Perayaan Pengucapan Syukur : TRADISI RUMAGES YANG BERTRANSFORMASI
Perayaan Pengucapan Syukur
TRADISI RUMAGES YANG BERTRANSFORMASI
Perayaan Pengucapan Syukur telah menjadi tradisi yang melekat pada orang Minahasa. Setiap tahun, masyarakat di berbagai tempat di Minahasa, merayakan syukur atas berkat Tuhan yang dikaruniakan bagi umat-Nya. Bahkan, tradisi ini ikut dibawah orang-orang Minahasa ke daerah perantauan mereka. Namun, tahukah kita sejak kapan tradisi Pengucapan Syukur ini dimulai ?
Foso Rumages
Menurut penuturan para orang tua,tradisi ini berasal dari tradisi Rumages. Rumages merupakan bahasa tua tou (orang) Minahasa yang berasal dari kata rages, yang berarti persembahan yang diberikan dengan keutuhan atau ketulusan hati untuk Empung Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar). Menurut praktisi budaya yang juga merupakan seorang parapsikolog, Rinto Taroreh, tradisi ini telah dilakukan sejak ‘zaman leluhur’, sebagai wujud syukur atas berkat-Nya yang telah dikaruniakan bagi umat.
“Sejak dulu, usai melaksanakanpanen, terutama panen padi, para leluhur biasa melaksanakan foso (ritual)rumages um banua atau ucapan syukur atas penan. Semua masyarakat merayakannya.Disamping sebagai wujud syukur terhadapOpo Wananatas, juga merupakan upaya untuk semakin mendekatkan diri dengan-Nya,di dalamnya juga ada wujud penghormatan terhadap leluhur,” terang Taroreh.
Dijelaskannya, biasanya dalam pelaksanaan foso ‘rumages um banua’, ada beberapa bentuk persembahan yang diberikan. “Biasa ada yang untuk rerumetaan (persembahan khusus bagi Tuhan) dan ada yang ja se weteng (persembahan sebagai simbol penghormatan bagi leluhur).Biasanya, padi hasil panen perdana, dimasak di dalam bambu dan dikhususkan untuk Opo Wananatas. Sebagian lagi dimasak dan disediakan untuk persembahan sebagai wujud hormat bagi leluhur atau weteng,” kata Taroreh.
Taroreh juga menuturkan, untuk raragesan, persembahannya dalam bentuk binatang seperti ayam. “Itu harus ayam terbaik. Puncak ritual dibuat sebelum matahari terbit. Itu simbol bahwa kerja selanjutnya akan ada semangat baru. Pas pe buka pagi, mereka akan mengundang masyarakat lain dari luar wanua atau roong (desa) atau masyarakat yang kebetulan singgah di kampung mereka. Itu merupakan wujud kasih terhadap sesama,” ungkapnya.
Tradisi Tua Yang Bertrasformasi
Budayawan dan Sejarawan, DR IvanKaunang SS M Hum menjelaskan, tradisi Rumages itu kemudian mengalami trasformasi di kemudian hari, terutama ketika kekristenan masuk ke tanah Minahasa. “Pengucapan syukur itu bertrasformasi dari tradisi tua Minahasa, dan menjadi lebih kental ketika Kristen masuk. Dari perspektif kebudayaan, tradisiitu memang mengikuti perkembangan zaman. Beda generasi, beda juga wujud ekspresinya,” tegas dosen Pascasarjana UNSRAT ini.
Kaunang menilai, dalam prosesber trasformasi ini, ada sesuatu yang hilang dari perayaan pengucapan syukur itu.“Budaya leluri atau tutur itu terputus sehingga makna sesungguhnya dari pengucapan syukur banyak yang tidak dipahami oleh generasi kemudian. Konsekwensi lain, mulai diadopsinya tradisi dari luar seperti, disko, miras produksi luar, dan sebagainya. Persoalan lain, karena terjadi interaksi, pemerintah mulai ambil alih perayaan ini. Dahulu itu dilaksanakan sesuai musim panen tapi sekarang, itu tinggal diatur pemerintah dengan gereja. Ini ada hubungan dengan relasi kuasa. Mereka kemudian mengatur, bagaimana agar tidak saling bertabrakan. Dahulu, dalam tradisi ada tonaas yang akan mengatur musim tanam tapi sekarang tidak lagi,” ujarnya.
Pengucapan Syukur dan Maengket
Budayawan muda Minahasa, FredyWowor menegaskan, tradisi pengucapan syukur sebenarnya terkait dengan caraberpikir tou Minahasa. “Aktivitas itu bagi tou Minahasa merupakan siklus hidup. Di siklus ini ada fase menanam benih, memelihara sampai panen. Disaat panen mereka mengucap sykur, sekaligus sebagai fase awal untuk menanam yang baru.Ketika ada interaksi dengan Barat, kalau dalam konteks Sonder, di masa itu penginjil Graafland mulai mentransformasikan tradisi rumages ke tradisi Kristen, 1800-an akhir. Ketika sudah ada gereja, mereka mulai mengarahkan umat membawa persembahan syukur itu ke gereja,” papar dosen Fakultas Ilmu Budaya UNSRAT asal Sonder ini.
Pegiat Mawale Kultural Center ini juga menjelaskan, tradisi pengucapan syukur sangat berhubungan dengan tarian Maengket. “Disaat pengucapan syukur, ada usaha pagelaran seni budaya seperti Maengket.Pengucapan syukur memang identik dengan ekspresi bahwa mereka diberkati, sebagai wujud syukur kepada Tuhan, karena itu mereka mewujudkan pemberian yangterbaik bagi Tuhan. Ini sebenarnya mau menjelaskan bagaimana tou Minahasa sejak zaman leluhur, sangat menyatu dengan alam dan menyatu dengan Tuhan,” tandasnya.
Dimensi Lain Dalam Pengucapan Syukur
Sementara, Teolog yang juga pegiatMawale Cultural Center, Denni Pinontoan M.Teol menegaskan, pengucapan syukur merupakan tradisi yang sangat teologis dan harus dipertahankan. “Ini ajang bakudapa keluarga. Seorang mahasiswa STT Jakarta, Naftali Soriton dalam penelitiannya menyatakan bahwa itu tradisi tua di Minahasa. Hanya memang dia sekarang telah bertrasformasi, terutama ketika Kristen masuk,” kata dosen Fakutas Teologi UKITini.
Ia menilai, pengucapan sukur kini juga telah mengandung dimensi politik. “Pergeseran terutama, ada dimensi politik. Di era pilkada (pemilihan kepala daerah) misalnya, ini jadi sarana kampanye. Tahun 80-an sampai 90-an, perayaan ini masih disesuaikan dengan waktu panen, siklus kerja atau siklus pertanian sehingga perayaan di tiap daerah tidak sama. Waktu itu terasa susana hangat ketika berkumpul dengan keluarga. Ketika pemerintah interfensi, semakin berkurang kelurga yang datang. Karena di tempat lain banyak yang merayakan diwaktu yang sama,” ungkap Pinontoan.
Terkait dengan penilaian bahwa pengucapan syukur identik dengan pemborosan, menurut Pinontoan hal tersebut perlu dilakukan penelitian. “Dari segi ekonomi mungkin ada yang nilai pemborosan, tapi saya kira perlu ada penelitian dulu dari para ahli ekonomi. Tapi menurut saya, itu tak ada relasi yangkuat. Karena masyarakat merayakan itu berdasarkan perencanaan. Apa dengan merayaakan pengucapan sykur, warga sudah tidak bisa menyekolahkan anak? Makanyakita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” katanya.
Jurnalis independen ini juga menilai, perayaan pengucapan syukur ada multiplayer effect. “Di saat itu muncul penjual-penjual seperti ‘paku utang’, tikus, kelelawar. Artinya moment itu memberi kerja bagi tukang berburu atau mereka yang memiliki keterampilan tertentu.Jadi mereka diuntungkan. Penggunaan gula aren, beras pulo, jadi tinggi, harga naik dan itu menguntungkan petani. Modalnya berputar di dalam atau perputaran uang terjadi ke dalam. Karena saat pengucapan, yang ramai itu pasar-pasar tradisional sebab masyarakat terkonsentrasi menyediakan makanan. Kalau perayaannatal atau tahun baru, orang lebih banyak ke mal-mal. Mungkin ada kasus ‘bautang’ tapi itu tidak dominan. Tidak karena itu kemudian memiskinkan masyarakat,” terang Pinontoan.
Ia juga menegaskan, perayaan pengucapan syukur merupakan pesta rakyat, dimana orang mengekspresikan rasa syukur. “Di era kini, intensitas kerja tinggi, orang butuh waktu senggang, waktu refreshing, rekreasi. Di zaman para filsuf, waktu seperti itu mereka gunakan untuk berefleksi, melakukan pencaharian kembali sehingga memperoleh inspirasi baru. Makanya, perayaan pengucapan syukur sangat positif dan tentu teologis,” imbuhnya. (media sulut/rikson karundeng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar