 orang Minahasa yang menjabat sebagai menteri. Belum lagi 8 menteri dalam kabinet Negara indonesia Timur. Ketika Prof BJ Habibie menjadi Menristek ada ungkapan, “torang so kalah dari dorang orang Gorontalo.” Sungguh tragis!

Setelah Theo Sambuaga, tidak ada satu pun orang Minahasa yang ikut dalam kabinet pimpinan Presiden Gus Dur, Megawati dan SBY. Satu hal yang memalukan bagi orang Minahasa pada awal pemerintahan Megawati adalah dengan dicopotnya Letjen Arie Kumaat sebagai Kepala Badan Intelejen Nasional dan digantikan orang lain. Yang menjadi masalah saat jabatan Kepala BIN itu dimasukkan dalam struktur kabinet. Jadi yang torang dengar bukan menteri asal Minahasa yang diangkat, melainkan orang Minahasa yang dicopot, lalu jabatan itu dimasukkan dalam struktur kabinet. Cuma ada “obat” ketika Laksamana Bernard Kent Sondakh diangkat menjadi Kepala Staf TNI-AL.

Kasus kabinet Soesilo Bambang Yudhoyono lain lagi. Pada waktu kampanye Pemilu & Pemilihan Presiden di Manado, ia berjanji terhadap orang Manado bahwa Sekjen DPP Partai Demokrat Letjen E.E. Mangindaan akan dijadikan menteri bila ia terpilih menjadi presiden nanti. Alhasil pada saat hari pemilihan, partai yang baru berdiri ini termasuk dalam empat besar pemenang Pemilu dan menang Pilpres di Sulut. Namun janji yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang. Mereka pun gigi jare.

Ada cerita lain selama Orde Baru. Karena tidak ada satu pun orang Minahasa yang menjadi menteri maka semua menteri yang ada hubungan dengan Minahasa pun dibanggabanggakan. Misalnya, Menpora Hayono Isman, “depe mama kan orang Remboken, Els Wowor.” AtauMenkeu Radius Prawiro, “depe maitua kan Leonny Supit”. Atau Oetojo Oesman SH, Menteri Kehakiman. Menteri KLH Ir Sarwono Kusumaatmadja, “depe maitua kan Nini Maramis, Duta Besar Maramis pe anak.” Juga Agung Laksono, “depe maitua kan Amelia Wenas.” Lihat juga Menaker Laksamana Purn. Sudomo, “depe maitua kan Sisca Piay.” Bahkan isu bahwa Sudomo itu orang Tompaso dari fam Rawis. Try Sutrisno pun kena imbasnya. Isu menyebutkan ia asal Kanonang Kawangkoan dari anak luar dokter Sam Supit dengan pembantunya.

Pada masa Orde Reformasi ada Laksamana Sukardi, suami dari Ritha Wullur. Pada masa pemerintahan Orde Lama pimpinan Soekarno ada juga menteri yang beristrikan Tou Minahasa. Mereka adalah “bengawan ekonomi” Prof. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo yaitu suami Dora Sigar dan ayah dari Letjen Prabowo Subianto, serta Menteri Prof. Mr. R. Soenario, yaitu suami dari Dina Maranta Pantouw.

Sapa so tu Tou Minahasa yang pernah menjadi menteri? Dorang itu adalah Mr. A.A. Maramis, Ir. Herling Laoh, dengan kakaknya Frits Laoh, Mr. Arnold Mononutu, Nyong Umbas, Gustaaf A. Maengkom, Ir. Fred J. Inkiriwang, Ds. Wim J. Rumambi, Drs. Jan D. Massie, Hans A. Pandelaki, Drs. Theo L. Sambuaga, Hayono Isman.

Dari 38 Kabinet yang pernah ada di NKRI ini, Mr. A.A. Maramis membuka kartu Tou Minahasa, yaitu pada saat Indonesia diproklamirkan. Ia menjadi Menteri Keuangan RI sebanyak empat kali dan sekali menjadi Menteri Luar Negeri saat pembentukan Kabinet Darurat PDRI pimpinan Mr Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera.

Ir. Herling Laoh menjadi Menteri Pekerjaan Umum sebanyak enam kali tahun 1946-1950. Bahkan pada Kabinet Hatta II, sahabat Soekarno ini menjabat dua jabatan menteri sekaligus yaitu merangkap Menteri Perhubungan. Arnold Mononutu menjadi Menteri Penerangan sebanyak tiga kali antara tahun 1949-1953. Ada juga kakak kandung Ir. Laoh yaitu Frits H. Laoh. Ahli ekonomi ini menjadi Menteri Perhubungan tahun 1955. Ada juga Frans Ferdinand Umbas. Nyong Umbas, begitulah biasa ia disapa, pernah menjadi Menteri muda Perekonomian pada tahun 1956-1957 mewakili Parkindo.

Gustaaf A. Maengkom menjadi Menteri Kehakiman pada masa Pergolakan Permesta dalam Kabinet Karya atau yang dikenal dengan Kabinet Djuanda. Dalam kabinet itu ada juga orang Minahasa lainnya yang diangkat sebagai Menteri Perindustrian, yaitu Ir. F.J. Inkiriwang.

Ds W.J. Rumambi menjadi Menteri Penghubung Antar Lembaga Tinggi Negara yaitu MPR, DPR, DPA, Dewan Perancang Nasional, Front Nasional sebanyak lima kalisejak tahun 1960. Ia adalah satu-satunya pendeta yang pernah menjadi menteri. Bahkan ia menutup kariernya di jajaran menteri sebagai Menteri Penerangan tahun 1966.

Ada juga Drs. Jan D. Massie sebagai Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta sebanyak dua kali tahun 1963-1966. Dalam Kabinet Seratus Menteri (Kabinet Dwikora) tahun 1966, ia juga menjadi Asisten Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, yaitu pejabat yang berkedudukan sebagai menteri.

Ada juga pejabat yang berkedudukan sebagai menteri yaitu Hans A. Pandelaki, yang menjadi anggota BPK (Pemerikasa Keuangan Angung Muda) dalam Kabinet Seratus Menteri tahun 1964-1966. Terakhir menjadi Deputi Menteri Keuangan Urusan Anggaran, atau yang biasa disebut “Menteri Keuangan Urusan Moneter.”

Masa Orde Baru ditutup dengan Theo Sambuaga sebagai Menteri Tenaga Kerja tahun 1997 sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998. Kemudian ia sempat diangkat sebagai Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Rakyat tahun 1998-1999.

Sebenarnya ada menteri keturunan Minahasa yaitu Menteri Pemuda dan Olah Raga Hayono Isman. “Mar so ilang fam,” kata orang.

Selama masa Negara Indonesia Timur yang walau efektifnya hanya 3 tahun lebih, ada tujuh Tou Minahasa pernah menjadi menteri di daerah “Timur Besar” ini. Mereka adalah Prof. Dr. S.J. Warouw, E. Katoppo, Ir. F.J. Inkiriwang, Ir. E.D. Dengah, G.R. Pantouw, Drh W.J. Ratulangi, Henk Rondonuwu.

Prof Dr. S.J. Warouw sendiri menjadi Menteri Kesehatan NIT pertama sampai keempat. Malah pada periode ketiga ia menjadi Perdana Menteri NIT. Guru E. Katoppo, ayah sastrawan Marianne Katoppo dan wartawan Aristides Katoppo ini menjadi Menteri Pendidikan sampai empat kali berturut semenjak kabinet pertama NIT. Ir E.D. Dengah (Mais) menjadi Menteri Perhubungan dan Pekerjaan Umum. G.Rudolf Pantouw (Udo’) menjadi Menteri Penerangan NIT pertama dan Menteri Sosial pada Kabinet NIT kedua. Menteri Sosial NIT sejak Desember 1947 adalah Mr. S.S. Pelengkahu. Drh. Willem J. Ratulangi pun menjadi Menteri Penerangan NIT keenam. Henk Rondonuwu menjadi Menteri Penerangan NIT terakhir tahun 1950. Terakhir Ir. F.J. Inkiriwang menjadi Menteri Pendidikan merangkap Menteri Kesehatan NIT pada Kabinet Likuidasi NIT tahun 1950, yaitu masa transisi menuju NKRI. Kariernya sebagai menteri dipegangnya kembali tahun 1957 dalam kabinet RI.

Daftar Bacaan:
1. Katoppo, Aristides, dkk, Ds. W.J. Rumambi – Setelah Fajar Merekah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1994
2. Majalah Cakrawala No. 3 Tahun I Desember 1997
3. Nalenan, R., Arnold Mononutu – Potret Seorang Patriot, Pustaka Jaya, Jakarta 1982
4. PB POR Maesa, Maesa – Sejarah 80 Tahun POR Maesa, Jakarta 2004
5. Talumewo, Bodewyn, Personalia Kawanua (Tou Minahasa) dalam Kabinet Negara RI 1945-2010, brosur, Tomohon 2006

Lampiran:
Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet RI:

  1. Mr. Alex Andries Maramis (Tondano)
  2. Ir. Herling Laoh (Sonder)
  3. Frits Laoh (Sonder)
  4. Mr. Arnold I.Z. Mononutu (Tonsea/Minut)
  5. Frans F. (Nyong) Umbas (Kawangkoan)
  6. Gustaaf A. (Utu’) Maengkom (Tondano)
  7. Ir. Fred J. Inkiriwang (Kakas)
  8. Ds. W.J. (Wim) Rumambi (Kakas – Tondano)
  9. Drs. J.D. Massie (Langowan)
  10. H.A. Pandelaki (Tomohon)
  11. Drs. Theo Leo Sambuaga
  12. Jenderal TNI. Try Soetrisno (Tompaso – Kawangkoan)
  13. Hayono Isman (Remboken)

Kabinet-kabinet RI:1.Kabinet Presidentil (19 Agustus 1945-14 November 1945)
Menteri Negara Mr. Alex Andries Maramis (sejak 25 September 1945 menjadi Menteri Keuangan ke-2 karena Dr. Samsi berhenti sebagai Menkeu sejak tanggal 26 Sept. 1945)2.Kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946)3.Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946- 2 Oktober 1946)
Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. Herling Laoh (PNI)4.Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947)
Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)5.Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947)
Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)
Menteri Muda Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI) (Jabatan Menmud PU ditiadakan saat Ir. H.Laoh menjadi Menteri Pekerjaan Umum pada 11 Agustus 1947, mengganti Moh. Enoch yang berhenti sebagai Menteri PU)6.Kabinet Amir Sjarifuddin II (sesudah reshuffling, 11 November 1947-29 Januari 1948)
Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)
Menteri Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)7.Kabinet Hatta I/Presidentil Kabinet (29 Januari 1948-4 Agustus 1949)
Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis (PNI)8.Kabinet Darurat/PDRI di Sumatera (19 Desember 1948-13 Juli 1949)
Menteri Luar Negeri Mr. A.A. Maramis (di India)9.Kabinet Hatta II/Presidentil Kabinet (4 Agustus 1949-20 Desember 1949)
Menteri Perhubungan Ir. H. Laoh (PNI), merangkap
Menteri Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)10.Kabinet RIS (Pertama & Terakhir) (20 Desember 1949-6 September 1950)
Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)
Menteri Perhubungan Tenaga/Pekerjaan Umum Ir. H. Laoh (PNI)11.Kabinet Susanto (Kabinet RI Yogya) (20 Desember 1949-21 Januari 1950)12.Kabinet Halim (Republik Indonesia Yogya) (21 Januari 1950-6 September 1950)13.Kabinet Natsir (Kabinet RI Kesatuan Pertama & Kabinet selanjutnya merupakan Kabinet RI Kesatuan) (6 September 1950-27 April 1951)14.Kabinet Sukiman – Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952)
Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)15.Kabinet Wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953)
Menteri Penerangan Arnold I.Z. Mononutu (PNI)16.Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955)17.Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956)
Menteri Perhubungan Frits Laoh (PRN)
18.Kabinet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-9 April 1957)
Menteri Muda Perekonomian Frans I. (Nyong) Umbas (Parkindo)19.Kabinet Karya (Kabinet Djuanda) (9 April 1957-10 Juli 1959) (Zaken Kabinet)
Menteri Kehakiman Gustaaf A. (Utu’) Maengkom
Menteri Perindustrian Ir. Fred J. Inkiriwang20.Kabinet Kerja (10 Juli 1959-18 Februari 1960)
Menteri Muda Penghubung MPR/DPR Ds.W.J. Rumambi (Parkindo)21.Kabinet Kerja II (18 Agustus 1960-6 Maret 1962)
Menteri Penghubung DPR & MPR Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)22.Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 November 1963)
Menteri Penghubung DPR/MPR/DPA/Depernas Ds.W.J.Rumambi23.Kabinet Kerja IV (13 November 1963-27 Agustus 1964)
Menteri Urusan Penertiban Bank & Modal Swasta J.D. Massie
(sejak 1 Agustus 1964 mengganti Dr. Suharto yang dibebaskan dari jabatan tersebut)
Menteri Penghubung MPRS/DPR/DPA Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)24.Kabinet Dwikora (Kabinet Seratus Menteri) (27 Agustus 1964-28 Maret 1966)
Menteri Urusan Penertiban Bank & Usaha Modal J.D. Massie
Menteri Penghub. MPR/DPR/DPA/Front Nasional W.J. Rumambi
Pemeriksa Keuangan Agung Muda/Anggota BPK a.l. H.A.Pandelaki (pejabat yang berkedudukan sebagai menteri)25.Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi (28 Maret 1966-25 Juli 1966)
Menteri Penerangan Ds. W.J. Rumambi (Parkindo)
Deputi Menteri Keuangan Urusan Anggaran H. Pandelaki
Asisten Waperdam bidang Ekonomi antara lain J.D. Massie26.Kabinet Ampera (25 Juli 1966-17 Oktober 1967)27.Kabinet Ampera yang Disempurnakan (11 Oktober 1967-6 Juni 1968)28.Kabinet Pembangunan I (6 Juni 1968-27 Maret 1973)29.Kabinet Pembangunan II (27 Maret 1973-24 Maret 1978)30.Kabinet Pembangunan III (24 Maret 1978-16 Maret 1983)31.Kabinet Pembangunan IV (6 Maret 1983-21 Maret 1988)32.Kabinet Pembangunan V (21 Maret 1988-Maret 1993)33.Kabinet Pembangunan VI (Maret 1993-Maret 1997)
Menteri Pemuda & Olah Raga Hayono Isman (Golkar)34.Kabinet Pembangunan VII (Maret 1997-Mei 1998)
Menteri Tenaga Kerja Drs. Theo Leo Sambuaga (Golkar)35.Kabinet Reformasi Pembangunan (Mei 1998-Oktober 1999) pimpinan Presiden Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie
Menteri Negara Perumahan dan Permukiman Rakyat Drs.Theo L. Sambuaga (Golkar)36.Kabinet Persatuan Nasional (Oktober 1999-Juli 2001) pimpinan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)37.Kabinet Gotong Royong (Juli 2001-Oktober 2004) pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri38.Kabinet Indonesia Bersatu (Oktober 2005-2010) pimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
KABINET NEGARA INDONESIA TIMUR (NIT) DAN PARA TOKOH KAWANUA MINAHASA YANG DUDUK DI DALAMNYA

Tou Minahasa (Kawanua) yang pernah menjadi menteri dalam kabinet NIT:
1.Dr. S.J. Warouw
2.E. Katoppo
3.G.R. Pantouw (Udo)
4.E.D. Dengah (Mais)
5.Mr. S.S. Pelengkahu
6.Dr. W.J. Ratulangi
7.Henk Rondonuwu
8.Ir. F.J. Inkiriwang (Fred)

Kabinet-kabinet NIT:1.Kabinet pertama NIT (Kabinet Nadjamuddin Pertama) 1947 (diumumkan pada tanggal 10 Januari 1947)
Perdana Menteri Nadjamuddin Daeng Malewa
Menteri Pengadjaran E. Katoppo (Inspektur Sekolah Rakjat, Menado)
Menteri Kesehatan G.R. Pantouw, Makassar
Menteri Penerangan Dr. S.J. Warouw (Gouvernementsarts b/d D.V.G., Menado)
Menteri Lalu-lintas dan Perairan E.D. Dengah (Ketua Dewan Minahasa, Menado2.Kabinet kedua NIT (Kabinet Nadjamuddin Kedua) 1947 (sampai 20 September 1947)
Perdana Menteri Nadjamuddin Daeng Malewa
Menteri Pengadjaran E. Katoppo
Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw
Menteri Sosial E.D. Dengah3.Kabinet ketiga NIT (Kabinet Warouw) 1947 (11 Oktober 1947 – 9 Desember 1947)
Perdana Menteri merangkap Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw
Menteri Pengajaran E. Katoppo4.Kabinet keempat NIT (Kabinet Anak Agung Pertama) 1947-1948 (15 Desember 1947 – Desember 1948)
Perdana Menteri Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Pengajaran E. Katoppo
Menteri Kesosialan Mr. S.S. Pelengkahu
Menteri Kesehatan Dr. S.J. Warouw5.Kabinet Kelima NIT (Kabinet Anak Agung kedua) 1949 (12 Januari 1949 – 26 Desember 1949)
Perdana Menteri Ide Anak Agung Gde Agung6.Kabinet Keenam NIT (Kabinet Tatengkeng) 1949-1950 (26 Desember 1949 – 13 Maret 1950)
Perdana Menteri Jan Engelbert Tatengkeng7.Kabinet Ketujuh NIT (Kabinet Kabinet Putuhena) Maret 1950 (3 Maret 1950 – 10 Mei 1950)
Perdana Menteri Ir. Putuhena
Menteri Penerangan Drh. W.J. Ratulangi8.Kabinet Likuidasi NIT (Kabinet Likuidasi NIT) Mei 1950 (sejak10 Mei 1950)
Perdana Menteri Ir. Putuhena
Menteri Penerangan Henk Rondonuwu
Menteri Pendidikan merangkap Menteri Kesehatan Ir. F.J. Inkiriwang


PERJUANGAN PERMESTA

Mengenang Pergolakan Permesta di Minahasa
oleh Bodewyn Grey Talumewo




P R O K L A M A S I
Demi keutuhan Republik Indonesia, serta demi keselamatan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya, dan Rakyat Daerah di Indonesia Bagian Timur pada khususnya, maka dengan ini kami nyatakan seluruh wilayah Teritorial VII dalam keadaan darurat perang serta berlakunya pemerintahan militer sesuai dengan pasal 129 Undang - Undang Dasar Sementara, dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1948 dari Republik Indonesia.
Segala peralihan dan penyesuaiannya dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa beserta kita dan menurunkan berkat dan hidayatNya atas umatNya.-


Makassar, 2 M a r e t 1957.-
Panglima Tentara & Territorial VII


Letkol. H.N.V. Sumual


Nrp. 15958




Demikian proklamasi Ventje Sumual, penguasa militer di Indonesia Timur, tanggal 2 Maret 1957 dini hari. Pembacaan proklamasi ini disusul dengan pembacaan Piagam Perjuangan Semesta oleh Letkol Saleh Lahade. Pada tahap selanjutnya gerakan ini lebih dikenal dengan gerakan Permesta. Permesta yang diprakarsai oleh pihak militer Indonesia Timur ini kemudian mendapat sambutan antusias dari masyarakat karena program-program yang dijalankannya sesuai dengan tuntutan rakyat daerah pada saat itu. Daerah komando militer dari TT-VII/Wirabuana saat itu meliputi seluruh Indonesia bagian Timur, yang mencakup Propinsi Sulawesi, Propinsi Maluku, Propinsi Sunda Kecil dan Propinsi Papua Barat yang saat itu masih dikuasai Belanda. Pada tanggal 20 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual mengumumkan pembagian wilayah TT-VII/ Wirabuana dari 4 provinsi menjadi 6 provinsi, dengan dua provinsi yang dibagi menjadi dua yaitu Provinsi Sulawesi (Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan) dan Sunda Kecil (Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).


Negara Indonesia saat itu memang menghadapi masalah utama post war, yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia. Pihak militer merasakan bahwa prajuritnya tidak sejahtera, tinggal di barak-barak peninggalan Belanda yang telah penuh bocor dan tidak bersekat antara satu keluarga prajurit dengan prajurit lain sehingga timbul masalah privasi, peralatan militer yang sebagian besar tidak optimal fungsinya, masalah perebutan Irian Barat dari tangan Belanda, masalah intern Angkatan Darat, dan sebagainya. Di pihak lain, masyarakat sipil juga menghadapi masalah kesejahteraan sosial.


Pembangunan di Indonesia Timur dianggap sebelah mata oleh Pusat (Jakarta). Jalan-jalan penuh lubang dan tidak beraspal, infrastruktur yang tidak memadai, hanya meminjam bangunan rakyat, dan lain sebagainya.


Salah satu permasalahan utama yang dihadapi para pemerintahan daerah daerah adalah sebagai berikut: Biasanya anggaran pembelanjaan daerah tahunan dibuat dan dikirim pada setiap akhir tahun untuk tahun-anggaran baru. Tetapi anggaran tersebut setelah diteliti di Pusat akan mengalami potongan-potongan. Otorisasinya baru akan diterima pada pertengahan tahun-anggaran yang berjalan dan biasanya baru dapat diuangkan pada akhir September atau awal Oktober dalam tahun-anggaran berjalan. Karena itu dana yang ada jelas tidak mungkin habis digunakan pada akhir tahun-anggaran, padahal pada awal tahun-anggaran baru kelebihan itu harus disetor kembali. Kemudian kembali akan diadakan pengajuan anggaran baru, pemotongan, otorisasi dan keterlambatan, dan akhirnya mengembalikan dana lebih. Demikian dari tahun ke tahun, sehingga daerah secara nyata tidak pernah mendapat kesempatan untuk menikmati anggarannya secara penuh. Akibatnya pembangunan tidak ada yang dapat dikerjakan, daerah tetap terkebelakang dan rakyat tetap miskin dan tidak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Keadaan yang sudah bertahun-tahun menimpa daerah ini telah menjadikan rakyatnya kecewa sehingga menjadi calon-calon pengikut komunis (PKI) atau Darul Islam (barisan sakit hati) yang potensial.


Sulawesi Utaralah yang solider terhadap Permesta. Daerah Sulawesi Selatan tidak lagi antusias dengan Permesta sehingga Sulsel tidak dapat diharapkan lagi untuk menjadi basis Permesta. Pada bulan Juni 1957, setelah TT-VII/Wirabuana dibubarkan dan dipecah menjadi empat KODAM (Merdeka, Hasanuddin, Pattimura dan Udayana), maka golongan yang pro-Permesta yang pada umumnya anak Manado akhirnya membangun kekuatan di Manado untuk tujuan pembangunan daerah.


Salah satu proyek penting Permesta di daerah ini adalah pendirian Universitas Permesta tanggal 23 September 1957 di Sario Manado. Memang di daerah ini belum memiliki universitas milik pemerintah.


Tanggal 30 September 1957 Presiden Soekarno mengadakan kunjungan resmi di Universitas Permesta di Sario Manado kemudian berkunjung ke Tomohon untuk menghadiri perayaan HUT Sinode GMIM ke-23 di Gereja Sion Tomohon. Di gereja Sion ia berpidato: "...bahwa Ketuhanan itulah sendi utama Republik Indonesia. Demikian Tuhan adalah pegangan kita," serta ayat dalam Injil Yohanes 1:1 (kelak, ucapan ini disitir oleh Permesta untuk menyerang paham komunis yang diperkenalkan oleh Soekarno sendiri dalam wujud pengesahan PKI). Setelah itu ia menghadiri jamuan makan di Kantor Sinode GMIM (kini berdiri Akper Bethesda). Kunjungan ini turut dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat, Mesir, Pakistan, Swedia serta tiga orang menteri RI.


Situasi dan kondisi saat itu sedang memanas, antara Pusat dengan Permesta, sehingga peristiwa kedatangan Soekarno ini mendapatkan keuntungan tersendiri bagi Permesta, dan menambah dukungan moril bagi Permesta, menumbuhkan keyakinan pada masyarakat umum bahwa gerakan Permesta adalah sah-sah saja oleh pemerintah pusat.


Tanggal 17 Februari 1958, dua hari setelah PRRI di Sumatera memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta, Permesta mengadakan rapat raksasa di lapangan Sario Manado dimana Letkol D.J. Somba mengumumkan pernyataan yang sangat pendek: “Rakyat Sulutteng termasuk militer solider pada keputusan PRRI dan memutuskan hubungan dengan pemerintah RI.”


Konsekuensinya adalah pemberontakan bersenjata. Ini dibuktikan tanggal 22 Januari dengan pernyataan perang bersenjata dari Pemerintah Pusat yang menjatuhkan beberapa bom di Manado. Mulai saat itu berlakulah slogan “civis pacem para bellum, yang mencintai damai haruslah bersedia perang”. Pihak Permesta berkata, “Lebih terhormat bangkit dan melawan, daripada mati di ujung peluru bangsa sendiri,” atau “Torang mungkin kalah di pertempuran, mar bukang di peperangan.”


Dukungan rakyat terhadap Permesta sendiri begitu besar hingga disebutkan “Samua penduduk, binatang, deng pohon, deng rumput pun samua pro Permesta!”


Pada saat Tentara Pusat mengadakan operasi merebut semua daerah Permesta serta menjatuhkan beberapa selebaran, maka Permesta membalasnya dengan mengumumkan semboyan penggugah “Hanya kalau kering Danau Tondano, rata Gunung Lokon, Klabat dan Soputan, baru Tentara Djuanda dapat menginjakkan kakinya di Minahasa.”


Permesta kemudian membangun kekuatan militer dalam satuan divisi yang bernaung di bawah kendali Kabinet Revolusioner PRRI pimpinan Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tandingan dari Kabinet Karya pimpinan Djuanda. Divisi Permesta sendiri merupakan bagian dari Angkatan Perang Revolusioner (APREV) PRRI dengan Panglima Besar Mayjen Revolusioner Alex E. Kawilarang, Kepala Staf Angkatan Darat Revolusioner (ADREV) dipimpinan panglimanya Brigjen Revolusioner H.N. Ventje Sumual, serta Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dipimpin Komodor AUREV Petit Muharto Kartodirjo (asal Jawa). Pemerintahan sipil Permesta dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri (Waperdam) PRRI Kolonel Joop Warouw.
Pada tanggal 12 April 1958, tiga pesawat pertama yang diperbantukan dalam pertahanan udara PRRI (dalam AUREV) berupa pesawat B-26 Bomber diberangkatkan dari US Clarck Airfield di Filipina menuju Mapanget. Kemudian pemboman AUREV pertama kali dilakukan di Lapangan Mandai Makassar pukul 5:35-5:51 pagi hari. Sebetulnya pengeboman di LU Mandai Makassar sebenarnya akan menggunakan 2 pesawat pembom B-26. Namun pesawat yang satunya, yang dikendalikan oleh penerbang berkebangsaan AS jatuh setelah mengadakan take off dari LU Mapanget. Peristiwa ini mengakibatkan gugurnya 2 pilot AS, dan seorang serdadu telegrafis Permesta. Pengeboman selanjutnya dilakukan di Balikpapan (4x yaitu 16 April, 22 April, 28 April dan 19 Mei), Ambon dengan lapangan udara Pattimuranya (7x, mulai 27 April, 28 April, 1 Mei, 8 Mei, 15 Mei, 18 Mei), Ternate (5x), Morotai (3x), Bitung, pelabuhan Palu-Donggala-Balikpapan (16 dan 20 April), Gorontalo, dan lain-lain.


Untuk melumpuhkan Jakarta, Permesta mengadakan “Operasi Djakarta II" di bawah komando Panglima KDP II/Minahasa Letkol D.J. Somba. Rencana ofensif secara bertahap terhadap ibukota RI Jakarta ini dibekali dengan persediaan senjata dan amunisi untuk satu divisi dan tenaga-tenaga prajurit yang cukup militan dalam latihan, serta air-cover (perlindungan udara) dari pesawat AUREV. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut: Pertama, merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat, dari sana menyerang & menduduki Balikpapan dengan kekuatan 1 resimen RTP, sasaran kedua adalah Bali, sasaran ketiga adalah Pontianak, sasaran terakhir adalah menyeberang ke Jawa untuk selanjutnya menyerbu Jakarta. Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat di Jakarta agar berunding dengan PRRI. Namun operasi ini gagal akibat tanggal 15 Mei 1958 sejumlah besar pesawat AUREV dihancurkan AURI di Mapanget, Tasuka/Kalawiran serta tertangkapnya Allan Pope, agen CIA yang membantu Permesta sebagai pilot AUREV.
Tanggal 16 Juni 1958 dilakukan pendaratan pertama kali Tentara Pusat secara besar-besaran di pantai Kema Minahasa dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letkol. Roekmito Hendraningrat berkekuatan 4.000 tentara gabungan APRI/TNI. Tanggal 26 Juni kota Manado jatuh ke tangan Tentara Pusat. Tanggal 21 Juli Tondano jatuh menyusul kejatuhan Tomohon, pusat kekuatan Permesta saat itu, pada tanggal 16 Agustus akibat pengkhianatan Mayor Mongdong. Dengan kejatuhan Tomohon ini, kota-kota kecil di selatan dengan mudah direbut Tentara Pusat. Memang Permesta sempat mengadakan serangan umum besar-besaran serentak di Minahasa, yang diberi nama "Operation Djakarta Special One" pada tanggal 17 Februari 1959, namun usaha ini kurang berhasil.


Perundingan-perundingan perdamaian antara Permesta dan Pemerintah RI diadakan secara terselubung. Broer Tumbelaka melakukan pendekatan dengan Permesta atas nama Pemerintah Pusat. Usaha ini berhasil sehingga pada 4 April 1961 diadakanlah upacara perdamaian Permesta dan Pemerintah Pusat di Malenos Baru – Amurang (saat itu masih berupa hutan jati). D.J. Somba selaku Komandan KDM-SUT prapergolakan bersenjata membacakan pernyataan bahwa Permesta “kembali ke pangkuan ibu pertiwi.” Pada tanggal 14 April 1961 diadakan upacara defile "Penyelesaian" secara resmi yang diadakan di Susupuan, yaitu perbatasan kota Tomohon dengan Desa Woloan.


Sebagai hasil penyelesaian Pemerintah Pusat di Jakarta dengan Alex Kawilarang dan D.J. Somba, diperkirakan 27.055 orang, 25.176 di antaranya anggota militer, serta 8.000 di antaranya bersenjata, mengakhiri pemberontakan mereka. Dari jumlah ini, diperkirakan 5.000 orang adalah bekas anggota TNI. Pada bulan Februari 1961, Yus Somba memperkirakan kekuatan total Permesta sekitar 43.000 orang, 5.000 di antaranya dari KDM-SUT, dan 9.000 bekas anggota KNIL (1.000 diantaranya sudah pensiun). Jumlah Pasukan Wanita Permesta (PWP) yang menyerahkan diri saat itu adalah 1.502 orang.


Perang Pergolakan Permesta ini menimbulkan duka bagi orang Minahasa. Dalam perang tahun 1958-1961, Pergolakan Permesta memakan sekitar 15.000 nyawa melayang. Selain itu ada 394 desa di seluruh Sulutteng musnah dibakar, puluhan ibukota kecamatan dan satu ibukota kabupaten (Kotamobagu) musnah dibakar. Namun, dalam tempo sebulan sesudah perdamaian, pengungsi mulai turun ke kampung memperbaiki rumahnya. Sebagai contoh, penduduk Kakaskasen langsung mendirikan 600 pondok, rumah, sekolah darurat dan balai pengobatan di antara puing-puing kampungnya.


Rakyat memang merupakan korban utama dari perang saudara ini. Ada 27.000 kepala keluarga atau seperempat dari total penduduk Minahasa yang kehilangan tempat tinggalnya akibat menyingkir ke pedalaman, kebun, sabuah, dan lain-lain.


Menurut keterangan KSAD A.H. Nasution, dalam perang melawan tentara Permesta banyak korban yang jatuh dari pihak TNI. Dikatakan bahwa rata-rata tiap hari jatuh 5 orang korban di pihak TNI, sehingga diperkirakan jumlah kerugian nyawa yang diderita Tentara Pusat sekitar 5.500 orang. Dalam catatan pemerintah, Peristiwa Permesta ini memakan korban 10.150 orang dari pihak RI tewas (2.499 prajurit, 956 anggota OPR atau hansip, 274 polisi dan 5.592 penduduk sipil). Sedangkan di pihak PRRI/Permesta, ada 22.174 yang tewas.